5 pelanggaran HAM dalam penggusuran Kampung Dadap

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 pelanggaran HAM dalam penggusuran Kampung Dadap
Semula rencana penataan ulang Kampung Dadap disambut baik, karena untuk memberantas prostitusi. Ternyata, berujung pada relokasi rumah warga.

JAKARTA, Indonesia – Rencana relokasi warga Kampung Baru Dadap disambut penolakan besar-besaran. Mereka akan kehilangan tempat tinggal untuk ditata ulang sebagai upaya pemberantasan lokalisasi.

Awalnya, warga menyambut baik rencana pemerintah daerah ini sebab mereka memang ingin memberantas masalah prostitusi di Indonesia. Belum lagi, Pemkab juga menjanjikan pembangunan Islamic Center serta Wisata Kuliner.

Namun, saat itu warga belum tahu kalau mereka akan direlokasi. Tiba-tiba saja, pada 14 Maret lalu, Pemkab mengatakan kalau penataan ini juga akan lebih menjurus ke penggusuran warga. Lebih parahnya lagi, mereka sudah harus meninggalkan rumah pada 23 Mei 2016.

Perseteruan antar keduanya berlangsung sengit, bahkan membuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman RI harus menjadi mediator.

Berikut 5 pelanggaran HAM, berikut bantahan pemerintah yang kamu harus tahu:

1. Tidak ada sosialisasi

Waisul Kurnia, 33 tahun, warga dikumpulkan di Rumah Kawin 9 Saudara untuk diberikan sosialisasi tentang penertiban lokalisasi pada 14 Maret lalu. Sekitar 117 warga hadir dalam pertemuan tersebut.

Acara dibuka oleh Sekretaris Daerah Iskandar Mirzad. “Awalnya tentang lokalisasi, lalu semuanya melenceng jadi penggusuran ke pemukiman warga. Sekda bilang warga akan dibuatkan rumah susun dan Islamic Center,” katanya.

Penjelasan lokalisasi itu, menurut dia, juga aneh karena tempat-tempat mesum sudah ditutup sejak dua bulan sebelumnya. Warga merasa kalau ini hanya akal-akalan semata.

Salah satu nelayan Dadap, Muhammad Alwi, menduga kalau relokasi ini ada kaitan dengan pembangunan jembatan penghubung dari salah satu pulau reklamasi. Namun, kedua sangkaan ini lekas dibantah Iskandar.

“Sudah diberitahu sejak pertemuan Maret,” kata dia. Selain itu, ia memastikan tak ada jembatan yang akan dibangun sebab tanah itu milik negara. Pengembang tak memiliki hak membangun di sana.

Selain itu, ini bukan kali pertama isu penataan bergaung di kalangan Dadap. Pertama kali informasi ini beredar pada 1996, namun baru ditindak nyata 20 tahun kemudian.

2. Intimidasi aparat

Selama pertemuan di Gedung 9 Saudara, masyarakat menyadari kehadiran kepala polisi sektor, komandan korem, hingga kepala Satpol PP. Anggota yang hadir ditengarai mencapai 700 orang.

Saefullah, warga lainnya menuturkan detil ancaman tersebut. “Pada 25 April lalu di Masjid Nurul Ummah, Kapolsek mengatakan akan menurunkan sebanyak 500 personel. Danrem juga angkat bicara akan menerjunkan 700 pasukannya. Dan Satpol PP juga demikian, akan menurunkan 3.000 pasukan,” katanya.

Saat itu, warga mengaku menerima ancaman karena mereka tengah berupaya supaya Surat Peringatan (SP) 1 tidak keluar. Namun apa daya, pada 26 April, warga menerima peringatan dini supaya mereka meninggalkan lokasi.

3. Penggunaan peluru tajam

Peristiwa penolakan mencapai puncaknya pada tanggal 10 Mei 2016 ketika SP 2 dikeluarkan. Saat itu, warga melancarkan aksi supaya surat ditarik kembali.

Puncaknya, aparat melepaskan tembakan dan melemparkan tabung gas air mata sehingga warga pun berlarian.

Asmawi termasuk di antara warga yang berlarian. Ia mengaku sesak napas dan tak bisa melihat karena asap gas air mata yang membuat matanya pedih. Ia kemudian merunduk. Sialnya, ada satu tabung gas air mata jatuh tepat di sebelah telinga kirinya.

Lalu tabung gas itu meledak dan mengakibatkan telinganya berdarah. “Saya tidak tahu siapa saja yang terluka, saya hanya berpikir untuk menyelematkan diri sendiri,” katanya.

