Suka duka warga Sleman yang tinggal di Rumah Teletubbies

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Suka duka warga Sleman yang tinggal di Rumah Teletubbies
Rumah dome Teletubbies dibangun untuk memberikan tempat tinggal bagi warga yang kehilangan rumah pasca gempa Yogyakarta pada 2006

YOGYAKARTA, Indonesia — Siang itu Tinky-Winky, Dipsy, Laa-Laa, dan Po bermain dengan riang bersama anak-anak kecil di sekeliling mereka. Empat karakter lucu itu berlarian kian kemari sambil mengejar drone yang terbang rendah di atas kepala mereka. Di sekelilingnya terdapat rumah berbentuk kubah kecil dengan aneka warna, tanpa atap genting layaknya rumah dalam serial Teletubbies yang sempat populer di layar kaca satu dekade lalu. 

Bedanya, empat sosok berwarna ungu, hijau, kuning, dan merah itu tidak sedang berada di dalam layar kaca. Mereka nyata, lengkap dengan rumah mungil menyerupai gundukan bukit di New Nglepen, Dusun Sengir, Kelurahan Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

“Desa Wisata Teletubbies ada sejak 2008,” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Wisata Domes/Teletubbies Sulasmono, pada Senin, 22 Mei. 

Awalnya, rumah tersebut adalah bantuan dari Domes For The World, lembaga nirlaba dari Amerika Serikat, dan donatur perorangan dari Arab Saudi tahun 2006 pasca gempa Yogya. 

Setelah gempa Yogyakarta pada 2006, warga diberi pilihan berupa bantuan uang Rp15 juta atau rumah tinggal—tanpa sebelumnya mengetahui bentuk rumahnya akan berupa kubah.

Saat itu puluhan rumah di bukit Nglepen ambles sedalam 7 meter akibat gempa. Sebanyak 32 kepala keluarga (KK) kehilangan rumah tinggal. Lembaga tersebut datang dan menawarkan rumah tahan gempa pada pemerintah setempat. 

Penduduk mendapat penawaran relokasi di tempat baru sementara tempat lama tak boleh dihuni meskipun hak milik atas tanah lama tetap pada penduduk. Kala itu penduduk boleh memilih bantuan berupa uang sebesar Rp15 juta atau rumah tinggal—tanpa sebelumnya mengetahui bentuk rumahnya akan berupa kubah.

Berbeda dengan lazimnya rumah tinggal di Yogyakarta, rumah dome berbentuk mirip kandang ayam itu memiliki diameter 7 meter dengan ketinggian puncak sekitar 4 meter, dua daun jendela dan pintu, memiliki dua lantai di dalam rumah dan empat ruangan. 

Tak ada atap genting atau atap semen di bagian atas. Fondasi bangunan tertanam sekitar 20 meter di dalam tanah, dan dibangun melibatkan warga setempat. 

Setelah selesai, terdapat 80 unit bangunan dengan rincian 71 bangunan adalah rumah dari 71 KK dan sisanya adalah fasilitas umum seperti aula, mushalla, dan puskesmas, serta beberapa toilet bersama untuk setiap kompleks. 

“Konsepnya komunitas, jadi kamar mandi juga berbagi. Setiap satu kompleks ada satu kamar mandi bersama,” kata Sulasmono.

Rumah dome ini unik dalam bentuk dan jumlahnya. Dari laman situs The Dome For The World Foundation, rumah dome hanya ada di 5 negara sasaran penerima bantuan, yaitu Indonesia, India, Belize, Haiti, dan Etiopia. 

Konsep rumah disebut ramah dengan alam dan bisa diselesaikan selama satu hari pembangunan menggunakan teknologi khusus. Karena bentuk dan konstruksinya, rumah dome dipercaya tahan gempa, tahan api, badai, dan topan. Dome juga disebut anti rayap, tikus, dan jamur. 

Meskipun menggunakan teknologi khusus, masyarakat setempat dilibatkan penuh dalam proses pembangunannya. Rumah mulai dihuni warga sejak 2007. Perumahan itu kemudian disebut The New Nglepen.

RUMAH KUBAH. Seorang oenduduk Desa New Nglepen berjalan melintasi sebuah rumah kubah Teletubbies. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Karena keunikannya, dengan bantuan dari Dinas Pariwisata setempat, muncul Pokdarwis untuk mengelola New Nglepen sebagai desa wisata, aset dome, sekaligus mempertanggungjawabkan pengelolaan pada masyarakat setempat. 

Dengan bantuan pemda setempat, Pokdarwis memberikan pelatihan dan penyuluhan pada penduduk dan pemuda dusun agar terlibat dalam pengelolaan desa sadar wisata. Wisatawan yang datang pun jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Deretan jumlah pengunjung sejak 2008 hingga Maret 2017 tercatat rapi di papan tulis putih di dinding kantor Pokdarwis di New Nglepen. Jumlahnya terus bertambah setiap tahun, dari 3.407 pengunjung sepanjang 2008 hingga 30.255 selama 2016.

