Mengapa ojek tradisional membenci Go-Jek dan GrabBike

Nadine Freischland

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa ojek tradisional membenci Go-Jek dan GrabBike

AFP

Apa inti permasalahannya? Dan mengapa Go-Jek berekspansi dengan posisi yang belum solid?

Saat ini ada banyak aksi protes menentang perusahaan yang menggunakan teknologi untuk mengubah bisnis transportasi tradisional, dan entah kebetulan atau tidak, protes ini terjadi di seluruh dunia. Layanan booking transportasi Uber adalah yang paling sering menjadi sasaran masalah ini.

Dengan aplikasi Uber, semua pemilik mobil bisa menjadi “supir taksi” dadakan, menjemput penumpang yang ada di dekat mereka, dan mengantarkan mereka sampai tujuan dengan upah yang sesuai. Tapi, supir taksi konvensional merasa model bisnis mereka terancam akibat kehadiran Uber. Di Prancis, supir taksi bahkan turun ke jalan dan melakukan demo anarkis untuk menentang Uber.

Uber di Indonesia juga mengalami masalah. Tapi dalam bulan ini, konflik antara pengemudi aplikasi ojek pesanan seperti Go-Jek dan GrabBike dengan pengemudi ojek pangkalan rasanya jauh lebih panas daripada yang dialami Uber. Sejumlah orang yang mengatas namakan pengemudi ojek bekerja sama, memasang banner, dan menggunakan taktik intimidasi untuk mencegah Go-Jek dan GrabBike masuk ke area tertentu.

Ojek sebagai moda transportasi

Ojek adalah moda transportasi yang ada hampir di seluruh sudut kota Jakarta yang terkenal dengan kondisi lalu lintasnya yang buruk. Ojek bisa ditemukan di tiap sudut jalan. Pengemudi ojek juga tidak perlu menjalani pemeriksaan atau pendaftaran apapun. Pembayarannya dilakukan secara tunai, dan tarifnya tergantung dari tawar menawar.

Ojek terkesan tidak aman, dan helm yang mereka sediakan biasanya tidak bersih. Proses tawar menawarnya juga kadang menjengkelkan. Intinya, ojek adalah moda transportasi yang disukai sekaligus dibenci, tapi sangat diandalkan oleh orang banyak di kawasan rawan macet seperti Jakarta.

Go-Jek sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu dan ingin memperbaiki transportasi ojek dengan menciptakan armada ojek yang aman dan terpercaya. Tapi baru di awal tahun ini Go-Jek meluncurkan aplikasi mobile-nya dan mulai serius mengembangkan jaringan pengemudi ojeknya.

Melalui aplikasi ini, pengguna bisa memesan ojek dan tidak perlu mencarinya lagi di jalan. Pengemudi Go-Jek juga bisa dinilai berdasarkan pengalaman perjalanan yang dialami. Pengemudi Go-Jek ini juga sudah terdaftar, melewati proses pemeriksaan, dan selalu menyediakan helm yang bersih dan masker ke tiap penumpang. 

Di bulan Juni, GrabTaxi dari Malaysia meluncurkan layanan yang mirip di Jakarta dan diberi nama GrabBike. Tapi, karena muncul lebih awal, Go-Jek masih lebih unggul dan membuat mereka sedikit lebih disorot di konflik ini.

Dalam waktu singkat, masyarakat Jakarta sangat menerima layanan seperti Go-Jek dan GrabBike ini, karena keduanya membuat moda transportasi yang tidak formal tapi dibutuhkan ini menjadi lebih bisa dipercaya. Pengemudi ojek juga banyak yang memanfaatkan momen, dan Go-Jek mengklaim bahwa mereka sudah punya lebih dari 2.500 pengemudi terdaftar, dan helm dan jaket hijau khas mereka sudah sering dijumpai di jalan-jalan kota Jakarta.