4. Kejanggalan administrasi

Sebelum Komnas HAM, Ombudsman RI sudah mencoba untuk mempertemukan kedua pihak yang berseteru ini. Pada akhir Mei lalu, setelah memanggil kedua belah pihak, memang ditemukan indikasi pelanggaran administrasi.

Selain itu, sikap Pemkab cenderung terburu-buru padahal penataan baru mencapai tahap pra-konsep relokasi. Ombudsman sendiri baru menyerahkan catatan mereka ke Pemkab pada awal Juni lalu.

Bagaimanapun juga, Iskandar mengatakan kalau pihaknya sudah mempunyai rencana. Bila warga sudah meninggalkan pemukiman mereka sejak Mei lalu dan lokasi kosong, lelang pembangunan akan berlangsung pada September ini.

Setelah itu akan dibangun rusunawa, kampung deret nelayan, dan Islamic Center serta wisata kuliner yang ditargetkan rampung 2017 mendatang. Warga, menurut dia, sudah diberikan tempat tinggal sementara di kontrakan yang hanya berjarak paling jauh 1,8 kilometer.

“Untuk nelayan, bahkan hanya 200 meter dari pantai,” kata dia. Mereka juga bebas biaya selama 1,5 tahun bermukim; termasuk listrik dan air. Pemkab sudah mencarikan rumah kontrakan selama masa itu.

Bila pembangunan rampung, semua warga dari lokasi yang tergusur bisa menempati rusunawa dan kampung deret khusus yang berprofesi sebagai nelayan. Iskandar mencatat ada 94 orang nelayan yang masih tersisa di Dadap.

5. Polemik surat kepemilikan tanah

Iskandar mengatakan kalau tanah yang akan direlokasi dan ditata kembali itu merupakan milik PT Angkasa Pura, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rayat, serta tanah sepadan jalan dan sungai. Ia mengatakan tak mungkin ada warga yang bisa memiliki sertifikat kepemilikan tanah.

“Secara UU juga sudah tidak bisa, kan kepemilikan kalau sudah 20 tahun itu sudah dicabut dan tak berlaku lagi,” kata dia.

Namun, pengacara LBH Tigor Hutapea pernah mengatakan kalau ada 3 warga yang memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas tanahnya. Tiga warga itu sudah mengurus ke Badan Pertanahan Negara (BPN).

Tigor tak menyebutkan siapa pemilik dan berapa luas tanah warga Dadap tersebut. Namun Tigor menjamin keasliannya. Selain itu, ada sekitar 100 warga lebih yang memiliki surat lahan menggarap tanah yang ditanda-tangani oleh Lurah setempat.

Surat itu dikeluarkan pada tahun 1980 hingga 1990-an. Sisanya, para warga tidak memiliki bukti terkait tanah di Dadap.

“Kalau berdasarkan BPN, tanah di Dadap tidak terdaftar, kecuali tiga pemilik SHM itu,” kata Tigor.

Namun, Iskandar mengatakan ketiga orang yang disebut tidak berada di lokasi 4,8 hektar; atau 3 RW yang akan direlokasi pada tahap I penataan. “Yang tahap pertama ini, tak ada yang punya SHM,” kata dia.

Selain itu, Pemkab juga akan menelusuri keabsahan 3 SHM yang disebutkan. “Kalau ternyata tidak asli, tentu akan kami tindak secara hukum,” kata dia.

Sejarah warga Kampung Baru Dadap sendiri bermula pada 1975. Mereka yang tak sanggup membeli rumah di Muara Karang, Ancol, berpindah ke Muara Dadap.

Lalu di Muara Dadap mereka diterima oleh Lurah Ilham. “Kami diberikan tanah di pinggiran kali, kami beli, dan kami membayar Pajak Bumi dan Bangunan,” kata Misbah, seorang tokoh masyarakat.

Selain melaut, mereka juga mencoba menggarap sawah dan menata sungai setempat. “Kami bahkan minum air dari kali (sungai), itu sejarah kami yang menyedihkan,” kata Misbah, disambut teriakan warga lainnya yang membenarkan pernyataannya.

Lima tahun setelah itu, pada 1980, warga sempat ditawari untuk pindah lokasi oleh Cengkareng International Airport (CIA). Warga dan CIA sempat menyepakati ganti rugi, tapi urung karena perusahaan tersebut ternyata tak mampu mencari lokasi baru untuk tempat tingal mereka.-Rappler.com

BACA JUGA: 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!