Slamet Hari Natal: Arti sebuah nama yang mendadak viral

Eko Widianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Slamet Hari Natal: Arti sebuah nama yang mendadak viral
Repot urus administrasi kependudukan gara-gara bernama Slamet Hari Natal

MALANG, Indonesia — Seorang warga Malang menarik perhatian publik setelah Kartu Tanda Penduduknya (KTP) menjadi viral di media sosial.

Nama pria itu, Slamet Hari Natal. Ia merupakan warga Dusun Wates, Desa Wonomulyo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.

Kepada Rappler ia mengaku kerap mengalami hambatan saat mengurusi administrasi kependudukan. Para petugas sering menanyakan kebenaran nama lengkap yang diberikan oleh orangtuanya.

“Saya ditanya, siapa Kepala Desa saya. Mereka tak percaya, heran. Kok ada nama seperti nama saya,” kata Slamet di rumahnya, pada Selasa, 27 Desember.

Akibatnya, proses administrasi kependudukan menjadi lama karena petugas membutuhkan waktu tambahan untuk mengecek kembali nama lengkapnya. Nama “Slamet” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang artinya “selamat”.

Kerepotan yang dialaminya berimbas kepada anak-anaknya. Bersama istrinya, Setyowati, ia dikaruniai tiga anak. Mereka adalah Arif Wendi Yunianto Ferdiansyah, Nova Dewi Nurayomi Ayu, dan Guruh Tedy Prasetyo Susanto.

Nama-nama ketiga buah hati Slamet “normal”, tidak seperti bapaknya. Namun putra bungsunya, Guruh, sempat terhambat saat mendaftar sebagai calon anggota TNI.

“Saat mengurus SKCK [Surat Keterangan Catatan Kepolisian], saya ditanya macam-macam,” kata Guruh. Namun kini ia telah menjadi anggota TNI di Brigif 24 Tanjung Selor, Kalimantan Utara.

Setelah berdinas, lanjutnya, Guruh juga sering ditanya nama lengkap orangtuanya. Dia bahkan harus mengirim foto KTP untuk meyakinkan jika nama ayahnya benar-benar Slamet Hari Natal.

‘Saya Islam, tapi sesama manusia harus saling menghormati’

Slamet Hari Natal mengaku sering kerepotan saat mengurus administrasi kependudukan karena petugas harus bekerja ekstra untuk mencari tahu kebenaran namanya. Foto oleh Eko Widianto/Rappler

Slamet Hari Natal merupakan anak dari pasangan Samsuri dan almarhumah Ngatinah. Ia lahir pada 25 Desember 1952, di Kebonsari, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.

Atas saran bidan yang membantu proses kelahirannya, kedua orangtua Slamet sepakat untuk menamainya sesuai dengan hari kelahirannya. 

“Atas saran bidan, orangtua memberi nama Slamet Hari Natal,” kata Slamet.

Ia mengaku tidak pernah menemui masalah selama duduk di bangku sekolah. “Tak masalah, tak ada yang meledek. Justru sekarang lebih akrab dipanggil Slamet Yesus,” katanya sambil bercanda.

Meski lahir bertepatan dengan hari Natal, namun Slamet tak pernah merayakan hari raya umat Nasrani itu. 

“Saya Islam, keyakinan ada di dalam hati. Agama pegangan hidup. Tapi sesama manusia harus saling menghormati,” katanya.

Lima tahun lalu, Slamet yang bekerja sebagai pengemudi ini, sempat disita KTP-nya di pelabuhan Ketapang. Saat itu, dia tengah menyeberang ke Bali untuk mengantar orang berwisata. Saat pemeriksaan KTP, salah seorang petugas justru meminta KTP-nya yang kedaluwarsa. 

“Dibuat kenang-kenangan, namanya unik,” katanya.

Sosok pekerja keras

Beberapa hari lalu, nama Slamet Hari Natal sempat menghebohkan media sosial. Ada seseorang tak dikenal yang mengunggah KTP Slamet ke Facebook. Slamet menduga itu hasil kerjaan anaknya, untuk lelucon. Ia juga tak mempermasalahkan KTP tersebut diunggah dan diketahui banyak orang.

Slamet sendiri dikenal sebagai sosok pekerja keras. Istrinya, Setyowati, mengaku jika selama ini Slamet tak bisa diam. Bahkan, sejak 10 bulan lalu,

lelaki yang bekerja sebagai pengemudi pick-up truck ini kerap bergulat dengan sampah. 

“Bapak prihatin, banyak sampah berserakan di pekarangan dan sungai,” kata Setyowati.

Lantas, bermodal pick-up truck Mitsubishi T 120, Slamet mulai mengangkut sampah dari rumah warga. Sampah tersebut sebagian dipilah dan dimasukkan ke bank sampah. Sedangkan residu sampah organik dibuang ke Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) Paras, Tumpang.

Selanjutnya, ia berkoordinasi dengan pemerintah desa untuk mengelola sampah tersebut. Setiap warga membayar iuran Rp5 ribu per bulan. Uang tersebut digunakan untuk membayar retribusi sampah di TPS Paras dan sekadar ongkos mengangkut sampah.

Kini, setiap dua hari sekali dia mengakut sampah dari rumah warga. “Alam harus dinikmati, kok malah dikotori. Saya takut nanti Tuhan marah,” ujar Slamet.

Salah seorang perangkat desa, Sudarmo, menilai jika Slamet merupakan sosok warga yang kreatif dan sering menolong. Bahkan, saat kegiatan sosial ia merupakan orang terdepan yang membantu. 

“Orangnya ringan tangan. Mudah membantu orang lain,” kata Sudarmo. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!