Indonesia

Hari Puisi Sedunia: 5 karya terbaik pembaca Rappler

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hari Puisi Sedunia: 5 karya terbaik pembaca Rappler
Kami menerima puluhan karya orisinil dari pembaca Rappler. Berikut 5 pilihan redaksi:

 

JAKARTA, Indonesia — Puisi telah mati. Begitu kata mereka.

Bentuknya yang menakutkan, diksi yang tak dikenal, makna yang sulit dipecahkan, menjadi rangkaian penyebab puisi tak berteman. Atau setidaknya bagi sebagian orang.

Menjelang Hari Puisi Sedunia, Rappler mengajak para pembacanya untuk berpartisipasi dengan mengirimkan karya mereka. Awalnya kami sangsi, apakah panggilan ini akan mendapat sahutan.

Ternyata, hasilnya menakjubkan. Kami menerima puluhan karya-karya orisinil dari pembaca Rappler dalam 5 hari. Ajakan ini adalah bentuk kepedulian kami sebagai apresiasi terhadap salah satu bentuk seni. 

Menghargai sebuah puisi tentu melalui berbagai pertimbangan. Dari puluhan puisi yang kami terima, tim redaksi memilih 5 yang menurut kami terbaik. Kelima karya ini juga selaras dengan beragam isu yang menjadi fokus pemberitaan Rappler sebagai media yang mengedepankan kemanusiaan.

Ada yang reflektif bagaikan melihat ke dalam cermin, ada yang mencari Tuhan melalui berbagai cara dan nama, ada pula nasib rakyat yang dibuai nyanyian janji kandidat.

Dua lainnya tentang isu perempuan, meski berbeda bentuk dan kisah. Yang satu bercerita tentang istri penyair yang hilang saat masa Reformasi, satu lagi mengenai pergolakan batin perempuan yang (tidak) takut dosa.

Dari kelima puisi ini, kami memilih Aku karya Ifan Maulana untuk mendapatkan hadiah menarik dari Rappler. 

Kami berharap, pada Hari Puisi Sedunia ini, para pembaca dapat menjelajahi isu-isu sosial melalui bentuk yang lain, tidak melulu berita, tapi juga puisi. Selamat Hari Puisi Sedunia! 

Aku 

Oleh: Ifan Maulana

Aku… aku
Aku… aku
Aku… aku
Aku… aku
 
Kata diriku kepada orang lain
Dan saat itulah masalah lahir

 

Si Pencari

Oleh: Wirawan Perdana

 

Dalam tahajud,
aku bersujud.
Dan di atas sajadah,
kulantunkan sejumlah surah.
Dengan lirih,
kucoba bisikkan nama-Mu.
Allahu akbar!

Dalam novena,
aku panjatkan doa.
Dan di malam kudus,
kubacakan Injil Matius.
Dengan lantang,
kucoba memuji-Mu.
Halleluyah!
 
Dalam semadi,
aku berdiam diri.
Dan di depan rupaka Buddha,
kuhayati Dhammapada.
Dengan khusyuk,
kuucapkan
Namo Buddhaya!
 
Dalam takbir yang berkumandang,
aku mencoba mencari-Mu.
 
Dalam alunan-alunan Mazmur,
aku mencoba menemukan-Mu.
 
Dalam bacaan paritta suci,
aku mencoba mempertanyakan-Mu.
 
Inilah aku, hamba-Mu,
Si pencari-Mu. 

 

Bidak Budak

Oleh: Al Muhtadi

 

Riuh tawa, menggenggam, menggoncang, kram otak
Gersang di kepala, menggenang, buih imaji tak nampak
Idealisme perut, menarik, mendorong, meluluhlantak
Dalam siasat tentang kuasa, jiwa kami terkotak-kotak
 
Hitam dan putih dalam petak bersela
Berbaris rapih, hingga main siap bermula
 
Yang dikorbankan adalah bidak
Yang diperas adalah budak
Ksatria dan patih bergerak tak pernah bergerak lurus
Sementara benteng tertatih, menghadang massa dengan mulus
 
Yang kami perjuangkan adalah rakyat
Percayai janji kami, dari lapisan gula berisi hampa yang berkarat
Niscaya kami akan penuhi, kalau ajal tak datang lebih cepat
Begitu lirik lagu lama para kandidat 
Begitu selalu, tak jua menuju tobat

 

Kepada Sipon

Oleh: Sigi Alia

 

Rindu tak pernah surut dalam dadamu.
Menunggu adalah kesedihan yang kausembunyikan dari waktu.
 
Sudah lama kau dan kami mencari ke mana langkah belahan hatimu kini.
Namun hidup memaksamu untuk menemukan dirimu sendiri.
Berjalan terus meski tanpa Wiji.
 
Sipon, kubayangkan kau tersenyum pagi tadi.
Menghancurkan rasa takut dan sepi sambil sesekali menyesap segelas puisi.

 

Di Bawah Senja?

Oleh: Bella Viona

 

Aku telah terbaring lama dalam lautan keji ini
Ku habiskan hari mengais benda haram 
Aku hidup bagai komedi, untuk dinikmati
Bukan… bukan untuk dinikmati, karena aku juga menikmati
 
Mulai fajar hingga rembulan menyapa itulah waktuku
Di kedai penuh sekat dan anggur aku berkarya
Asap, alat hisap, jarum, bagai alat tulisku
Memang seram, tapi ah sudahlah
 
Aku datang, lalu ku diminta
Bukan jadi pasangan melainkan pemuas dahaga
Sadarkan diri, ku berhambur rupiah
Lelah… lelah… tapi aku butuh harta
 
Pernah terbersit di angan
Tak takutkah aku akan dosa?
Apakah Yang Kuasa kan marah?
Tapi aku hanya ingin sanak saudara hidup bahagia
 
Badanku mulai renta
Entah berkurangnya usia, atau akibat raja singa
Yang ku tahu ku sudah tak kuasa
 
Semakin hari makhluk ini semakin menggerogotiku
Aku takut, bukan takut akan dosa 
Aku takut siapa kan bahagiakan sanak saudara?
 
Aku menangis, seperti Sang Kuasa kan menyapa
Jikalau memang harinya, aku bingung
Kan beralasan apa?
Jalankan ibadah saja ku tak pernah
 
Tiba-tiba semua gelap
Hiruk pikuk duniaku hilang
Ku buka mata perlahan, ku lihat seberkas cahaya merah, kuning, jingga, oranye, hitam
Di manakah aku?
 
Kucoba nikmati sekumpulan warna itu
Perlahan panas mulai merasuk
Jiwaku mulai terbakar
Bukan! Aku bukan di bawah senja
Tapi aku… di bawah api neraka!

 

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!