Kisah seniman Amerika rintis perpustakaan gratis di Solo

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah seniman Amerika rintis perpustakaan gratis di Solo
Pasangan suami-istri asal Amerika Serikat, Michael Mrowka dan Debra Lunn, mendirikan perpustakaan gratis karena minat baca orang Indonesia masih rendah

SOLO, Indonesia — Suasana Perpustakaan Ganesa semakin ramai menjelang sore hari. Di ruangan yang dikelilingi rak kayu dan bersekat dinding kaca kedap suara, belasan orang duduk lesehan di atas bantal-bantal empuk bersarung quilt batik sembari membaca buku. 

Hembusan udara sejuk dari pendingin suhu ruangan semakin membuat pengunjung betah berlama-lama. Bahkan, ada yang merebahkan kepalanya di atas bantal sambil tiduran dan terus khusyuk melahap halaman demi halaman buku di tangannya.

Beberapa lainnya terlihat sedang asyik berselancar di internet dengan komputer jinjingnya, memanfaatkan WiFi gratis dan kencang. Di ujung ruangan, sebuah televisi layar datar berukuran besar menayangkan dunia satwa dari saluran National Geographic Wild dengan suara lirih—tayangan yang digemari anak-anak. 

“Membaca bukan kebiasaan orang-orang di sini, terutama anak-anak, karena harga buku terlalu mahal dan tak terjangkau bagi mereka.”

Perpustakaan yang berdiri sejak 2010 di Kota Solo ini sengaja dirancang berbeda. Selain memiliki koleksi buku impor yang banyak, Ganesa sangat nyaman untuk membaca berjam-jam.

Adalah Michael Mrowka dan Debra Lunn pendiri perpustakaan umum ini. Pasangan suami-istri asal Amerika Serikat (AS) yang berprofesi sebagai seniman quilt sekaligus pekerja sosial ini sangat menyukai buku dan memiliki koleksi lebih dari 4.000 judul buku di perpustakaan pribadi di rumahnya. 

Selain bekerja di studio Lunn Fabrics di Lancaster, Ohio, yang dirancang untuk meriset tentang teknik produksi dan mengembangkan motif batik sebagai bahan dasar quilting, pasangan ini juga menyisihkan waktu untuk menggalang donasi buku dari warga AS lewat lembaga non-profit Ganesa Study Center di kota yang sama.

Sekitar 2004, Mrowka dan Lunn datang ke Solo dan mencari partner produksi batik. Keduanya baru sadar bahwa masyarakat lokal tidak memiliki kebiasaan membaca seperti di negaranya. Lebih sedih lagi, pasangan itu mendapati anak-anak dari keluarga buruh batik yang rata-rata berupah rendah tidak mampu membeli buku.

Kondisi ini sangat kontras dengan pengalaman masa kecil Mrowka dan Lunn yang akrab dengan buku bacaan karena banyaknya perpustakaan publik gratis di negaranya. Mereka tidak percaya pada persoalan minat baca anak-anak yang rendah, melainkan lebih karena terbatasnya akses terhadap buku dan perpustakaan.

“Membaca bukan kebiasaan orang-orang di sini, terutama anak-anak, karena harga buku terlalu mahal dan tak terjangkau bagi mereka. Saya perhatikan di toko buku banyak orang membaca, tetapi hanya sedikit yang membeli,” ujar Mrowka yang setiap tahun menghabiskan waktunya beberapa bulan di Solo untuk mengurusi produksi batik.

“Di negara kami, anak-anak begitu mudah mengakses buku di perpustakaan. Bahkan, hampir setiap rumah punya perpustakaan sendiri.”

Pada kedatangan berikutnya, suami-istri itu membawa lebih dari 200 buku dari negaranya dalam bagasi mereka untuk dibagikan kepada anak-anak dari keluarga buruh batik. Sesuai dugaan mereka, anak-anak sangat antusias dan menyukai buku-buku itu.

Keduanya kemudian berpikir untuk membuat taman bacaan sebagai wadah untuk berbagi buku, sehingga satu buku bisa dibaca banyak anak. Ide itu didukung oleh mitra bisnis batik di Solo, Haji Nuruddin, dan memberikan salah satu aset propertinya untuk gedung perpustakaan.

Ganesa, perpustakaan umum gratis di Solo. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Awalnya taman bacaan ini hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga buruh batik di Solo. Namun, karena minat masyarakat luas yang besar untuk ikut membaca, akhirnya Perpustakaan Ganesa disahkan dengan akta notaris dan resmi dibuka untuk umum. 

Koleksi buku pertama hanya 3.000 judul, kemudian terus bertambah hingga saat ini mencapai lebih dari 31.000 judul. Namun, belum semua koleksi bisa dipinjam, karena sebagian masih dalam  proses pengindeksan dan penerjemahan—khusus untuk buku anak-anak berbahasa Inggris. 

Sekitar 40 persen koleksi Ganesa merupakan buku-buku terbitan AS dan Kanada, sedangkan sisanya terbitan Indonesia. Beragam buku ada di sini, dari fiksi, buku agama (sebagian besar Islam), bahasa, komputer, sejarah, hukum, komunikasi, fotografi, olahraga, sastra, pendidikan, bisnis, motivasi, referensi guru, kamus, sampai ensiklopedia.

