US basketball

Setujukah Anda jika anggota parpol jadi komisioner KPU?

Rika Kurniawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Setujukah Anda jika anggota parpol jadi komisioner KPU?

ANTARA FOTO

Penyelenggara pemilu yang independen adalah sebuah keharusan

JAKARTA, Indonesia — Pertengahan Maret lalu, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) melakukan kunjungan kerja ke Jerman dan Meksiko. Tujuannya? Melihat perbandingan sistem pemilu antara Indonesia dan kedua negara tersebut.

15 anggota panitia khusus rancangan undang-undang (Pansus RUU) Penyelenggaraan Pemilu pergi ke Jerman, sedangkan 15 anggota lainnya ke Meksiko. Kunjungan tersebut berlangsung dari 11 hingga 16 Maret 2017.

Sepulangnya, mereka mengeluarkan wacana yang menuai kontroversi dan dianggap dapat membahayakan demokrasi di Indonesia, yaitu membolehkan anggota partai politik untuk jadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) merupakan salah satu lembaga yang menentang wacana tersebut. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, jika anggota parpol bisa menjadi anggota KPU, makan nilai kemandirian dan independensi lembaga tersebut akan hilang.

“KPU dan Bawaslu [Badan Pengawas Pemilu] adalah penyelenggara pemilihan umum, sementara partai politik adalah peserta dari pemilihan umum,” kata Titi kepada Rappler.

Titi mengibaratkan, hal tersebut sama dengan “pemain bola yang merangkap wasit”.

“KPU dan Bawaslu [Badan Pengawas Pemilu] adalah penyelenggara pemilihan umum, sementara partai politik adalah peserta dari pemilihan umum.”

Anggota parpol menjadi anggota KPU sebelumnya pernah menjadi kejadian pada saat masa Pemilu 1999 lalu. Akibatnya, pada Pemilu 1999 banyak persoalan dalam teknis penyelenggaraan pemilu.

“Saat itu KPU gagal mengesahkan hasil pemilu karena boikotyang dilakukan oleh partai-partai yang menjadi anggota KPU,” kata Titi. “Alasannya, hasilnya tidak sesuai dengan apa yang mereka [partai politik] kehendaki.”

Bagaimana bisa, lanjutnya, penyelenggara pemilu terafiliasi dengan parpol yang punya kepentingan untuk menggolkan calon-calonnya sebagai anggota legislatif maupun eksekutif?

Awasi independensi penyelenggara pemilu

Oleh karena itu, Perludem mengajak masyarakat untuk ikut menolak unsur parpol dalam komisioner penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu. Salah satunya dengan menandatangani petisi daring di situs Change.org.

Petisi ini mengajak masyarakat untuk bersama-sama menolak unsur partai politik di KPU dan Bawaslu. Presiden RI, Ketua dan Wakil Ketua DPR RI, dan panitia khusus RUU Pemilu DPR RI diharapkan menerima petisi yang telah ditandatangani hampir 10.000 orang tersebut. 

Petisi itu mewakilkan kekhawatiran nasib pemilu yang akan diadakan 5 tahun ke depan, termasuk pemilihan presiden 2019. Diharapkan Komisioner KPU dan Bawaslu bebas dari unsur partai politik. 

Penting untuk mengawasi pembahasan RUU pemilu untuk meniadakan pasal 14 huruf I yang tertera pada draf yang diberikan pemerintah. 

“Kalau kita lihat draf RUU Pemilu dari pemerintah, pasal 14 huruf I sebenarnya sudah menghidupi pasal 11 huruf I UU nomor 15 tahun 2011,” ujar Titi.

Pasal tersebut mengatakan pendaftar harus “mengundurkan diri dari partai politik pada saat mendaftar sebagai calon”.

Hal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 81/PUU-/IX/2011. Putusan itu mengaharuskan ada jeda 5 tahun nonaktif sebagai anggota partai sebelum akhirnya mendaftar menjadi calon penyelenggara pemilu.

Menurut Titi, jeda waktu 5 tahun diberikan MK sebagai waktu evaluasi kinerja pendaftar penyelenggara pemilu tersebut. Apakah ia memang sudah terlepas dari kepentingan partai atau sebaliknya. 

Putusan MK tersebut merupakan hasil uji materi dari pasal 11 huruf I UU No. 15 tahun 2011. Dengan kata lain, pasal tersebut telah dibatalkan oleh putusan MK.

Uji materi oleh MK itu berdasarakan Pasal 22E Ayat (5) UUD NKRI 1945 yang menyebutkan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan  mandiri”.

“Mandiri secara kelembagaan dan secara keanggotaan. Spesifiknya, diturunkan ke dalam aturan calon anggota KPU [dan Bawaslu]. Salah satunya, harus mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik sekurang-kurangnya 5 tahun sebelum mendaftar,” kata Titi.

Nasib di tangan DPR

Nasib RUU pemilu dan pemilihan komisioner KPU juga Bawaslu kini berada di tangan DPR, khususnya komisi II yang membidangi pemilu. 

Rakyat harus memastikan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) calon komisioner KPU dan Bawaslu dilakukan tepat waktu, yaitu 3-5 April 2017, sehingga pelantikan dapat dilakukan pada 12 April. 

Titi mengatakan, ada ketakutan sendiri bila pelantikan komisioner KPU dan Bawaslu periode 2017-2022 akan diundur menunggu pengesahan RUU Pemilu. Bila itu terjadi, unsur partai politik bisa masuk ke KPU dan Bawaslu. 

Masyarakat diimbau untuk terus mengawal wakil-wakil mereka yang duduk di bangku DPR. 

“Kita akan mengawal. DPR itu selalu dikatakan lembaga politik, tetapi bukan berarti langkah-langkah politik itu tidak memiliki parameter dan tata nilai,” ujarnya.

Jika Anda sependapat, Anda dapat menandatangani petisi tersebut di laman ini—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!