Mengapa partisipasi penyandang disabilitas dalam bursa tenaga kerja minim?

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa partisipasi penyandang disabilitas dalam bursa tenaga kerja minim?

ANTARA FOTO

Dari data yang dirilis LPEM FEB UI, hanya 51,12% penyandang disabilitas yang berpartisipasi dalam pasar kerja

JAKARTA, Indonesia — Berdasarkan penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia pada akhir 2016, estimasi jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 12,15% dari populasi atau hampir 30 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 10,29% di antaranya merupakan penyandang difabel kategori sedang, sementara 1,87% lainnya termasuk dalam kategori berat.

Tingkat pendidikan yang diraih oleh difabel juga lebih minim dibandingkan non-difabel. Jika 87,31% masyarakat non-penyandang disabilitas berpendidikan setingkat SD ke atas, hanya 54,26% difabel yang bernasib serupa. 45,74% lainnya tidak lulus dan bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan SD.

Penyandang disabilitas di Indonesia dalam angka. Sumber data: Penelitian LPEM FEB UI 2016

Hal tersebut yang menjadi salah satu faktor penyebab dari rendahnya serapan tenaga kerja dari kelompok difabel ini. Berdasarkan data LPEM FEB UI, hanya 51,12% penyandang disabilitas yang berpartisipasi dalam pasar kerja. Jumlah tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan pekerja non-difabel yang mencapai 70,40%. Bahkan, hanya 20,27% penyandang disabilitas kategori berat yang bekerja.

Apa sebabnya?

Rendahnya persentase partisipasi difabel dalam bekerja disebabkan oleh berbagai hal. Menurut Irawan Mulyanto, pendiri komunitas kartunet.com, salah satu faktornya adalah mental masyarakat Indonesia secara umum yang membuat para difabel merasa terdiskriminasi sejak dini.

Kartunet.com adalah media yang digagas oleh para pemuda dengan disabilitas untuk menginspirasi masyarakat Indonesia yang inklusif.

“Terutama pada teman-teman disabilitas sejak lahir, mereka merasakan diskriminasi sejak kecil,” ujar Irawan dalam acara Peluncuran Jejaring Bisnis dan Disabilitas Indonesia (JBDI) di Jakarta pada Jumat, 16 Desember.

JBDI. Penandatanganan komitmen bersama Jejaring Bisnis & Disabilitas Indonesia (JBDI) oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Lâ??Oreal Indonesia, Standard Chartered Bank Indonesia, PT Tetra Pak Stainless Equipment, serta PT Trans Retail Indonesia, disaksikan oleh International Labour Organization (ILO) dan Kementerian Tenaga Kerja pada Jumat, 16 Desember. Foto oleh Sakinah Ummu Haniy/Rappler

JBDI merupakan komitmen lima perusahaan untuk mempromosikan keberagaman dan inklusifitas di tempat kerja yang disaksikan oleh ILO dan Kementerian Tenaga Kerja. Lima perusahaan yang menandatangi komitmen pada Jumat siang adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT L’Oreal Indonesia, Standard Chartered Bank Indonesia, PT Tetra Pak Stainless Equipment, serta PT Trans Retail Indonesia.

“Kalau untuk sekolah saja selalu mikirnya ‘di SLB (Sekolah Luar Biasa) saja, jangan di sekolah ini, enggak inklusi’, lalu setelah sekolah mau masuk kuliah begitu juga. Mau masuk pekerjaan lebih parah lagi. Kebanyakan akhirnya mereka merasa dianggap sebagai charity,” tuturnya.

Oleh karena itu, menurut Irawan, banyak dari para difabel yang akhirnya hanya bekerja, tapi tidak berkarir. “Jadi ya sudah, dimulai dari situ dan berakhir di situ.”

JBDI. Pendiri Kartunet.com Irawan Yulianto (paling kanan) menjadi salah satu pembicara dalam diskusi sekaligus peluncuran Jejaring Bisnis & Disabilitas Indonesia (JBDI) di Hotel JS Luwansa, Jakarta, pada Jumat, 16 Desember. Foto oleh Sakinah Ummu Haniy/Rappler

Faktor mental juga disebutkan oleh Angkie Yudistia, CEO Thisable Enterprise sekaligus penulis buku Menembus Batas dan Setinggi Langit. Menurutnya, keluarga dan pendidikan merupakan hal yang penting dalam membangun kepercayaan diri para difabel agar dapat lebih aktif berpartisipasi dalam bursa kerja.

“Kalau keluarga saja belum bisa menerima bahwa anaknya difabel, ke depannya akan menghambat mereka untuk bisa mengkaryakan anak, membanggakan anak,” ujar Angkie dalam acara yang sama.

