Musala klenteng, simbol keberagaman di Salatiga

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Musala klenteng, simbol keberagaman di Salatiga
Musala klenteng Wisma Majelis Taklim Hidayatullah mempererat hubungan umat Muslim dan etnis Tionghoa Salatiga

SEMARANG, Indonesia — Siang itu, cuaca Kota Salatiga terlihat cerah. Hawa dingin mulai terasa menghangat saat Rappler menyusuri Jalan Raya Abiyasa, Dukuh Krajan RT 09/RW I, Kecamatan Sidomukti.

Di pojok jalan tersebut terdapat bangunan klenteng yang menyita perhatian para pengguna jalan. Selain berwarna merah menyala, ada hal lain yang berbeda pada bentuk klenteng tersebut. Tak lain karena pada kuncup gapuranya terpasang sebuah kubah musala.

Saat masuk ke dalamnya, terpampang tulisan besar Wisma Majelis Taklim Hidayatullah di depan pintu masuk. Di samping pintu, sekumpulan ibu-ibu sibuk merajang bahan makanan. Sedangkan, seorang pria tampak membersihkan halaman bangunan tersebut.

“Wisma Majelis Taklim Hidayatullah ini diperuntukan sebagai musala bagi warga Muslim yang menunaikan salat lima waktu maupun salat tarawih,” kata pria bernama Supriyanto tersebut saat Rappler menyapanya di pintu masuk.

Nama musala ini diambil dari nama si empunya bangunan, Haji Hidayatulloh. Supriyanto bercerita bahwa bangunan yang mahsyur sebagai musala klenteng tersebut didirikan oleh Haji Hidayatulloh pada medio 2006 silam.

Awalnya, kebun salak seluas hampir satu hektar dialihfungsikan untuk kemudian dipasang fondasi sebagai penanda pembangunan musala.

“Tepat saat Pak Haji pulang dari Makkah di tahun 2006, beliau kemudian mulai intens membangun musalanya. Luasan bangunannya sekitar 40 meter persegi,” kata Supriyanto.

Dibangun oleh mualaf Thionghoa

Pemilihan desain musala yang menyerupai klenteng disebut karena Haji Hidayatulloh merupakan seorang mualaf dari peranakan Thionghoa.

Supriyanto mengatakan sang pemilik menginginkan keberadaan musala klenteng tersebut dikenal masyarakat luas sehingga dijadikan tempat jujukan pengguna jalan tatkala menunaikan salat lima waktu.

Pemilik musala juga terinspirasi dengan corak arsitektur sebuah klenteng terkenal yang ada di Ambarawa. Mulai dari cat yang berwarna merah yang merupakan ciri khas kelenteng, hingga pernak-pernik lampion dan ukiran-ukiran naga, tersaji di dalam musala.

“Karena mengadopsi Klenteng Ambarawa, maka setiap sudut didesain menyerupai klenteng, mulai dari guratan kayunya, halaman depan, sampai corak gapura,” kata Supriyanto.

Tak ayal, jika jemaah pertama kali masuk ke dalam musala, pandangan mata akan terbentur pada corak warna merah khas Thionghoa. Selain itu, pada dinding dan pagar pembatasnya juga sangat kental desain klentengnya.

TIONGHOA. Wisma Majelis Taklim Hidayatullah dianggap mencerminkan hubungan erat antara umat Muslim dengan etnis Tionghoa di Salatiga. Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler

Masuk ke dalam mimbar musala, setiap jemaah akan disuguhkan arsitektur khas Jawa yang dipadukan dengan Tionghoa. Supriyanto menjelaskan walaupun kapasitas ruangannya masih kecil, tetapi jumlah jemaah yang salat di dalamnya sangat banyak.

“Setiap Rabu malam pasti ada pengajian rutin. Kalau sore ada buka bersama dengan anak-anak kampung terdekat. Bahkan ada sekitar 200 warga sekitar ikut tarawih di sini,” katanya.

Menurut Supriyanto, Haji Hidayatulloh menghabiskan ratusan juta rupiah untuk membangun musala klenteng. Saat dibangun, Haji Hidayatulloh selalu memikirkan desain apa yang tepat untuk dijadikan ikon di musalanya.

“Waktu dibangun, Bapak selalu memikirkan apa saja yang terkait dengan arsitektur musalanya. Bagaimana pagar besinya dipasang sebelah mana itu selalu dipikirkan secara matang,” kata Haji Hidayatulloh.

Ikon Salatiga

Lambat laun keberadaan musala klenteng mulai dikenal masyarakat Salatiga. Tak jarang warga menjadikan musala klenteng sebagai patokan jika masuk ke Dukuh Krajan.

Selain lokasinya strategis, beberapa pengguna jalan terheran-heran mengapa terdapat musala di dalam klenteng. 

“Maka dari itu, orang-orang kalau mau ke Krajan, ancer-ancernya ya musala klenteng. Alhamdullilah, sekarang semakin dikenal oleh warga Salatiga maupun luar kota. Mungkin ini hikmah yang saya dapatkan dari jerih payah membangun musala untuk memfasilitasi umat Muslim beribadah setiap hari,” kata Hidayatulloh.

Bersama sang istri, Juwariyah, dirinya juga rutin mengadakan pembagian takjil kala beduk Maghrib berkumandang. 

“Semenjak naik haji, saya makin termotivasi mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjalankan segala tuntunannya,” ujarnya.

Selain membangun musala, ia kini juga sibuk mengurus usaha pengolahan makanan enting-enting gepuk sebagai oleh-oleh khas Salatiga. Dengan brand Enting-enting Klenteng Hoaho, makanan tersebut saat ini jadi primadona bagi pelancong yang mampir ke Salatiga.

Sedangkan Juwariyah cukup gembira dengan animo masyarakat yang singgah ke musalanya. Ini, menurutnya, merupakan simbol kemajemukan masyarakat Thionghoa dan Jawa yang bermukim di sekitar Salatiga, katanya.

Bangunan musala Wisma Majelis Taklim Hidayatullah kini juga dianggap mencerminkan hubungan erat antara umat Muslim dengan etnis Tionghoa. 

“Kami menyediakan sejumlah kamar yang setiap harinya ditempati mahasiswa UIN Salatiga. Mereka sering mengajar pengajian kepada warga-warga di sekitar sini,” kata Juwariyah. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!