Menghentikan bom waktu dari intoleransi

Rika Kurniawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menghentikan bom waktu dari intoleransi
Waspadai munculnya tanda-tanda intoleransi di lingkungan sekitar dan pelajari bagaimana cara mencegahnya

JAKARTA, Indonesia — Maraknya bumbu intoleransi dalam kehidupan di Indonesia saat ini disebut sebagai bom waktu yang bisa meledak kapan saja bila tidak diredam. 

“Ada garis yang membedakan ‘kita’ dengan ‘mereka’, ‘teman’ dengan ‘musuh’. Itu mengancam keberagaman yang ada di Indonesia,” kata advokat dan aktivis hak asasi manusia (HAM), Todung Mulya Lubis, dalam kuliah umum di Balai Agung Provinsi DKI Jakarta, pada 23 Maret lalu.

Todung mengatakan hal tersebut dalam kuliah umum yang diselenggarakan oleh Yayasan Yap Thiam Hien, yang bergerak di bidang perjuangan HAM. Sesi tersebut menghadirkan Sekretaris Jenderal Amnesty International Salil Shetty sebagai pembicara utama.

(BACA: Laporan tindak intoleransi beragama dan berkeyakinan 2016 meningkat)

Tanda-tanda intoleransi

Dalam kuliah umumnya, Shetty mengatakan, yang harus diwaspadai sejak dini adalah munculnya tanda-tanda intoleransi. Tanda pertama, menurutnya, adalah adanya demonisasi dan kebencian pada suatu kelompok tertentu. 

Demonisasi bisa secara halus contohnya adalah grafiti anti-semitic yang dapat ditemukan di negara-negara Eropa. Kemudian ada demonisasi secara terang-terangan seperti yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap kaum imigran, kelompok minoritas, dan umat Muslim.

Di Indonesia, Shetty turut memapaparkan kekhawatiran atas kondisi Tanah Air terkait hal tersebut. Ia mengatakan pemerintah daerah terkadang bekerja sama dengan kelompok radikal berbasis untuk menekan kelompok tertentu. 

“Mereka mengintimidasi atau mengancam penganut Ahmadiyah dan Syiah agar meninggalkan kepercayaannya,” kata Shetty. Selain itu, ia juga mengkhawatirkan kondisi kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). 

Tanda kedua adalah diskriminasi, yaitu ketika satu kelompok dengan kelompok lainnya tidak diperlakukan secara adil. Ia menyebutkan kasus penyegelan GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi sebagai bagian dari diskriminasi. 

“Harmonisasi keagamaan tidak datang dari hanya melayani kepentingan mayoritas dan menekan minoritas,” kata Shetty. 

Tanda ketiga adalah ketika upaya hukum dilakukan untuk menciptakan hierarki status keagamaan. Ia menekankan pada kasus anggota kelompok Gafatar yang dipenjarakan dan kasus penistaan agama yang dialami Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. 

Tanda keempat adalah adanya kekerasan, khususnya yang bersifat sektarian dan komunal. Ia menekankan, kekerasan yang dapat ditemukan di Indonesia bukan hanya dialami oleh non-Muslim tetapi juga dialami oleh umat Muslim sendiri. Contohnya adalah perusakan masjid di Papua

Yang harus dilakukan sebagai langkah preventif

Meski tanda-tanda intoleransi yang dijabarkan di atas sudah muncul di Indonesia, ia mengatakan masyarakat bisa melakukan pencegahan sebelum memperparah kondisi.

Bersuara atas nama rasa kemanusiaan, ujarnya adalah salah satu cara untuk mencegah melebarnya intoleransi. Seperti di Eropa, misalnya. Sejumlah warga di beberapa negara di Benua Biru tersebut menolak xenofobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing) dengan memberikan sambutan hangat kepada para pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika Utara.

Selain itu, opini-opini yang penting disuarakan agar dapat menjadi sebuah wacana publik. Salah satu contoh yang adalah slogan “Diversity is Strength (Keberagaman adalah Kekuatan)” yang dicanangkan Kanada. 

“Slogan-slogan serupa harus dibarengi dengan peraturan negara dan tindakan lain. Harus lebih daripada sekedar kata-kata,” kata Shetty.

Tak lupa, lanjutnya, kehadiran negara masyarakat dalam suatu negara adalah hal penting lainnya. Negara tidak boleh mengkhianati warganya. 

Shetty menyebutkan pentingnya pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk membongkar struktur hukum yang dimanfaatkan untuk menindas kelompok agama tertentu. Ia menegaskan hukum tentang penistaan agama di Indonesia harus ditinjau ulang. 

Kelompok-kelompok keagamaan juga harus menjadi bagian dari solusi mengentaskan intoleransi. Prinsip-prinsip keagamaan harus berbarengan dengan rasa menghargai sesama manusia. 

“Di Indonesia, sejumlah kelompok Islam sudah mendorong dihilangkannya kebencian dan kekerasan terhadap kelompok agama tertentu,” ucap Shetty. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!