Indonesia

Detik-detik penangkapan di Atlantis: Pengakuan seorang pengunjung

Abdul Qowi Bastian

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Detik-detik penangkapan di Atlantis: Pengakuan seorang pengunjung
Penyebaran foto, nama, tempat tinggal pengunjung Atlantis Gym & Sauna dapat mengancam keamanan mereka

JAKARTA, Indonesia — Budi (bukan nama sebenarnya) tidak menyangka bila Minggu malam itu ia harus menginap di kantor Polres Jakarta Utara. Ia bersama seorang temannya hanya berniat untuk pergi ke Atlantis Gym & Sauna di Kelapa Gading, Jakarta Utara, tapi yang terjadi di luar ekspektasinya.

“Awalnya gue enggak ada rencana untuk pergi, tapi gue diajak teman yang belum pernah dan dia minta ditemani. Berhubung waktu itu adalah minggu terakhir sebelum puasa,” kata Budi kepada Rappler.

Polisi menangkap 141 orang—termasuk Budi—di Atlantis pada Minggu malam, 21 Mei, lalu. Ini adalah penangkapan terbesar terhadap anggota kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia. 

Beberapa hari setelah kejadian dan dilepas oleh polisi, Budi ingin meluruskan apa yang terjadi pada malam itu dan bagaimana media menyudutkan kaum LGBT dengan sebutan “pesta seks kaum gay” yang menurutnya tidak seperti itu.

Budi bersama temannya tiba di Ruko Kokan Permata—lokasi Atlantis berada—sekitar pukul 17:30 WIB. Ia memarkir mobilnya tidak persis di depan pintu Atlantis, tapi berjarak ratusan meter karena parkiran di depan lokasi sudah dipenuhi oleh kendaraan roda dua.

Sesampainya di sana, pria berusia 26 tahun itu membayar uang masuk sejumlah Rp185 ribu ditambah Rp100 ribu sebagai pengganti deposit KTP. Setiap pengunjung yang memasuki Atlantis harus meninggalkan KTP sebagai deposit, namun bila tidak membawa bisa diganti dengan Rp100 ribu.

Untuk pengunjung berusia 17-25 tahun (“popcorn“, begitu yang tertera di flyer acara), ada potongan harga menjadi Rp75 ribu.

Setelah membayar, Budi menuju loker yang terletak di lantai dasar untuk menanggalkan pakaiannya dan berbalutkan handuk berwarna abu-abu. 

Bangunan Atlantis terdiri dari empat lantai. Selain kasir di depan, ada ruang ganti dan gym di lantai dasar. Semua pengunjung diharuskan menanggalkan baju dan celana saat masuk dan hanya berlapiskan handuk.

Di lantai dua, ada sauna dan communal shower (tempat mandi yang terpisahkan tirai). Di lantai ini juga, para strippers menari saat ada acara. Pada Minggu, 21 Mei, itu Atlantis tengah mengadakan acara yang bertajuk “The Wild One”.

Sedangkan di lantai tiga ada beberapa ruangan bersekat yang disebut “dark rooms”—tempat pengunjung bisa bertemu sesama dan melakukan hubungan seks.

Di dalam masing-masing ruangan, tersedia matras, tisu, kondom, dan lubricant (minyak pelumas). Ia menambahkan, di satu ruangan terdapat peralatan bondage, dominasi, submisi, dan masokisme (BDSM).

Sementara di lantai empat terdapat sebuah kolam jacuzzi.

Tempat pemandian yang diduga digunakan menjadi lokasi striptis saat olah Tempat Kejadian Perkara (TKP). Foto oleh Galih Pradipta/Antara

Ketika sampai di lokasi, Budi mengatakan ia berpisah dengan temannya yang menuju ke lantai dua, tempat sauna dan gogo dancers berada. 

“Memang dari awalnya gue enggak kepengen banget, jadi gue just chilling in the jacuzzi,” katanya. Usai berendam sekitar pukul 19:00 WIB, ia menuju ke lantai bawah untuk bersiap pulang.

“Pas gue turun ke lantai tiga ada gaduh-gaduh. Gue kira orang lagi berantem, like some people were so horny, so they fought over the strippers,” akunya.

Menurut pengamatannya selama ini, pengunjung bisa memberikan tip kepada stripper dan ada juga beberapa yang membawa penari itu pulang dan membayarnya secara terpisah.

“Terus gue dengar ada orang teriak-teriak, ‘Eh, ada polisi, ada polisi!’ Gue bingung karena gue kira the strippers were using police costume. Ternyata ada polisi beneran,” ucapnya.