Tak hanya wisatawan, lembaga nirlaba juga tertarik masuk untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat, bahkan dari luar negeri seperti dari Korea Selatan. 

Bagi wisatawan, Pokdarwis menetapkan tarif masuk yang berbeda sejak awal 2008 hingga tarif terbaru saat ini, yang dipatok sebesar Rp5.000 per orang. Ada pula jasa wisata paket seperti out bond, homestay, trekking, edukasi tentang rumah dome, hingga jasa Jeep atau gerobak tradisional yang ditarik dengan sapi dengan tarif antara Rp20 ribu per orang hingga Rp300 ribu.

Sulasmono menyebut semua pendapatan digunakan untuk kebutuhan desa wisata serta warga New Nglepen. Konkretnya seperti fasilitas wisatawan dan warga, serta pajak tanah sebesar Rp15 juta atau Rp200 ribu per KK yang dibayarkan oleh Pokdarwis. 

Ada pula honor yang melebihi upah minimum regional (UMR) setempat rata-rata untuk empat hingga 10 petugas desa wisata setiap bulannya. Perempuan dan ibu rumah tangga dilibatkan dalam urusan domestik, seperti mengelola katering ataupun UKM makanan olahan tradisional. 

Pokdarwis melaporkan kegiatan dan keuntungan secara berkala kepada masyarakat setempat.  

“Tidak semuanya dalam bentuk uang, warga juga mendapatkan kemudahan seperti bak sampah petugas kebersihan yang mengambil sampah di setiap rumah atau fasilitas lain seperti aula dan perangkat soundsystem,” ujar Sulasmono.

Tempat tinggal, bukan desa wisata

Namun manfaattersebt tidak datang begitu saja.. Bagi penduduk setempat, butuh waktu panjang untuk beradaptasi tinggal di rumah Teletubbies. Sebagian besar penduduk yang berprofesi sebagai petani dan peternak ini mengaku kesulitan menyesuaikan dengan hunian mungil tersebut. 

Selama satu dekade dihuni, sebagian warga mulai menambah bangunan di samping kiri atau kanan rumah Teletubbies. Beberapa memilih mewariskan rumah tersebut kepada anak atau cucu dan kemudian membangun rumah di lokasi lain. 

“Ternak diletakkan di kandang bersama, tapi untuk peralatan pertanian dan dapur tak bisa di dalam rumah, jadi kami tambah bangunan. Meskipun sempat ditegur Pokdarwis, tapi bagaimana lagi, yang lain juga membangun,” kata Miarni, salah satu penghuni. 

Rumah berdinding beton itu tak memiliki cukup ventilasi dan hanya ada satu toilet komunal berkapasitas 8-10 orang di tiap blok. Warga akhirnya membangun toilet sendiri di samping bangunan rumah.

Rumah berdinding beton itu tak memiliki cukup ventilasi, sementara asap dari tungku milik warga membuat kusam dinding jika kegiatan memasak berlangsung di dalam rumah. Selain itu, Pokdarwis juga meminta warga untuk tidak membangun bangunan tambahan dengan ketinggian melebihi dome, menanam pohon pisang atau pohon lain dengan ketinggian di atas dome, dan memelihara ayam, untuk menjaga kebersihan lingkungan.

Miarni, seorang ibu muda yang mewarisi rumah dome dari orangtuanya itu, sadar tindakannya bisa jadi berpengaruh buruk pada kunjungan wisatawan. 

“Tapi mau bagaimana lagi, ini kan rumah tinggal. Rumahnya sempit dan tidak cukup,” katanya sambil memasak sayur di atas bara api yang menyala dari bongkahan kayu bakar di dapurnya. 

Miarni mengaku mendapat bantuan berupa gratis pajak tanah dari Pokdarwis serta mulai membuat makanan ringan berupa keripik untuk dijual pada wisatawan. 

“Bikin keripiknya baru saja, tapi kalau pajak tanah untuk desa dibayarkan Pokdarwis,” katanya.

Sementara bagi Widi, nenek berusia 68 tahun, tinggal di rumah dome berarti harus mau berbagi kamar mandi dengan 8 hingga 10 kepala keluarga lain. Suhu di dalam rumah terasa cukup panas, jika terik matahari di luar ruangan bisa mencapai 37 derajat celcius pada musim kemarau.  

“Kalau lampu mati malam hari, ya, tetap harus berjalan ke toilet bersama,” kata Widi, petani yang punya pekerjaan tambahan sebagai penjual makanan kecil di samping rumah dome miliknya. Terdapat satu bangunan toilet komunal dengan 8 hingga 10 kamar mandi di setiap bloknya.

Namun, seperti Miarni, sejumlah warga kini mulai membangun toilet sendiri di bangunan tambahan dekat dengan dome masing-masing. 