Saya memesan Go-Jek hampir tiap hari dan sering mengajak pengemudinya ngobrol. Sejauh ini hampir semuanya (minus satu orang) yang mengaku penghasilannya meningkat sejak bergabung dengan Go-Jek. Satu orang yang mengaku penghasilannya tidak berubah pun tetap merasa aplikasi ini berguna karena memudahkannya menemukan penumpang.

Lantas, kenapa layanan ini ditentang oleh beberapa pengemudi ojek? Kebanyakan masyarakat Jakarta melihat tindakan mereka sebagai sesuatu yang “terbelakang” dan mulai mempertanyakan kesiapan kota besar ini untuk menerima inovasi dari teknologi.

Konfliknya

Kalibata City, sebuah kompleks apartemen besar di Jakarta Selatan, tampaknya menjadi titik paling panas. Penghuninya yang berjumlah ribuan membuat tempat ini cukup menguntungkan, dan tiap lima gerbang masuk utamanya punya pojokan dengan pengemudi ojek yang nongkrong, siap menunggu penumpang.

Tapi, banner di pohon dan pagar memperlihatkan bahwa Go-Jek dan GrabBike tidak diterima di wilayah ini.

Pengemudi ojek di Kalibata City cukup blak-blakan dengan penolakan (atau kebencian) mereka terhadap aplikasi seperti Go-Jek dan GrabBike. Mereka bahkan muncul di koran dan TV, yang membuat saya dan rekan saya memilih tempat ini untuk bertemu dengan pengemudi ojek dan mencari tahu motif mereka.

Well, begitu kami mulai mendekati mereka, kami langsung melihat sebuah keributan. Satpam berseragam dari kompleks apartemen dan seorang pengemudi ojek berjalan mendekati pengemudi Go-Jek dan mengusirnya.

Pemandangan ini sedikit sulit dipercaya, karena direkam oleh kru media dengan kamera video yang ada di depan gerbang utama. Ketika kami bertanya apakah ini dilakukan untuk sebuah acara TV, mereka malah tidak tahu atau bahkan tidak peduli akan keberadaan kamera itu. Beberapa hari sebelum tulisan ini dibuat, sejumlah sudut jalan yang menjadi jalur mereka sudah sering didatangi oleh media, dan mereka sudah terbiasa dengan semua ini.

Kami berbincang dengan tiga pengemudi ojek — yang bernama Maman, Marto, dan Solas — yang mangkal di sudut jalan itu. Ketiganya memang mau mempertahankan wilayah mereka dan bahkan mengeluarkan dan memegang sebuah banner untuk kami foto. “Go-Jek merusak usaha kami,” kata Marto memulai percakapan.

Pengemudi ojek yang mangkal di sudut jalan Kalibata (dari kiri ke kanan): Maman, Solas, dan Marto. Foto oleh Tech in Asia

Inti Permasalahannya

Awalnya, pengemudi Go-Jek datang hanya untuk menjemput dan menurunkan penumpang di gerbang, layaknya yang dilakukan pengemudi ojek biasa, jelas Marto. Tapi, bukannya langsung pergi, mereka kemudian mulai “singgah di dalam kompleks apartemen selama tiga atau lima menit” untuk mencari penumpang. Jumlah penumpang yang diperoleh Marto dan rekan-rekannya akhirnya berkurang sampai hanya seperempatnya.

Saat itulah pengemudi ojek dari kelima gerbang bekerja sama untuk mengambil tindakan. Mereka mengirimkan perwakilan ke pihak pengelola manajemen untuk meminta dukungan, dan mereka akhirnya memasang banner. Mereka bahkan membuat kebijakan yang spesifik:

 Go-Jek boleh mengantar dan menurunkan penumpang, tapi mereka harus langsung pergi begitu selesai melakukannya.

