Penggerebekan LGBT dan tubuh pribadi yang menjadi milik publik

Fajar Zakhri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Penggerebekan LGBT dan tubuh pribadi yang menjadi milik publik

ANTARA FOTO

Sudah saatnya publik dan media massa berhenti menilai moralitas seorang manusia hanya dari seksualitasnya, termasuk mengasosiasikan LGBT dengan perilaku seksual semata.

Saat tulisan ini diturunkan, sebagian besar warga Indonesia pasti sudah mengetahui (atau setidaknya mendengar) tentang “pesta gay” di Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang digerebek oleh satuan polisi setempat tanpa alasan yang jelas. Bukan hanya digerebek, 144 pria yang ada di tempat dan terpaksa menjadi korban tersebut digiring ke kantor polisi dalam keadaan telanjang. 

Mirisnya, proses penahanan mereka didokumentasikan dan diedarkan ke publik. Seperti yang bisa ditebak dengan apa pun yang berhubungan dengan seks, insiden ini langsung menjadi bulan-bulanan media dengan berbagai artikel berita sensasionalis yang lagi-lagi menyudutkan  kelompok LGBT—dalam hal ini kelompok gay—di Indonesia.

Hanya perlu mesin pencari Google untuk menemukan berita-berita ini dan meringis melihat betapa dangkalnya kebanyakan orang memahami konsep seksualitas dan malah mengkomodifikasi hal tersebut sambil menggiring opini publik dengan cara yang tendensius bahkan diskriminatif.

Filsuf Perancis, Michel Foucault, mengatakan, konsep ketubuhan (dan seksualitas) adalah salah satu alat paling jitu untuk melanggengkan kuasa negara akan warganya.

Tentu ini bukan pertama kalinya kelompok gay menjadi target penggerebekan polisi dan bulan-bulanan media. Seperti yang dibahas di tulisan saya sebelumnya, 2016 menjadi tahun bersejarah dalam pergerakan LGBT di Indonesia. Sedangkan 2017 tampaknya menjadi tahun di mana isu LGBT akan terus diperalat oleh kepentingan bisnis dan politik. 

Dalam kurun waktu enam bulan terakhir, setidaknya sudah ada dua kasus serupa yang muncul dan bahkan belum seminggu berlalu semenjak pasangan gay dikenai hukum cambuk untuk pertama kalinya di Aceh. Akhir bulan lalu, Universitas Andalas Padang menciptakan kontroversi nasional dengan mensyaratkan calon mahasiswanya bukan LGBT

Bahkan, bukan hanya kelompok LGBT saja, tetapi rasanya setiap hari muncul berita yang mewartakan penggerebekan para heteroseksual yang berstatus belum menikah dan melakukan hubungan seks dalam ranah pribadi yang berujung pada public shaming atau mempermalukan oknum pelaku dalam ranah publik dengan cara didenda hingga diarak dalam keadaan telanjang. 

Merujuk kepada analisis filsuf Perancis, Michel Foucault, akan kuasa, tubuh, dan seksualitas, konsep ketubuhan (dan seksualitas) adalah salah satu alat paling jitu untuk melanggengkan kuasa negara akan warganya. Dalam hal ini, tubuh pribadi dan segala aktivitas yang dilakukan dengan tubuh kerap dijadikan pertarungan wacana antara benar-salah, suci-berdosa, moral-amoral dan terutama: normal-abnormal. 

Dengan fokus pemberitaan media pada aspek ketubuhan—dan secara otomatis perilaku dan orientasi seksualitas—para korban, menjadi mudah sekali bagi publik luas untuk kemudian mengklaim posisi moral lebih tinggi dibandingkan para korban.

Dalam analisisnya akan penggambaran seksualitas dalam media, penulis Hendri Yulius menyebutkan bahwa di negara seperti Indonesia, di mana seksualitas dapat menentukan tingkat moralitas seseorang, kasus penggerebekan polisi akan aktivitas seksual yang dilakukan secara konsensual antar orang dewasa menjadi hiburan tersendiri bagi publik, seperti layaknya sinetron atau infotainment

Menjadikan seksualitas (baik dalam wacana homoseksual maupun heteroseksual) sesuatu yang hina memberikan kesempatan bagi para penonton untuk menguatkan identitas moral sebagai “orang Indonesia” yang memenuhi norma-norma sosial, budaya dan agama yang berlaku. Coba, seberapa sering Anda mendengar atau membaca komentar seputar seksualitas yang senada dan seirama dengan “ini tidak sesuai dengan budaya Indonesia”? 

