Bagaimana Swedia menurunkan tingkat kekerasan pada anak dalam 35 tahun

Rika Kurniawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bagaimana Swedia menurunkan tingkat kekerasan pada anak dalam 35 tahun

ANTARA FOTO

Delegasi Swedia dan Indonesia berdiskusi terkait perlindungan anak dan penghapusan kekerasan terhadap anak

JAKARTA, Indonesia —Delegasi Swedia dan Indonesia bertemu untuk berdiskusi terkait perlindungan  anak dan penghapusan kekerasan terhadap anak pada Selasa, 23 Mei 2017, di Jakarta, Indonesia. 

Aktivitas itu  adalah salah satu dari rangkaian aktivitas dalam kunjungan Raja dan Ratu Swedia ke Indonesia. 

Ratu Silvia dari Swedia memang dikenal mempunyai perhatian tersendiri terkait perlindungan anak. Ia mendirikan World Childhood Foundation pada 1999. Yayasan itu fokus pada pencegahan ekspolitasi dan penyalahgunaan anak. 

(SAKSIKAN: Ratu Swedia ajak anak-anak Indonesia terus bermimpi dan belajar)

Selain itu, Indonesia dan Swedia adalah dua dari sejumlah negara yang berkomitmen menjadi pathfinding partners di Global Partnership to End Violence Against Children.

“Butuh waktu lama dengan menggunakan sumber daya manusia untuk mengajarkan tentang hak-hak anak. Profesi yang dekat dengan anak-anak seperti guru, polisi, pekerja sosial, dan lainnya harus mempunyai kompetensi tersebut.”

Menjadi negara sebagai pathfinding partners berarti Indonesia dan Swedia berkomitmen untuk melakukan penilaian atas kinerja mereka dalam mendukung penghapusan kekerasan terhadap anak

Kinerja kedua negara harus inklusif, transparan, berdasarkan fakta dan data, juga fokus pada tujuan. Indonesia dan Swedia juga akan rutin melakukan pertemuan global, berbagi ide, dan menyatakan program-program yang telah berhasil dilakukan. 

Komitmen itu pertama kali dicanangkan pada 12 Juli 2016, untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. Pada Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (SDGs) 2030 poin 16.2 tertulis, “Menghapuskan penyalahgunaan, eksploitasi, perdagangan dan semua bentuk kekerasan/kejahatan terhadap anak, termasuk penyiksaan terhadap anak.” 

Respons pemerintah dan LSM di Indonesia 

Delegasi Swedia bertemu dengan pemerintah, sejumlah lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi dari Indonesia. Diskusi ditekankan pada kekerasan anak di sekolah dan kekerasan seksual terhadap anak (SDGs 16.2) dan pernikahan anak (SDGs 5.3)

Diskusi tersebut dimoderatori oleh Gunnila Olsson Perwakilan UNICEF Indonesia. UNICEF Indonesia secara berkala melakukan survei dan penelitian terkait kondisi anak-anak di Indonesia. 

Menteri Pemberdayaan Anak dan Perlindungan Perempuan RI Yohana Yembise turut hadir dalam diskusi. 

Ratu Silvia dari Swedia (duduk, tengah) saat mendengarkan aspirasi dari salah satu anak kala berkunjung ke Komunitas Jendela Jakarta cabang Manggarai pada 23 Mei 2017. Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler

Yohana mengemukakan bagaimana 320 kota di Indonesia sudah mendeklarasikan komitmen menjadi kota yang ramah anak dengan 31 indikator yang menyertai. Program Berlian (Bersama Lindungi Anak) sudah dilakukan di sejumlah tempat. Program itu menggunakan dialog musikal untuk menjelaskan tentang topik perlindungan anak. 

“Kekerasan terhadap anak bukan hanya merusak perkembangan kognitif dan fisik anak tetapi juga perkembangan Indonesia. Anak-anak merupakan sumber daya paling berharga bagi kami,” kata Yohana. 

Setidaknya saat ini ada 53 juta anak bersekolah di Indonesia. Mereka dilindungi dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. 

Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Subandi menekankan tentang pentingnya mendaftarkan kelahiran anak/identitas anak ke catatan sipil. Anak-anak yang terdata, menurutnya, akan lebih mudah mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan lainnya. 

Meski demikian, UNICEF Indonesia mencatat ada 62% anak umur 0-4 tahun di Papua yang tidak mempunyai akta kelahiran. 

Hadir pula Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfah yang menceritakan bagaimana kongres ulama perempuan se-Indonesia menghasilkan sebuah fatwa/hasil musyawarah keagamaan. Fatwa terkait batas minimal perempuan menikah yaitu 18 tahun

Selain peraturan negara, Prof. Irwanto dari Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indoensia (PUSKAPA UI) mengingatkan anak perempuan juga harus diberikan pendidikan agar menolak konsep menikah di bawah umur. 

Pengalaman dari Swedia dan kerja sama global 

Sementara itu, Swedia mengklaim telah berhasil menurunkan angka pemukulan anak-anak oleh orang dewasa dari 90% sampai dengan sekitar 10% dalam waktu lebih dari 35 tahun.

Salah satu  negara Scandinavia itu juga merupakan negara pertama yang melarang corporal punishment (hukuman fisik) di sekolah. Layanan pendidikan dan kesehatan juga dapat diakses secara gratis oleh seluruh warga negaranya. 

Sekretaris Negara Kementerian Anak, Lansia, dan Kesetaraan Gender Swedia Pernilla Baralt mengungkapkan kuncinya ada pada kompetensi dan pengetahuan akan hak-hak anak.  

“Butuh waktu lama dan dengan menggunakan sumber daya manusia untuk mengajarkan tentang hak-hak anak. Profesi yang dekat dengan anak-anak seperti guru, polisi, hakim, pekerja sosial, dan lainnya harus mempunyai kompetensi tersebut,” kata Baralt. 

Swedia, ungkapnya, juga membekali mahasiswa dengan pengetahuan tentang kekerasan. Orang-orang yang mempunyai kompetensi itu dapat membuat anak-anak mengungkapkan pikiran dan isi hati. Kemudian pada akhirnya dapat mencari solusi untuk melindungi anak-anak dari kekerasan. 

Ratu Silvia sependapat. Ia mengatakan, solusi bisa didapatkan dari anak-anak itu sendiri. Oleh karena itu penting untuk mendengarkan anak-anak dan membekali mereka terkait hak-hak mereka sebagai seorang anak. 

“Anak-anak adalah perwakilan terbaik, mereka melihat situasi di lingkungan mereka sendiri secara langsung,” kata Ratu Silvia.

Isu kekerasan atau kejahatan pada anak, menurut Direktur Program di Save The Children International David Bloomer, harus dilihat secara holistik. 

“Ini tentang bagaimana mengubah sikap dan norma sosial yang ada,” ungkap Bloomer.

Ia juga mengingatkan bagaimana terkadang perencanaan sudah dibuat sebaik mungkin tetapi gagal di implementasinya. Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil yang terintegrasi dan kerja sama global harus dilakukan, termasuk peran perusahaan swasta. 

Pertemuan multilateral terkait topik menghapuskan kekerasan terhadap anak (The Global Partnership to End Violence Against Children) akan diadakan lagi di Stockholm, Swedia, pada Februari 2018. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!