Meski begitu, situasinya tetap tegang, karena beberapa pengemudi Go-Jek menyembunyikan helm dan membalik jaket mereka agar tidak ketahuan. Mereka kemudian terus berusaha masuk ke kompleks apartemen ini. “Upaya mereka membalik jaket hanya membuat ini memburuk,” kata Marto.

Kemarahan mereka sudah tertimbun dan berbuah munculnya beragam makian yang cukup menyakitkan telinga.

Saat bergabung bukanlah sebuah pilihan

Cerita pengemudi Go-Jek diancam, ditindas, atau dikejar sudah sering muncul di media sosial. Pengguna akhirnya khawatir akan keselamatan pengemudi Go-Jek yang sekarang sangat diandalkan ini.

Go-Jek sendiri sudah memberikan pernyataan terkait masalah ini, yang juga menyebar di media sosial.

 Flyer Go-Jek yang ramai beredar di media sosial

Go-Jek mengatakan bahwa mereka tidak ingin bersaing dengan pengemudi ojek konvensional. Mereka bahkan mengundang para pengemudi ojek ini untuk bergabung. “Dengan dukungan teknologi, kami membantu para pengendara untuk mendapatkan lebih banyak order dan menerima lebih banyak penghasilan. […] Kami membekali para driverdengan santunan kecelakaan dan asuransi kesehatan,” jelas pernyataan tersebut.

Tapi bagi pengemudi ojek seperti Marto, Maman, dan Solas; bergabung dengan Go-Jek bukanlah sebuah pilihan. Penolakan mereka berdasar dari alasan yang sebagian tidak rasional, tapi sebagian juga cukup logis.

  • Kami tidak mau bekerja untuk orang lain. Meskipun mendapat penghasilan lebih, kami tidak mau membuat orang lain lebih kaya.
  • Kami tidak mau memakai jaket hijau itu.
  • Kami sudah bekerja selama bertahun-tahun, sedangkan pengemudi Go-Jek itu orang baru atau pendatang. Banyak dari mereka yang datang dari luar Jakara.
  • Sistem Go-Jek tidak sesuai dengan cara kerja kami. Kami mengantri, sehingga jelas siapa yang dapat penumpang berikutnya. Pengemudi Go-Jek menjemput siapa saja, kapan saja, tanpa sistem dan solidaritas.
  • Kami tidak suka Go-Jek karena promosi Ramadan mereka. Itu benar-benar pukulan berat, karena mengambil penghasilan di saat kami paling membutuhkannya (untuk merayakan Idulfitri. Tapi di sisi lain Go-Jek memberikan promosi tarif rata Rp 10.000 untuk semua perjalanan selama bulan Ramadan).

Satu faktor lain — yang tidak disebutkan tapi bisa saja mengambil peranan — adalah sistem seleksi untuk bergabung dengan Go-Jek. Calon pengemudi yang mendaftar harus memperlihatkan SIM, STNK, dan dokumen legal lain seperti KTP. Pengemudi ojek juga harus berusia di bawah 55 tahun, padahal banyak pengemudi ojek — termasuk Marto dan Solas — yang usianya lebih tua.

Banyak yang kesulitan menyediakan dokumen legal ini, karena motor mereka bisa saja pemberian, titipan, atau pinjaman orang lain atau masih dalam proses cicilan, yang berarti dokumennya belum lengkap. Kenyataan bahwa ojek memang tidak pernah terdaftar atau diawasi oleh pemerintah membuat profesi ini adalah salah satu pilihan untuk mereka yang tidak memiliki dokumen legal atau tidak bisa melakukan pekerjaan berat karena masalah usia.

Pihak Go-Jek sendiri tidak memberi komentar ketika kami hubungi. Kami menanyakan berapa banyak laporan kejadian mengancam atau kekerasan yang mereka terima, apakah mereka mengeluarkan peringatan untuk area tertentu ke pengemudi mereka, dan apakah mereka sudah mencoba bertemu dan berunding dengan perwakilan asosiasi pengemudi ojek.