“Sekarang ada banyak yang membangun toilet sendiri. Kalau punya uang, ya, membuat toilet. Kalau tidak, ya, memakai fasilitas toilet bersama,” kata Widi.

Penduduk New Nglepen juga tak punya hak kepemilikan atas tanah dan bangunan yang mereka tempati. Warga mengaku, tak ada aturan resmi tentang sampai kapan mereka bisa tinggal di rumah bantuan tersebut. 

Sementara, tanah ambles di bukit Nglepen tak boleh ditempati atau didirikan bangunan permanen, meskipun hak milik tetap pada penduduk. Sejumlah warga setempat percaya tanah mereka di atas bukit telah dihuni oleh makhluk tak kasat mata dan tak boleh diitempati bangunan permanen. Tanah Widi di bukit Nglepen, misalnya, tetap produktif dengan digunakan untuk menanam pohon jati.

Namun Widi mengaku senang dengan pilihannya untuk menerima bantuan rumah dibandingkan uang sebesar Rp15 juta, sebelas tahun yang lalu. Sebab kini, menurutnya ada beberapa warga yang menyesal dan ingin mendapatkan bantuan berupa rumah dome pasca gempa. 

“Dulu kami, kan, bingung. Ketika kondisi rumah rusak, muncul pilihan dua jenis bantuan itu. Uang Rp15 juta waktu itu bisa membeli tanah, tapi tak cukup untuk beli bangunan rumah,” kata Widi. 

“Saya pilih rumah meskipun sempat kaget karena bentuknya seperti ini. Tapi alhamdulilah, sekarang jadi bisa disambi jualan,” akunya. 

Ia mengaku memiliki rumah baru di luar rumah Teletubbies yang sehari-hari ditempati oleh suaminya dan keluarga anaknya. Sebab nenek dengan satu cucu itu paham, hingga saat ini, warga belum bisa mendapatkan hak kepemilikan atas tanah atau aset berupa rumah dome tersebut.

Sampai kapan rumah Teletubbies bertahan?

Bukit Teletubbies di atas perumahan New Nglepen. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Ketua Pokdarwis Sulasmono mengaku warga memang was-was karena tak tahu sampai kapan bisa tinggal di dome. Namun mereka beranggapan, selama desa wisata bergerak positif warga akan tetap bisa tinggal di dome atas izin kelurahan setempat.

Pokdarwis juga tak bisa melarang jika ada warga yang melanggar kesepakatan dengan menambah bangunan dengan mengabaikan aturan. Pokdarwis kemudian berkreasi untuk memberikan hal lain untuk mempertahankan sekaligus menarik wisatawan bar, misalnya, pembangunan bukit Teletubbies yang ada sejak 2016.  

“Sekitar 80 persen dari penduduk dome adalah warga yang dahulu rumahnya terkena gempa 2006. Aturan adat membolehkan warga mewariskan rumah hanya pada keturunannya,” kata Sulasmono. 

“Kami tak bisa memaksa penduduk mengikuti aturan, karena ini memang bukan desa wisata, tetapi adalah rumah tinggal. Sehingga kami harus berinovasi setiap tahun untuk tetap menarik wisatawan.” 

Sementara, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman Makwan menyebut rumah dome adalah satu-satunya bantuan relokasi pada gempa 11 tahun yang lalu. 

“Rumah yang lain hanya mengalami rehabilitasi dan rekonstruksi di tempat. Relokasi hanya di Nglepen karena tanah yang ambles tak bisa dihuni bangunan permanen lagi,” kata Makwan, pada 27 Mei. 

BPBD menyebut rumah dome mampu menjadi tujuan wisata karena masyarakat setempat sangat kooperatif sejak bantuan tersebut diberikan sejak awal. Gotong royong muncul dengan mudah ketika rumah dibangun dan merawatnya hingga saat ini, meskipun masyarakat mulai menyesuaikan bentuk rumah dengan budaya setempat, menambah bangunan dengan desain lokal.

Namun BPBD juga mempertanyakan keberlangsungan rumah mini itu. Di antaranya, teknologi pembangunan rumah yang belum jelas apakah bisa direplikasi ulang, serta ketahanan rumah pada bencana lain yang lebih akrab di Yogyakarta; seperti banjir dan tanah longsor.

Selain itu, tak seperti relokasi bencana Merapi 2010, tanah aset desa di New Nglepen tak juga diberikan hak miliknya pada penghuni rumah. Hal itu berdampak pada keengganan pemilik rumah dalam memperbaiki dan membangun rumahnya dengan maksimal.  

“Usia ekonomis bangunan biasanya 25 tahun. Sampai sekarang kami belum mengetahui bagaimana renovasi yang sesuai atau apakah teknologi replikasi rumah itu masih ditinggalkan dan bisa dilakukan sendiri nanti. Dan bagaimana dampak rumah terhadap banjir,” katanya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!