Di ‘Women Change Makers’, perempuan positif HIV ceritakan kisah mereka

Nadia Vetta Hamid

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Di ‘Women Change Makers’, perempuan positif HIV ceritakan kisah mereka
Ketiga perempuan ini berharap agar bisa dilihat sebagai diri mereka apa adanya dan dilibatkan dalam program pemerintah

JAKARTA, Indonesia —  Seorang ibu rumah tangga, seorang advokat pekerja seks, dan seorang perempuan transgender – apa kesamaan mereka? Ketiganya hidup dengan HIV.

Ayu Oktariani, Hanna, dan Liana menceritakan pengalaman mereka sebagai perempuan yang positif HIV dalam acara Women Change Makers yang diadakan oleh UN Women Indonesia di The Warehouse, Plaza Indonesia pada Kamis, 1 Desember. Sebelum sesi diskusi dimulai, film dokumenter singkat yang mengangkat kisah ketiganya diputar terlebih dulu.

Acara ini merupakan rangkaian kegiatan dari kampanye global 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dari Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang jatuh pada 25 November hingga Hari Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 2016.

Selain itu, ada juga Planet 50-50 yang adalah sebuah pameran komik dan kartun untuk kesetaraan gender, kerjasama UN Women Indonesia dengan Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Kedutaan Besar Negara-negara Anggota Uni Eropa. Karya yang dipamerkan adalah milik pemenang dan semifinalis dari kompetisi yang diadakan di bulan Agustus 2016.

Karya Yuni Santi yang dipamerkan di Planet 50-50. Foto oleh Nadia Vetta Hamid/Rappler

Berjuang lawan stigma dan diskriminasi

Di tahun 2015, sebanyak 30.935 orang terinfeksi HIV dan 40,6% di antaranya adalah perempuan. Perempuan dengan HIV adalah populasi yang rentan menerima kekerasan, stigma, dan diskriminasi.

Mereka bertiga sama-sama mengharapkan bahwa stigma dan diskriminasi yang melekat kepada perempuan yang hidup dengan HIV dapat dihilangkan. “Saya tidak berbeda dari perempuan lainnya. Saya masih tetap bisa bekerja dan berkarya,” kata Ayu, yang adalah anggota dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).

“Perempuan dengan HIV pun tetap bisa memiliki keturunan asalkan berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Proses kehamilan dan menyusui yang kami jalani pun sama dengan perempuan lainnya,” ungkap Ayu. Berdasarkan pengalamannya, Ayu harus menjalani prosedur medis sebelum merencanakan kehamilan dan ketika akan menentukan proses persalinan.

Liana aktif di Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), komunitas yang mengadvokasi hak-hak bagi perempuan pekerja seks dan mengedukasi mereka mengenai HIV. “Kami memberikan informasi untuk pekerja seks, walaupun sudah tertular HIV namun mereka tetap bisa meningkatkan kualitas hidup mereka,” jelas Liana.

Dalam video yang ditayangkan sebelum sesi diskusi, Hanna menceritakan pengalaman pahit ketika ibunya mengetahui bahwa ia positif HIV. Alat makannya sempat dipisahkan karena sang ibu takut tertular oleh Hanna.

Hanna juga mengaku, karena profesinya yang beresiko, ia sempat urung untuk melakukan tes HIV. Namun, ia tetap dapat melanjutkan hidupnya berkat dukungan dari teman-teman terdekatnya.

Lokalisasi

Hanna dan Liana juga menyayangkan kebijakan pemerintah untuk menutup lokalisasi. “Pemerintah tidak berpikir dampak panjangnya,” kata Liana. “Mereka berpikir bahwa dengan hilangnya lokalisasi, prostitusi juga akan hilang‬.” 

“Pekerja seks akan selalu ada meskipun lokalisasi sudah digusur.”

Liana juga menilai bahwa penutupan lokalisasi malah dapat memperparah tingkat penularan HIV. “Karena lokalisasi ditutup, kondom makin sulit didapatkan oleh pekerja seks,” lanjutnya.

“Bagaimana caranya menekan penularan HIV kalau kondom saja sulit didapat?‬”

Hanna menyebutkan bahwa bahkan sempat ada himbauan bagi pemilik maupun pengelola salon untuk tidak mempekerjakan waria. “Apakah pemerintah tahu definisi manusia? Saya yakin tidak tahu.”

Karya Laurensia Marshelina yang dipamerkan di Planet 50-50. Foto oleh Nadia Vetta Hamid/Rappler

Kurangnya pendidikan seks

Saat ditanya apakah mereka mau menjadi akademisi, ketiganya mengaku tertarik. Sayangnya, justru ada pembatasan dari institusi pendidikan untuk berbicara mengenai pendidikan seks.

“Tiap kali kami ke sekolah-sekolah, pihak sekolah sudah wanti-wanti untuk jangan membicarakan kondom, orientasi seks, dan lain-lain,” jelas Ayu. “‪Padahal kan mata mereka harus dibuka agar dapat menghargai orang lain. Jadinya kami hanya bisa setengah-setengah.”

Liana mengaku tertarik masuk bidang akademik. Katanya anak-anak justru ingin tahu lebih banyak tentang seks. “Edukasi dini terhadap seks itu memang penting namun regulasi yang mengatur memang belum ada.‬”

Hanna mengatakan bahwa kurangnya pendidikan seks ini terlihat dalam sistem penegakan hukum. “Yang paling memprihatinkan adalah ketika kondom masih dijadikan barang bukti,” kata anggota Gaya Warna Lentera ini.

“Bagi teman-teman waria atau MSM (men who have sex with men, laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki), ada laporan bahwa ARV (obat Antiretroviral yang digunakan dalam pengobatan HIV/AIDS) dijadikan barang bukti‬.”

Harapan

Apa saja harapan Ayu, Liana, dan Hanna bagi masyarakat maupun pemerintah, kepada perempuan HIV positif seperti mereka?

“Kami ingin dilihat sebagai diri kami sendiri,” lanjut Ayu. “Rasanya menyakitkan karena kami tidak bisa jujur ke keluarga sendiri tentang status kami. Dan kami juga ingin dilibatkan dalam program-program yang dicanangkan pemerintah.”

Saya ingin segala bentuk diskriminasi dan stigma-stigma negatif diakhiri,” kata Hanna.

Sama seperti kedua rekannya, Liana berharap jangan sampai ada lagi diskriminasi terhadap perempuan dengan HIV. Ia juga memiliki pesan khusus: “Bagi perempuan, terutama laki-laki, kalau suka selingkuh lebih baik jujur kepada pasangan daripada menularkan HIV.”Liana juga berharap tak ada lagi penutupan lokalisasi.

Pameran komik dan kartun untuk kesetaraan gender, Planet 50-50 berlangsung hingga 10 Desember 2016 di The Warehouse, Plaza Indonesia level 5 pada pukul 10.00-22.00 WIB. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!