Benda-benda yang disita personel polisi dari Atlantis Gym di Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Senin, 22 Mei, dan dijadikan barang bukti. Foto dari Polres Metro Jakut

Namun, apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan budaya Indonesia dan bagaimana mendefinisikan budaya Indonesia itu sendiri? Patut diingat bahwa di zaman dahulu, para perempuan Bali bebas bertelanjang dada, suku Bugis sejak lama mengenal lima gender dalam masyarakatnya, dan perilaku homoseksual malahan adalah sebuah tradisi di berbagai suku dan daerah di Indonesia. 

Apakah semua hal ini kemudian akan dinafikan keberadaannya sebagai bagian dari kebudayan Indonesia? Sebagai negara yang (katanya) menjunjung tinggi Pancasila, di mana implementasi sila kedua dan keempat pada saat proses penahanan para korban penggerebakan tersebut, terlebih saat hal tersebut melibatkan aparatur negara yang seharusnya berada di garda depan pengamalan Pancasila? Apakah memperlakukan warga negaranya, bahkan dalam narasi proses hukum, secara tidak manusiawi lantas sesuai dengan budaya Indonesia?

“Saya sangat geram,” ucap Benjamin Xue, chief engagement officer untuk Campaign, sebuah jejaring global yang berfokus untuk menciptakan perubahan sosial. 

Kita perlu melakukan langkah-langkah seperti berhenti menyebarkan nama-nama atau gambar-gambar korban penggerebekan dan yang terpenting, memberikan empati dan dukungan kepada orang-orang LGBT di sekitar kita. 

“Saya melihat perlunya pengecaman secara kolektif yang melibatkan semua orang dan bukan hanya grup-grup tertentu saja yang menyatakan sikap secara terpisah. Banyak yang mengatakan bahwa penyiksaan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT tidak sering terjadi. Padahal yang terjadi jelas sebaliknya,” katanya saat saya tanya.

Xue juga menyarankan perlunya langkah-langkah lanjutan untuk memitigasi dampak lebih lanjut terhadap kelompok LGBT di Indonesia selepas insiden ini, seperti berhenti menyebarkan nama-nama atau gambar-gambar korban penggerebekan, memberikan donasi kepada organisasi seperti Arus Pelangi, dan yang terpenting, memberikan empati dan dukungan kepada orang-orang LGBT di sekitar kita. 

“Saya pikir ini adalah saatnya kita fokus melakukan hal-hal kecil, karena hal-hal kecil yang dilakukan bersama dapat tumbuh menjadi sesuatu yang besar. Tanamkan nilai-nilai penuh welas asih, terlebih dengan perayaan Hari Pancasila yang akan datang,” katanya.

Berbagai insiden yang melibatkan kelompok LGBT di Indonesia pun seyogyanya menjadi pendorong bagi para warga negara LGBT di negara ini untuk angkat suara dan melawan penindasan yang terus terjadi dengan basis orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender dan ketubuhan (sexual orientation, gender identity & expression and body – SOGIEB) mereka. Lawan bentuk penguasaan tubuh oleh negara dalam bentuk apa pun, karena otonomi akan tubuh merupakan hak manusia yang paling hakiki. 

Sudah saatnya publik  dan media massa berhenti menilai moralitas seorang manusia hanya dari seksualitasnya, termasuk mengasosiasikan LGBT dengan perilaku seksual semata. Karena meskipun seksualitas adalah hal yang begitu melekat dan mendasar dalam eksistensi manusia, itu bukanlah satu-satunya definisi atau parameter kualitas seorang manusia. Dengan begitu, mungkin pada akhirnya tubuh kita dapat kembali ke tempat yang seharusnya: diri kita sendiri. —Rappler.com

Fajar Zakhri adalah seorang analis media dan penerjemah berbasis di Jakarta. Penggiat musik, puisi, dan aktivisme, sehingga kerap secara ironis menyebut dirinya sendiri sebagai “ikon pergerakan”. Baginya, the personal is political.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!