Ia pun bergegas bersembunyi di salah satu ruang gelap itu bersama empat orang lain. Di ruangan yang hanya terlindungi dari selot pintu triplek itu, ia mendengar seorang polisi bertanya, “Ada orang di sini?”

Polisi itu pun masuk ke dalam ruangan dan melihat mereka. Ia menyuruh mereka untuk keluar dan berbaris. Mereka disuruh berhitung untuk mengetahui jumlah yang tertangkap.

Ditangkap saat hanya mengenakan handuk

Kapolres Jakarta Utara Kombes Pol Dwiyono (kiri) saat menggelar olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) di salah satu ‘dark room’ Atlantis. Foto oleh Galih Pradipta/Antara

Saat penangkapan, seluruh pengunjung masih hanya mengenakan handuk karena memang peraturan Atlantis mewajibkan untuk hanya berhanduk saja, bukan karena disuruh telanjang oleh polisi seperti yang diberitakan di media massa.

Budi mengaku saat itu ia tidak panik, karena menurutnya penangkapan ini tidak disertai dengan pasal yang kuat. 

Ia meyakini apa yang ia dan pengunjung lainnya lakukan tidak salah. “Karena kita cuma bayar [buat masuk], and there’s nothing wrong.”

Ia mengatakan, ia berhubungan seks dengan pria lain dan tidak ada hukum di Indonesia yang melarang hubungan seks sesama jenis. Ia hanya membayar tempat untuk melakukan seks. 

Technically kalau gue ke [Atlantis] hanya bayar dan enggak having sex, itu bisa juga. Jadi gue cuma menggunakan fasilitasnya saja,” kata Budi. “Dan hubungan seks yang dilakukan pun konsensual.”

Setelah para pengunjung dikumpulkan, mereka disuruh kembali ke lantai dasar untuk mengambil barang-barang yang disimpan di dalam loker. Namun mereka hanya diperbolehkan untuk memegang pakaian, tidak diizinkan untuk berpakaian.

“Jadi kalau lihat ada foto-foto yang tersebar di media sosial cowok-cowok bugil di gym, itu saat kejadian ini. Terus difoto-foto,” kata Budi.

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divis Humas Polri Kombes Martinus Sitompul mengatakan pada Senin, 22 Mei, bahwa foto dan informasi yang disebarluaskan bukan berasal dari pihaknya.

“Penyebaran informasi penangkapan itu bukan dari pihak kepolisian,” kata Martinus. 

Dalam foto-foto yang tersebarluas tersebut, terlihat sejumlah pria tanpa berbusana digiring berbaris. Beberapa tampak jelas terlihat wajahnya.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam tindakan kepolisian ini. 

“Itu adalah tindakan sewenang-wenang dan menurunkan derajat kemanusiaan para korban,” kata Pratiwi Febri, pengacara publik LBH Jakarta melalui keterangan tertulis.

Selain mengambil foto, polisi menyita rekaman kamera tersembunyi, kondom, foto kopi izin usaha, uang tunai jutaan rupiah, kasur, iklan kegiatan, dan telepon seluler.

Melihat tindakan ini, kelompok Jakarta Feminist Discussion Group turut mengkritik polisi.

“Bukan hanya foto, tetapi juga nama, tempat tinggal, umur, agama, dan informasi pribadi lain dari korban sudah disebar di media sosial,” kata pengurus JFDG, Olin Monteiro, melalui keterangan pers.

“Ini mengancam keamanan korban, dan merupakan tindak kekerasan terhadap mereka.”

‘Tidak manusiawi’

Kapolres Jakarta Utara Kombes Pol Dwiyono (kiri) bersama jajarannya memegang barang bukti penggerebekan di Atlantis. Foto oleh Reno Esnir/Antara

Kejadian belum berakhir. Budi dan para pengunjung dibawa ke luar. Di sana sudah menunggu lima bus untuk mengangkut mereka menuju kantor Polres Jakarta Utara di Koja.

“Gue shocked. Kita disuruh naik. At the time we were still not allowed to wear clothes. Masih handukkan doang,” katanya. 

Bahkan di dalam bus pun, oknum polisi masih memotret. “Prioritas gue adalah muka gue enggak kelihatan,” ucapnya. Meski sudah open and out kepada keluarga, teman-teman, dan rekan kerjanya, Budi menghindari kemungkinan terburuk yang bisa menimpanya di kemudian hari.