E-mail kami tidak dijawab selama beberapa hari, telepon kami melalui handphone pun tidak diangkat, dan nomor layanan mereka terus sibuk. Tampaknya Go-Jek memilih untuk menunggu konfliknya reda, paling tidak selama masih bisa dikendalikan dan tidak menimbulkan masalah yang lebih besar.

Berekspansi dengan posisi yang belum solid?

Go-Jek tampaknya sibuk mengatasi masalah lain. Sejak munculnya GrabBike, yang merupakan bagian dari GrabTaxi, Go-Jek mengadapi saingan berat di negaranya sendiri. GrabTaxi minggu ini mengumumkan bahwa GrabBike mereka sudah mencatat 500.000 pesanan hanya dalam waktu dua bulan beroperasi di Jakarta. Go-Jek yang baru menawarkan layanan pesanan melalui aplikasi mobile sejak bulan Januari baru mencatat angka sejuta pesanan di awal bulan ini.

Meskipun promosi tarif Rp 10.000 dari Go-Jek terbilang menggiurkan, GrabBike tidak mau kalah dan mengeluarkan promo tarif Rp 5.000 untuk semua perjalanan di Jakarta. GrabBike bisa melakukan ini karena perusahaan induk mereka memiliki investasi sebesar $340 juta (sekitar Rp 4 triliun) untuk berekspansi ke Asia Tenggara.

Sementara Go-Jek tampaknya menerima investasi dari NSI Ventures dalam jumlah yang dirahasiakan. Berapa lama Go-Jek bisa bertahan di perang tarif ini dan terus memberi subsidi para pengemudinya untuk menarik pengguna baru tentu menjadi pertanyaan yang menarik. 

Go-Jek juga bergerak dengan cepat dan mengembangkan layanannya dengan tidak hanya melayani jasa angkut penumpang, tapi juga mengantar paket dan makanan, serta belanja. Tapi Go-Jek mungkin mengembangkan diri ketika masih belum solid — media sosialnya penuh dengan keluhan tentang gangguan pada aplikasi dan sistem kredit serta laporan gagal mendapat pengemudi yang mengambil pesanan.

Setelah masa penuh promo

Dari sudut pandang penumpang, Go-Jek adalah layanan yang menarik, tapi masih belum sempurna. Kenyataannya, pesanan kadang ditolak, dan menentukan tempat penjemputan biasanya tidak mudah meskipun ada GPS untuk memandu, dan sistem alamat Jakarta yang aneh tentu membuat masalahnya semakin rumit.

Berdasarkan logika pasar, hanya masalah waktu sebelum penumpang dan pengemudi ojek tradisional membiasakan diri dengan sistem baru ini, dan kemudian sistem pemesanan lewat aplikasi ini akan menjadi norma yang umum. Lagipula, efisiensi ekonomi yang ditawarkan sistem aplikasi ini tentu menguntungkan bagi kedua pihak.

Meski begitu, kecuali kualitas layanan dan ketersediaan pengemudinya ditingkatkan dengan cepat, masyarakat Jakarta mungkin tidak akan selamanya setia dengan Go-Jek dan layanan serupa setelah fase promo tarif murah ini berakhir. Untuk yang nyaman dengan sistem ojek informal, keluar ke jalan dan mencari ojek terdekat mungkin masih menjadi pilihan utama. Pada akhirnya, pasar ojek di Jakarta tidak akan pernah mati.

Go-Jek mungkin masih bisa mengambil peran di layanan lain seperti mengantarkan barang atau membantu belanja. Bisa dibilang, keputusan Go-Jek membuka kedua layanan itu adalah langkah yang pintar. Dan jika itu terjadi, pengemudi ojek seperti Marto, Maman, dan Solas yang menolak bergabung dengan Go-Jek, mungkin akan mendapat penumpang mereka kembali. —Rappler.com

Tulisan ini sebelumnya diterbitkan di situs berita teknologi dan startup TechinAsia.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!