Berhentilah mengejek Anjani dalam video audisi Biskuat

Nur Fahmia

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Berhentilah mengejek Anjani dalam video audisi Biskuat
Anjani adalah aku. Anjani adalah kamu. Anjani adalah kita.

 

Belakangan ini video audisi anak-anak untuk produk Biskuat lagi ramai dibicarakan di media sosial. Entah dari mana, tiba-tiba akun @biskuatjokes di Instagram mengunggah puluhan video dari beberapa tahun silam.

Meski keluguan dan kepolosan anak-anak itu lucu, tapi ada juga nada-nada sumbang yang berseliweran di kolom komentar laman Instagram akun tersebut. Tak sedikit pula yang mengunggah ulang di akun-akun lain, bahkan meng-upload ke YouTube.

Ketika tulisan ini diturunkan, akun @biskuatjokes di Instagram sudah tidak bisa diakses.

Tapi pernahkah, kamu berhenti sejenak dan berpikir bahwa video-video ini adalah suara hati dan impian anak-anak Indonesia?

Salah satu video yang mengetuk hati saya adalah audisi dari seorang anak perempuan bernama Anjani Ayu Rizki Ramadhani. Anak gadis yang pada saat audisi itu masih berumur 10 tahun, menulis puisi menyuarakan kegelisahan hatinya menjadi korban perisakan. Ia gelisah karena dipanggil tidak sesuai namanya yang diberikan orangtuanya.

Puisinya berbunyi seperti ini:  

Panggil aku Anjani
Untuk sobatku di sekolah
Mengapa engkau panggil dengan banyak panggilan
padaku
Kau panggil aku “si penari ronggeng”
Kau panggil aku “Cina”
Kau panggil aku “Oshin Jepang”
Kau panggil aku “sipit”
Tapi, aku tidak tahu apa maksudmu
Kau panggil aku “beler” dan “si tukang jamu”
Sebenarnya aku marah
Namun bundaku selalu berpesan
‘Tuk sabar, sabar, dan sabar
Dan semoga dengan puisi ini
Kalian jadi tahu
Kalau aku ingin dipanggil Anjani
Terima kasih

 

Sedih? Lucu? Atau miris?

Mungkin karena video ini diunggah ke media sosial berbarengan dengan video-video lain, bisa jadi sebagian dari kita menontonnya sambil terkekeh-kekeh.

Padahal jika kita tidak menutup mata, tindakan bullying seperti ini terjadi nyata di sekitar kita. Padahal, nama adalah pemberian orangtua. Mungkin beberapa orang akan bilang, “Halah, cuma gitu aja marah.” Tapi, bagaimana kalau ejekan-ejekan itu mengacu ke SARA? Saya yakin, tidak hanya Anjani yang menjadi korban.

Saya sendiri pernah dipanggil “genter” karena saya cukup tinggi untuk anak seumuran saya saat itu. Kata “genter” berasal dari bahasa Jawa yang artinya galah. Pernah juga saya dipanggil “kutilang” yang berarti kurus-tinggi-langsing. 

Parahnya, saat saya sakit dan kurus sekali, beberapa teman memanggil saya “tengkorak”. Lain halnya, saat wajah saya penuh jerawat masa awal SMP, saya dipanggil “rempeyek”. Rempeyek adalah cemilan kacang dan tepung yang digoreng tipis—apakah wajah saya yang berminyak dan berjerawat sampai segitunya, kah?

Entah dengan kalian, tapi saya jadinya merasa iba menonton video Anjani. Meski demikian, saya salut dengan ibunda Anjani yang mengatakan “tuk sabar, sabar, dan sabar.” 

Anjani adalah aku. Anjani adalah kamu. Anjani adalah kita.

Anjani adalah nama yang indah, seperti Dewi Anjani yang berparas cantik dan memang ada kata “ayu” dalam nama Anjani. —Rappler.com

Nur Fahmia adalah mahasiswi sastra Indonesia. Ia dapat ditemui di Instagram @nfmia dan Twitter @Nurings.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!