Surat terbuka dari ibu anak berkebutuhan khusus untuk para perisak

Camelia Pasandaran

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Surat terbuka dari ibu anak berkebutuhan khusus untuk para perisak
Bagaimana perjuangan seorang ibu membesarkan anak berkebutuhan khusus di tengah maraknya kasus 'bullying' di lingkungan sekitar?

Para perisak, 

Saat kamu main game online, anak-anak berkebutuhan khusus kerap harus menghabiskan jam-jam yang tidak menyenangkan menjalani terapi fisik. 

Saat kamu dengan mudah belajar di sekolah, anak-anak berkebutuhan khusus kerap harus belajar keras memaknai tiap kata dan ucapan dari guru. 

Saat kamu bisa berlari, berlibur, dan menikmati hidup, anak-anak berkebutuhan khusus kerap menghabiskan jam-jam menyakitkan di rumah sakit karena rentannya kesehatan mereka.

Saat kamu dengan mudah menjalin pertemanan, anak-anak berkebutuhan khusus kerap harus mengatasi ketakutan mereka menjalin pertemanan dengan orang-orang baru. 

Para perisak, 

Hidupmu mungkin mudah. Kamu lahir sehat. Tumbuh sempurna. Sekolah di sekolah normal. Bisa kuliah. 

Tapi sadarilah di saat kamu menikmati semua itu, anak-anak berkebutuhan khusus mengalami sebaliknya. Sakit. Tubuh yang tidak sempurna. Bersekolah di sekolah khusus. Tidak selalu mendapat kesempatan untuk kuliah. 

Para perisak, 

Saya ingin kamu mengenal anak saya. Keluarga dan hidup saya sempurna, seperti mungkin hidupmu, sampai suatu hari seorang dokter memberitahu saya kalau anak saya mengalami kelainan genetik dengan nama yang belum pernah saya dengar seumur hidup saya: Robertsonian Translocation. Sebagai akibat dari kelainan ini, anak saya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik dan mental dan mengalami banyak masalah kesehatan. 

Dua minggu pertama dalam hidupnya, dia tinggal di kotak kaca berwarna biru di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) sebuah rumah sakit karena lahir dengan hydrops fetalis. Dokter tidak yakin apakah dia bisa bertahan. Ucapannya selalu, “Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa, maaf! Kalaupun dia bertahan, dia bisa mengalami celebral palsy.”

Di tahun pertama hidupnya, dia dua kali masuk rumah sakit karena pneumonia dan campak dan kembali masuk ke ICU. Pada penyakit kedua, virus menyebar ke banyak bagian tubuh termasuk ke otaknya. Tapi dia bertahan di tengah keraguan. 

Di tahun pertama juga, kami mengetahui kalau dia menderita kelainan bocor jantung. Dia harus menanti satu setengah tahun untuk operasi menutup kebocoran jantungnya. Di tahun kedua hidupnya, dia sempat masuk rumah sakit karena gagal jantung. Saat saya menulis ini, anak saya juga sedang dirawat di rumah sakit.  

Para perisak, 

Kalau orangtuamu bertepuk tangan pada saat kamu bisa berjalan di usia satu tahun, saya dan suami harus menunggu anak kami berusia dua setengah tahun sampai dia bisa berjalan perlahan-lahan. Telapak kakinya yang cenderung datar membuat dia sering jatuh saat belajar berjalan. Berjalan adalah perjuangan. 

Kalau orangtuamu bisa berbahagia mendengarmu mengucapkan Mama dan Papa saat usiamu satu tahun, anak saya masih berjuang menata suku kata menjadi kata-kata bermakna. Bicara adalah perjuangan. 

Kalau wajahmu normal, anak saya memiliki wajah khas anak-anak dengan kelainan genetik. Tulang hidung yang rendah dan bentuk mata yang tidak biasa. 

Dari kamu lahir sampai kamu besar, berapa kali kamu masuk rumah sakit? Anak saya berkali-kali masuk rumah sakit karena berbagai penyakit. 

Kalau kamu dengan mudah mempercayai orang-orang di sekelilingmu, anak saya belajar untuk membangun kepercayaan itu. Berbagai penyakit yang menyertainya membuat dia kerap takut bertemu dengan orang baru. Di tahun-tahun awal hidupnya, masuk mall saja bisa membuat jantungnya berdebar-debar. 

Hidup kami penuh drama dan air mata. Semoga hidupmu tidak. Kalau contoh kesulitan anak saya tidak cukup meyakinkan buatmu, ada banyak ibu di dunia ini, di Indonesia, yang bisa bersaksi bagimu betapa sulitnya kehidupan anak berkebutuhan khusus. 

Para perisak, 

Bersyukurlah dengan normalitas dan kemudahan hidupmu. Tidak ada yang salah dengan itu, kecuali kalau kamu menggunakannya untuk merisak hidup mereka yang kamu anggap “tidak normal.”

Anak yang kamu bully, bila benar dia autis, perlu perjuangan besar untuk berkonsentrasi dan belajar. Ini pun mungkin bisa dicapai setelah melalui berbagai terapi. 

Anak-anak berkebutuhan khusus, seperti anak autis yang kamu bully, kerap harus belajar berjalan dengan dagu tetap tegak saat orang melayangkan pandangan kasihan atau menghina padanya. 

Jadi kalau dia sampai bisa masuk universitas, percayalah dia sudah melalui banyak hal dalam hidupnya, berjuang jauh lebih keras dari orang normal. Jadi adilkah baginya, yang berjuang begitu besar dalam hidupnya, mengalami bullying?

Apa yang kalian lakukan tidak hanya menyedihkan mereka yang berkebutuhan khusus, tapi juga kami, keluarga dan pendukung anak-anak berkebutuhan khusus. Kami yang tiap hari menyaksikan bagaimana mereka berjuang untuk tetap hidup dan merayakan hidup dalam segala kekurangan mereka.

Kebahagiaan kami adalah melihat anak kami bertumbuh, kalaupun bertumbuh perlahan. Kebahagiaan kami adalah melihat senyumnya mengembang saat bisa melakukan sesuatu yang baru meski itu terlambat dibanding anak seusianya. Kebahagiaan kami adalah kalau dia bisa diterima lingkungannya, meski ada saja orang yang kerap memandang dengan cela. 

Jadi, kalau kamu mau merusak perjuangan anak kami dan kebahagiaan kami, kira-kira apa yang kami harus lakukan padamu?—Rappler.com

Penulis adalah mantan jurnalis yang berprofesi sebagai dosen jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara. Dia adalah ibu dari anak berkebutuhan khusus penyandang kelainan genetik Robertsonian Translocation dan kakak dari seorang perempuan penyandang Down Syndrome. 

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!