Indonesia

Kronologi dugaan pemukulan wartawan Metro TV dalam Aksi 112

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kronologi dugaan pemukulan wartawan Metro TV dalam Aksi 112

ANTARA FOTO

2 wartawan Metro TV dan seorang jurnalis Global TV diduga mendapat aniaya saat meliput Aksi 112 di kawasan Masjid Istiqlal

JAKARTA, Indonesia — Dua wartawan Metro TV melaporkan kepada Polres Metro Jakarta Pusat terkait pemukulan yang mereka alami saat meliput Aksi Bela Islam 112 di Masjid Istiqlal.

Kedua wartawan tersebut —Ucha Fernandez dan Desi Fitriani— melaporkan aksi pemukulan itu sesuai Laporan Polisi Nomor: 230/K/II/2017 Restro Jakpus tertanggal 11 Februari 2017. Selain mereka, seorang petugas keamanan bernama Yaudi juga melaporkan tindakan kekerasan yang menimpanya.

Ucha mengatakan, kejadian berawal ketika ia dan Desi serta Yaudi meliput Aksi 112 melalui pintu samping masjid menuju pintu Al Fatah 

“Desi menyuruh saya ditemani Yaudi mengambil gambar di dalam masjid,” ujar Ucha.

Ucha dan Yaudi hendak membuka sepatu untuk masuk dan mengambil dokumentasi di dalam masjid, namun terdengar teriakan “usir Metro” dari massa.

Saat itu, Ucha dan Yaudi melihat Desi dikerubungi dan digiring oleh terduga massa aksi ke arah samping. Ucha dan Yaudi menghampiri Desi, kemudian massa di halaman Istiqlal menggiring ketiga orang itu.

Selanjutnya, seseorang dari massa itu menyuruh dan mengawal Ucha, Desi, serta Yaudi keluar dari halaman masjid. Dalam posisi berbaris dari depan ke belakang, Ucha, Desi, dan Yaudi diteriakki massa.

Saat dikawal keluar masjid, Ucha dipukul 4 kali pada perut bagian kiri dan leher belakang, serta ditendang bagian paha kanan dan betis kiri.

Desi sendiri tak luput dari kekerasan ketika kepalanya dipukuli oleh gerombolan orang yang membawa kayu bendera.

Menurut Ucha, usai dipukuli, personel TNI menarik dan mengamankan mereka itu ke Gereja Katedral yang berlokasi di seberang Masjid Istiqlal hingga membuat laporan ke Polres Metro Jakarta Pusat.

Wartawan Global TV juga mendapat kekerasan verbal

Umat Muslim mengikuti Aksi Bela Islam 112 di Kawasan Jalan Juanda, Jakarta, pada 11 Februari 2017. Foto oleh Wahyu Putro A/Antara

Selain kedua wartawan Metro tersebut, seorang pengambil gambar Global TV juga mendapat perlakuan tak menyenangkan dari massa aksi 112.

Sejak awal, kamerawan Global TV bernama Aldino Yusuf, mengatakan, ia hanya berniat mengabadikan pernikahan yang berlangsung di Gereja Katedral.

Dia juga berkesempatan mewawancarai warga sekitar perihal pernikahan itu, mengingat saat itu bertepatan dengan aksi damai yang berlangsung di Masjid Istiqlal. Di tengah wawancara di depan Katedral, tiba-tiba ia mengaku melihat rekannya, dua jurnalis Metro TV tersebut sedang digiring masuk ke Katedral. 

”Tiba-tiba sebagian massa kerubungin saya dengan teriak-teriak, ‘Kalau menulis berita yang benar, jangan hanya nama Rizieq tapi pakai kata Habib-nya. Semua media televisi harus sopan panggil dengan Habib Rizieq-nya’.”

Secara spontan naluri jurnalistik memandunya merekam kejadian itu. Perlahan pria yang disapa Dino itu mengarahkan kamera kepada dua jurnalis dan kejadian yang berlangsung.  

“Awalnya saya memang disuruh liputan pengantin di katedral, sampai di sana saya wawancarai warga tentang pernikahan tersebut di depan gerbang katedral, tiba-tiba ada anak Metro TV, reporter dan cameraman-nya digiring masuk ke katedral,” ujar Dino.