Saat itu polisi masih melarang penggunaan handphone. Budi melihat seorang pria yang duduk beberapa baris di depannya mendapat teguran karena ketahuan menggunakan handphone

Setibanya di kantor polisi, mereka diminta untuk duduk di aspal di halaman polres—masih mengenakan handuk. Di sana, kamera masih mengikuti gerak-gerik para pengunjung Atlantis.

“Lama di luar, kami enggak diapa-apain. Enggak ditanya nama atau identitas lain, cuma ditahan enggak boleh ke mana-mana,” kata Budi. 

Di dalam, mereka lagi-lagi disuruh untuk duduk—ada sebagian yang berjongkok—di lantai. Budi mengatakan, mereka baru diberi air minum sekitar pukul 03:00 WIB dini hari, Senin, 22 Mei. Sarapan datang pada pukul 06:00 WIB pagi.

Menjelang subuh, beberapa perwakilan advokasi masyarakat pun tiba. Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan yang ikut mendampingi mengatakan, tak ada alasan jelas terkait penangkapan ini. 

“Penangkapan ini atas dugaan ‘prostitusi gay’ di mana sebenarnya tak ada kebijakan yang mengatur dan melarang tentang prostitusi gay,” kata Ricky kepada Rappler.

Menurutnya, negara telah memasuki ranah privat secara sewenang-wenang, dan dapat menjadi acuan bagi tindakan kekerasan lain yang bersifat publik.

Dari 141 pengunjung yang ditangkap, 10 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka

“Menahan 141 orang dan saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka sebanyak 10 orang karena telah melakukan kegiatan pornografi dan pornoaksi,” kata Kapolres Jakarta Utara Kombes Pol Dwiyono saat memberikan konferensi pers pada Senin siang. 

Mereka dijerat pasal 30 juncto pasal 4 ayat (2) dan/atau pasal 36 juncto pasal 10 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. 

Mereka terdiri dari seorang pengelola, dua orang kasir, dan seorang petugas keamanan. Sementara empat tersangka lainnya adalah penari striptis, sedangkan dua lainnya merupakan pengunjung yang tertangkap saat memberikan tip kepada strippers.

“Yang gue dengar dari teman gue, ketika terjadi penangkapan di lantai dua, polisi pas banget datang waktu strippers-nya diberi tip. Jadi langsung kena,” kata Budi. 

Dilepaskan setelah tes urine

Kapolres Jakarta Utara Kombes Pol Dwiyono (ketiga kanan) menjelaskan fungsi salah satu ruangan kepada wartawan saat menggelar olah TKP. Foto oleh Galih Pradipta/Antara

Budi, yang saat itu menyadari bahwa statusnya hanya sebagai saksi, bisa sedikit bernapas lega. Tapi ia tetap tidak bisa tidur.

Ia hanya memberi kabar ke keluarganya bahwa ia sedang menginap di Kelapa Gading.

Senin pagi, sudah mulai banyak tamu berdatangan di ruang tunggu Polres Jakarta Utara. Selain ada perwakilan lembaga advokasi, juga terlihat beberapa anggota keluarga pengunjung.

“Yang menyedihkan adalah, ada isteri-isteri dan anak-anak dari lelaki yang tertangkap. Ada juga bapak-bapak dan ibu-ibu yang anaknya ditangkap,” kata Budi. 

“And they were crying. Knowing your husband or your son is gay in this way is cruel,” ujarnya. 

Beranjak siang, Budi mendengar dari sesama pengunjung bahwa polisi akan melakukan tes urine. Tes urine yang dimulai pada pukul 16:00 WIB itu berakhir sekitar satu jam kemudian. 

Hasilnya, tujuh orang dinyatakan positif narkoba. Budi dan sisanya dinyatakan negatif dan dilepaskan sekitar pukul 18:00 WIB.

Sebelum dilepas, salah seorang anggota kepolisian berkata, “Kita ini kan teman kalian. Kalian kita kasih makan.

“Kami berusaha untuk tidak memperlakukan kalian dengan tidak manusiawi. Setelah kalian keluar dari ruangan ini, kami tidak lagi punya pegangan atas kalian. Selamat jalan, hati-hati ya semua.”

Budi bersama seorang temannya pun keluar mengenakan handuk yang mereka kenakan saat tertangkap, untuk menutupi kepala agar tak teridentifikasi oleh awak media yang sudah ramai menunggu di pintu keluar.

Mereka menyetop taksi di pinggir jalan untuk membawa kembali ke Ruko Kokan. Di sana mereka mengambil mobil dan pulang ke rumah masing-masing. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!