Sebagai contoh, Angkie pun menceritakan pengalamannya yang meskipun sebagai tuna rungu, orang tuanya tidak pernah memberikan perlakuan yang berbeda dari anak lainnya.

“Orang tuaku berani tega. Aku pergi sekolah pergi sendiri naik angkot, padahal tau sendiri transportasi umum kita kayak apa. Tetapi di saat seperti itu, kita bisa karena terbiasa,” tutur ibu satu anak ini.

Menurut Angkie, ‘tega’ diperlukan agar sang anak, baik difabel maupun non-difabel menjadi mandiri.

Apa yang perlu dilakukan?

Saat ini, menurut penuturan pemerintah yang diwakili Sapto Purnomo, Kepala Sub Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Khusus Kemenaker RI, pihaknya telah meluncurkan program untuk meningkatkan partisipasi tenaga kerja difabel.

“Pertama, berkaitan dengan memastikan norma kerja adalah kita kembangkan aplikasi UU No.71 tentang wajib lapor bahwa perusahaan ada karyawan penyandang disabilitas atau tidak. Karena kalau tidak tahu di mana penyandang disabilitas bekerja, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan,” ujar Sapto yang juga hadir dalam peluncuran JBDI.

Selain itu, pada tahun 2017 mendatang Kemenaker juga akan menggulirkan program-program lainnya, salah satunya adalah dengan mendorong SMK yang mendidik penyandang disabilitas untuk menjadi bursa kerja khusus untuk salurkan lulusannya.

“Jika ada beberapa perusahaan yang ingin merekrut penyandang disabilitas dan tidak ada fasilitas, nanti kami akan ada job fair mini, 5 atau 10 perusahaan juga boleh,” tutur Sapto.

Fakta tentang disabilitas di Indonesia. Sumber data: Laporan ILO September 2016

Di sisi lain, sejak tahun 1999, Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai Diskriminasi (dalam Pekerjaan dan Jabatan) 1958 (No.111). Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) pada Oktober 2011. Ratifikasi ini memberikan pengakuan bahwa para difabel merupakan kelompok yang rentan terhadap diskriminasi, khususnya dalam akses pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pekerjaan.

Dalam melaksanakan ratifikasi tersebut, pemerintah juga telah memasukkan beberapa poin terkait tenaga kerja dalam UU No.8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Kini, perusahaan swasta wajib memperkerjakan para difabel dengan kuota minimal 1% dari total karyawan. Sedangkan instansi pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diminta untuk memenuhi kuota difabel sebesar 2%.

Hal ini tidaklah mudah. Menurut penuturan Angkie yang bersama Thisabel Enterprise sering mendapatkan pertanyaan dari perusahaan terkait kebutuhan difabel, saat ini perusahaan kesulitan untuk mendapatkan tenaga kerja difabel yang sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan.

PELUNCURAN JBDI. CEO Thisability Enterprise Angkie Yudistia dalam acara peluncuran Jejaring Bisnis & Disabilitas Indonesia (JBDI) di Hotel JS Luwansa, Jakarta, pada Jumat, 16 Desember. Foto oleh Sakinah Ummu Haniy/Rappler

“Yang diajarkan oleh sekolah itu biasanya sekadar kerajinan tangan yang bagus dan baik, tapi aku masih sulit menemukan mereka yang berkemampuan formal seperti mengelola keuangan, bagaimana marketing, bagaimana mengelola manajemen. Itu yang membuat korporat kadang-kadang bingung mengapa mereka tidak bisa memenuhi kuota,” ujar Angkie.

Oleh karena itu pemberian kelas-kelas dan pelatihan menjadi sangat penting untuk sama-sama memenuhi kebutuhan setiap pihak. Lebih dari pada itu, masing-masing pihak juga perlu mengetahui perannya dan berhenti untuk terlalu menuntut satu sama lain. Para difabel juga harus membantu perusahaan dan pemerintah untuk menemukan solusi yang terbaik.

“Aku selalu berbicara untuk jangan terlalu menuntut. Karena kenapa? Pemerintah, private, mereka itu enggak paham, yang bikin mereka paham itu kita. Kita juga harus pelan-pelan mengajarkan. Yang bikin masalah kita enggak selesai itu karena kita saling tuntut satu sama lain,” tutur Angkie panjang lebar.

Hal tersebut juga disadari oleh Irawan, bahwa masalah tidak hanya berada di dunia industri, tapi pada semua. Setiap pihak perlu beradaptasi. “Kita sama-sama harus saling mengalah. Akan lebih klop kalau didiskusikan, tapi jangan sampai hanya di diskusi saja tanpa ada aksi,” tuturnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!