“Sontak saya respon ambil gambar tim Metro TV itu, sesudah saya ambil gambar itu saya fokus lagi untuk wawancara narasumber,” katanya. 

Tak lama setelah itu, massa berpakaian seperti militer namun bewarna putih mengelilinginya sembari berteriak memprotes pemberitaan media yang selama ini tak menyertakan kata “Habib” bila membahas soal pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab.

“Tiba-tiba sebagian massa kerubungin saya dengan teriak-teriak, ‘Kalau menulis berita yang benar, jangan hanya nama Rizieq tapi pakai kata Habib-nya. Semua media televisi harus sopan panggil dengan Habib Rizieq-nya’,” tutur Dino. 

Menanggapi protes itu, Dino mengatakan akan menyampaikan hal ini pada atasannya di kantor. Dia lalu menjelaskan kehadirannya kala itu semata untuk meliput pernikahan, bukan aksi massa di Istiqlal. 

“Saya sontak jelaskan kalau akan saya sampaikan ke atasan saya. Sekarang yang saya liput itu tentang pengantin yang menikah di Katedral, bukan tentang aksi ini,” katanya. 

“Tetapi tetap saja mereka dengan nada keras tetap berbicara seperti itu, “Tulis berita, jangan hanya Rizieq saja tapi harus pakai Habib,” imbuh Dino. 

Beruntung, Dino tak mengalami kekerasan fisik dan sebatas verbal. Sebelumnya, dia juga pernah meliput aksi serupa 4 November lalu, namun tak mengalami perlakuan seperti yang ia alami siang tadi. 

“Saya enggak ada kontak fisik hanya verbal saja. Baru pertama kali ini, sebelumnya saya ikut yang 411 aman, enggak ada perlakuan seperti ini,” ungkap dia.

AJI kecam kekerasan terhadap jurnalis di Masjid Istiqlal

Ratusan ribu umat Muslim mengikuti Aksi Bela Islam 112 di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada 11 Februari 2017. Foto oleh Aprillio Akbar/Antara

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pun mengecam keras intimidasi dan kekerasan yang diduga dilakukan peserta Aksi 112 terhadap para jurnalis.

Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim, mendorong jurnalis yang menjadi korban dan perusahaan persnya melaporkan kasus kekerasan ke polisi agar kasus ini diusut hingga tuntas agar kekerasan tidak berulang. 

AJI juga mengimbau para jurnalis mengutamakan keselamatan saat meliput aksi massa yang berpotensi konflik dan tidak menghargai para jurnalis. 

Tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan kegiatan jurnalistik bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. 

“Tindakan kekerasan terhadap jurnalis jelas melawan hukum dan mengancam kebebasan pers,” kata Nurhasim melalui keterangan tertulis.

Pasal 8 UU Nomor 40/1999 itu dengan jelas menyatakan dalam melaksanakan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan dan kontrol sosial, seperti diatur pasal 3 UU Nomor 40/1999 itu.

Menurut dia tekanan dan tindakan kekerasan terhadap jurnalis akan menghalangi hak publik memperoleh berita yang akurat dan benar, karena jurnalis tidak bisa bekerja dengan leluasa di lapangan. 

“Padahal jurnalis bekerja untuk kepentingan publik,” kata Nurhasim.

Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung, menyatakan, para pelaku secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang-halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik. 

“Ancamannya hukuman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta. Karena itu, kami mendorong jurnalis yang menjadi korban dan perusahaan persnya untuk melaporkan tindakan kekerasan ini ke polisi,” ujarnya.

FUI belum tahu mengenai dugaan kekerasan

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al Khaththath mengatakan belum mengetahui jika ada kasus pemukulan terhadap wartawan oleh oknum di Aksi 112.

“Belum mengetahui hal tersebut,” kata Khaththath.

FUI sendiri merupakan penyelenggara utama Aksi 112 yang turut mengoordinasi kegiatan lintas ormas Islam dan unsur masyarakat lainnya. Dengan kata lain, FUI berupaya menyelenggarakan kegiatan dzikir dan doa bersama tersebut agar lancar.

Khaththath mengatakan pihaknya terus mengupayakan aksi agar berjalan dengan damai.

Sementara itu, Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia Bachtiar Nasir belum memberikan konfirmasinya terkait kekerasan terhadap wartawan saat dihubungi lewat telepon dan pesan singkat. —Antara/Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!