Koleksi buku berbahasa Inggris inilah yang membuat Ganesa berbeda dari perpustakaan lainnya. Di sini, pengunjung bisa membaca novel karya penulis terkenal seperti John Grisham, JK Rowling, Dan Brown, Danielle Steel, Amy Tan, dan Haruki Murakami, dalam versi bahasa Inggris. 

Sementara untuk rak anak-anak dan remaja, koleksi Ganesa berbahasa Inggris cukup lengkap, mulai dari buku cerita karya Hans Christian Andersen, Charles Dickens, Astrid Lindgren, hingga RL Stine. Ada juga koleksi buku populer seperti Dr Seuss, Sesame Street, Dora, Franklin, Curious George, Blue’s Clues, dan seri buku menggambar Ed Emberly.

“Sebagian kami beli saat ada bazaar buku separoh harga di beberapa negara bagian AS. Sebagian lagi merupakan buku donasi dari teman-teman kami,” ujar Mrowka.

“Debra sendiri yang membaca dan menyortir ribuan buku sebelum dikirim ke Solo, untuk memastikan agar buku-buku dengan konten kekerasan dan pornografi tidak lolos dalam boks yang akan dikapalkan.”

Sedangkan untuk buku-buku lokal, perpustakaan ini selalu menambah koleksinya setiap bulan minimal 70 judul yang dibeli dari toko buku. Anggota perpustakaan juga bisa memberikan saran buku yang layak beli dan pengelola Ganesa akan memasukkannya dalam daftar belanja bulanan. 

Semua layanan di perpustakaan ini sepenuhnya gratis, dari pembuatan kartu anggota sampai peminjaman. Pengunjung juga bisa meminjam dan membawa pulang empat buku untuk sepuluh hari—kecuali untuk buku baru, peminjaman bisa diperpanjang sepuluh hari lagi. Untuk mendaftar menjadi anggota, syaratnya cukup menunjukkan kartu pengenal dan mengisi formulir. 

Tak ada jaminan apapun dalam peminjaman buku. Perpustakaan ini menerapkan prinsip kejujuran pada setiap anggotanya, dan beranggapan bahwa setiap orang akan menjaga dan merawat buku pinjaman agar tak rusak atau hilang, serta mengembalikannya tepat waktu untuk memberi kesempatan bagi orang lain yang ingin membaca.

Mrowka dan Lunn percaya bahwa setiap orang berhak untuk membaca, karenanya Perpustakaan Ganesa tidak membatasi anggota maupun peminjaman buku. Prinsipnya, perpustakaan ini ada untuk mempermudah akses terhadap buku, sehingga tak pernah mempersulit setiap orang yang datang dan ingin membaca dengan berbagai persyaratan.

“Perpustakaan ini bukan milik kami. Ini milik semua anggota, semua orang boleh memanfaatkannya. Kami hanya membantu agar lebih banyak orang bisa membaca tanpa harus membeli buku,” kata Mrowka.

Hingga hari ini jumlah anggota perpustakaan mencapai lebih dari 11.000 orang, yang membuat Ganesa sebagai perpustakaan dengan jumlah anggota terbesar di Solo dan sekitarnya. Angka peminjaman buku untuk setahun terakhir mencapai lebih dari 70.000 kali.

Manajer Perpustakaan Ganesa, Haerul Afandi, menceritakan Ganesa berhasil menarik banyak peminat buku dan membentuk komunitas, salah satunya dengan menjadikan perpustakaan tidak hanya sebagai tempat membaca, melainkan juga tempat kegiatan belajar masyarakat. 

Di Ganesa, anggota perpustakaan juga bisa mengikuti kelas Ganesa English Speaking, diskusi komunitas pembaca Ganesa, kelas kerajinan tangan, dan kelas mendongeng untuk anak. Semuanya gratis.

“Kami juga sedang merancang kelas bahasa Inggris untuk anak, dan juga akan melibatkan relawan dengan konsep berbagi,” ujar Afandi.

Selain untuk kegiatan rutin, Ganesa juga menerima anggota yang ingin menjadi relawan di perpustakaan, mulai dari menerjemahkan buku anak-anak sampai membantu administrasi pengelolaan buku. 

Perpustakaan yang buka dari Selasa-Minggu pukul 09:00-17:00 ini juga aktif berbagi buku untuk anak-anak pada saat peringatan hari buku dan hari pendidikan di acara hari bebas kendaraan. Selain sebagai kampanye membaca, cara ini sekaligus untuk menarik lebih banyak orang untuk mengunjungi perpustakaan.

Ganesa telah berhasil memancing minat baca anak-anak, terutama mereka yang masih di usia prasekolah. Beberapa orang tua yang mengenalkan perpustakaan kepada anaknya sejak dini menuturkan bahwa anak-anak mereka menjadi gemar membaca di kemudian hari.

“Kebiasaan meminjam buku, lalu minta dibacakan cerita itulah yang akhirnya membuat anak saya termotivasi ingin segera bisa membaca sendiri, ingin tahu isi cerita dalam buku. Ia belajar membaca tanpa dipaksa, tanpa les,” ujar Ina yang membawa anaknya ke Ganesa sejak usianya tiga tahun.

“Sekarang sudah SD semakin kecanduan membaca dan bisa menghabiskan dua buku dalam sehari,”  katanya.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!