Api yang tak pernah padam di rumah pengasingan Rengasdengklok

Ryan Rene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Api yang tak pernah padam di rumah pengasingan Rengasdengklok
Rumah Sejarah Rengasdengklok menjadi saksi Bung Karno dan Bung Hatta menyusun konsep proklamasi. Bagaimana kondisinya saat ini?

RENGASDENGKLOK, Indonesia — Seringkali sebagian dari kita pernah berpikir bahwa waktu akan memudarkan suatu peristiwa, bahkan akan menenggelamkan memori yang terkandung di dalamnya. Tapi hal itu tidak terjadi di suatu wilayah yang masih menjadi bagian dari Kabupaten Karawang, yaitu Rengasdengklok. Wilayah yang sudah semakin memperlihatkan bukti kemajuan dari suatu kota namun masih cukup asri dengan persawahan dan perkebunan yang membentang di sekelilingnya. 

Jika menyebut Rengasdengklok, maka kebanyakan orang akan mengingat salah satu peristiwa sejarah penting yang pernah terjadi di Indonesia — di mana terjadi “penculikan” terhadap Bapak-Bapak Bangsa, Soekarno dan Mohammad Hatta, yang bertujuan untuk menyegerakan kemerdekaan.

Peristiwa itu terjadi di mana para golongan muda, di antaranya Chaerul Saleh, Soekarni, dan Wikana menginginkan proklamasi kemerdekaan segera dilakukan tanpa campur tangan penjajah Jepang. Berdasarkan alasan tersebut, mereka akhirnya “mengamankan” Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.

Semua bermula di mana Bung Karno dan Bung Hatta dibawa oleh para golongan muda dari Jakarta menuju Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945—sehari sebelum hari proklamasi.

Di balik peristiwa tersebut terseliplah sebuah kisah dari suatu keluarga yang tetap menjaga api semangat dedikasi 72 tahun silam. Semangat yang belum pudar hingga saat ini untuk menjaga kelestarian suatu sejarah agar tetap abadi hingga tak lekang oleh waktu. Keluarga tersebut adalah keturunan dari Djiaw Kie Siong, seorang petani yang rumahnya digunakan saat peristiwa itu terjadi.

Semua bermula di mana Bung Karno dan Bung Hatta dibawa oleh para golongan muda dari Jakarta menuju Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945—sehari sebelum hari proklamasi. Sesampainya di sana, kedua tokoh besar tersebut ditempatkan lebih dahulu di markas Pembela Tanah Air (PETA). 

Selain itu juga karena alasan keamanan agar tidak terendus oleh tentara Jepang dan ditambah dengan Bung Karno yang membawa istri beserta anaknya, Guntur Soekarnoputra, yang masih balita. Akhirnya mereka ditempatkan di rumah yang paling dekat dengan markas PETA yang berada di tepi Sungai Citarum. Rumah tersebut adalah milik Djiaw Kie Siong. 

Walau tidak mengetahui apa yang terjadi saat itu secara jelas, Djiaw Kie Siong kemudian membawa seluruh keluarganya ke rumah kerabatnya karena rumah tersebut akan didiami sementara oleh Bung Karno dan Bung Hatta. 

Di rumah itulah, Bung Karno dan Bung Hatta memulai proses menulis konsep proklamasi. Sempat terjadi perdebatan antara kedua tokoh tersebut dengan para golongan muda. Golongan muda menginginkan proklamasi harus dilaksanakan secepat-cepatnya tanpa melalui Panitia Perencanaan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dianggap dipengaruhi oleh Jepang. Namun, Bung Karno tetap bersikeras bahwa proklamasi harus tetap dijalankan sesuai prosedur melalui PPKI.

“Pada tanggal 15 Agustus 1945 sebenarnya bendera Merah Putih sudah dikibarkan dan akan dilakukan pembacaan proklamasi di markas PETA. Tapi tanggal 16 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta dijemput, jadi dibacakannya di Jakarta,” kata Ibu Lanny, pemandu Rumah Sejarah Rengasdengklok, yang merupakan cucu menantu dari Djiaw Kie Siong. 

Eks markas PETA yang kini menjadi  Monumen Kebulatan Tekad. Foto oleh Ryan Rene/Rappler

Ia menambahkan, setelah Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Jakarta, terdapat beberapa robekan kertas yang sepertinya digunakan dalam menyusun konsep proklamasi. Namun, karena terdapat kekuatiran jika jejak dari kedua proklamator tersebut akan ketahuan oleh tentara Jepang, maka robekan kertas tersebut kemudian dibakar untuk menghilangkan jejak. 

Pada 1957, saat mengetahui abrasi sering melanda tepian Sungai Citarum, Djiaw Kie Siong berinisiatif untuk memindahkan rumahnya sekitar 150 meter agar menjauh dari tepian sungai demi mengamankan rumah bersejarah tersebut. Setahun kemudian, abrasi meluluhlantakkan bekas lokasi rumah tersebut sehingga kini telah menjadi aliran Sungai Citarum. 

Inisiatif tersebut ternyata amat tepat sehingga rumah berjasa tersebut masih dapat “menceritakan” kisahnya hingga saat ini. 

“Rumah ini masih asli walau sudah dipindahkan dari tepi Sungai Citarum. Namun, perabotan yang dipakai oleh Bung Karno dan Bung Hatta sudah dibawa ke Museum Wangsit Siliwangi Bandung,” kata Lanny.

“Perabotan sekarang ini masih milik Djiaw Kie Siong karena waktu itu masih memiliki jenis serupa seperti yang dipakai Bung Karno dan Bung Hatta. Tetapi ubin yang ada di lantai saat ini masih asli.”

Keluarga  Djiaw Kie Siong selalu bersiap di muka rumah untuk menyambut dengan ramah setiap pengunjung yang datang. Bahkan, pertanyaan dari pengunjung pun juga akan dijawab dengan baik sehingga para pengunjung akan mendapatkan wawasan sejarah mengenai rumah tersebut. 

Ruang Tidur Bung Hatta. Foto oleh Ryan Rene/Rappler

Tak heran pada saat Rappler mengunjungi rumah bersejarah ini, pengunjung yang datang seperti tidak pernah berhenti. Tidak hanya pengunjung yang berasal dari Karawang, Jawa Barat, namun juga banyak pengunjung yang berasal dari luar kota. Bahkan, ada pengunjung yang membawa keluarga besarnya untuk mengunjungi situs bersejarah ini. 

Saat ini, rumah tersebut masih dirawat dengan sangat baik oleh keluarga Djiaw Kie Siong. Keluarga tersebut masih menjaga aura sejarah dari rumah tersebut. Sang pemandu mengatakan bahwa Djiaw Kie Siong tidak memberikan pesan khusus kepada keluarganya sebelum wafat. Namun, beliau berpesan agar selalu menjaga rumah ini karena bangunan ini adalah bersejarah yang pernah ditempati kedua proklamator saat menyusun konsep proklamasi.

Sejarah adalah masa lampau itu benar. Tetapi, sejarah berguna untuk mempersiapkan masa depan yang jauh lebih hebat. Djiaw Kie Siong memang sudah tiada dan namanya sering luput dari buku teks sejarah, tetapi api semangat dedikasinya kepada negara masih berkobar di Rumah Sejarah Rengasdengklok. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!