Mampukah sumur resapan mengatasi banjir di Jakarta?

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mampukah sumur resapan mengatasi banjir di Jakarta?

ANTARA FOTO

Cagub DKI Jakarta Anies Baswedan berjanji akan melakukan program ‘vertical drainage’ atau sumur resapan untuk menanggulangi banjir di Jakarta

JAKARTA, Indonesia — Satu hari setelah Pilkada DKI Jakarta, Kamis, 16 Februari, kawasan Bukit Duri kembali dilanda banjir tahunan.

Calon gubernur petahana Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama pun menjadi sorotan. Pasalnya, ia sempat mengatakan bahwa Bukit Duri tidak akan mengalami banjir lagi berkat program normalisasi sungai yang dilakukan Pemprov DKI.

Sementara Cagub DKI Jakarta lainnya, Anies Baswedan, menilai program normalisasi sungai yang dilakukan Ahok dan jajarannya belum efektif mengatasi banjir dan tidak tepat sasaran. Ia pun berencana mencangkan program vertical drainage atau sumur resapan jika ia terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta.

(BACA JUGA: Sindiran Anies untuk Pemprov DKI soal banjir di Bukit Duri)

Bukan ide baru

Menurut penuturan Pendiri Ciliwung Institute Sudirman Asun, sebenarnya ide sumur resapan, biopori bukan lah hal yang baru. Program ini telah dilakukan oleh gubernur-gubernur sebelumnya, termasuk oleh Ahok

“Sebenarnya itu bukan hal yang baru. Dulu Pak Ahok juga seingat saya ada juga program membangun sumur resapan,” tutur pria yang akrab disapa Asun ini kepada Rappler, Jumat, 17 Februari.

Asun menjelaskan bahwa ide untuk memperbanyak dan memaksimalkan sumur resapan sangat baik karena akan mengisi kembali air tanah di Jakarta yang saat ini terus menipis.

“Jadi tidak semuanya run-off (aliran permukaan), dibiarkan menjadi aliran ke sungai. Jadi hujan yang jatuh itu tidak semuanya jadi tergenang tapi diresapkan ke dalam tanah, melalui sumur-sumur,” katanya.

Lebih bijak dari normalisasi

Program sumur resapan ini dianggap sebagai solusi yang lebih bijak dari pada program normalisasi yang dicanangkan Paslon Gubernur dan Wagub Petahana Ahok-Djarot.

“Ideal banget sih kalau memang bisa dilakukan Anies-Sandi. saya pikir itu lebih bijak dari pada secepat-cepatnya dialirkan ke laut [dengan normalisasi],” tutur Asun.

Pendiri komunitas Ciliwung Institute ini juga mengungkapkan bahwa selain banjir, sumur resapan juga dapat mengatasi persoalan rendahnya permukaan tanah Jakarta.

“Kita semua butuh, termasuk persoalan amblasnya permukaan tanah Jakarta karena air tanah ini diekstrak terus, disedot terus tapi pengisiannya, resapnya enggak ada,” katanya.

Asun sendiri menilai program normalisasi dengan mendirikan beton sebagai dinding sungai tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.

“Normalisasi Ciliwung ini sebenarnya tidak menyelesaikan asal persoalan. Dia cuma memindahkan luapan air ini ke daerah di bawahnya. Jadi seperti orang buang sampah, ‘yang penting banjirnya bukan di rumah saya’. Beban air yang ada jadi beban daerah di bawahnya, daerah hilir,” katanya.

Jika konsep sumur serapan mengandalkan proses alami untuk mengurangi banjir dan genangan, menurut Asun, konsep tanggul tinggi yang dilakukan Pemprov dan Dinas Pekerjaan Umum (PU) akan membuat masyarakat jadi ketergantungan pompa.

“Konsepnya PU itu kan ditanggul tinggi. Tanggul ini juga menghalangi hujan lokal ini turun ke sungai. Akhirnya kita ketergantungan pompa.”

Libatkan masyarakat

Menurut Asun, agar efektif, program sumur resapan harus dibarengi dengan keterlibatan masyarakat. Selama ini Asun melihat bahwa Pemprov masih berfokus pada proyek-proyek yang bersifat top-down.

“Ide sumur resapan itu bagus, cuma persoalannya itu sering kali top-down proyeknya. Jadi dibangun dan dilakukan oleh pemerintah sendiri.”

Asun menilai Pemprov dapat mencoba memberikan insentif untuk masyarakat dari berbagai lapisan agar lebih terdorong untuk terlibat dalam program ini.

“Per kampung, per RT, per RW itu bisa dilibatkan. Cuma yg harus dipikirkan adalah untuk membangun sistem insentif, bahwa rumah-rumah yg mempunyai sumur resapan ada apresiasi, mungkin lebih efektif,” katanya.

Program ini sangat mungkin untuk dilakukan karena sumur resapan ukurannya tidak terlalu besar dan bisa dibuat oleh siapapun.

“Sangat dimungkinkan. Kan kecil sumur resapan itu, paling 1×1 kedalaman 1 meter aja juga sudah bisa. Tinggal dikasih batu-batu, ijuk, dan sebagainya. Kemudian dari talang-talang rumah itu langsung dialirkan ke sana. Jadi rumah-rumah itu kan punya fasilitas talang air, nah kemudian di bawah talang itu ya dibikin sumur resapan.”

Selain keterlibatan masyarakat dalam pembuatan, pemerintah juga perlu melakukan pemeliharaan secara berkala terhadap sumur-sumur resapan tersebut.

“Contoh kecil, biopori itu bisa dilakukan semua orang bahkan anak kecil pun. Tapi kan harus ada maintenance-nya. Harus membeli sampah kompos di dalam supaya ada cacingnya hidup, bahwa lubang-lubang kecil itu yang menyerap air.”

Yang juga perlu diperhatikan adalah lokasi membuat sumur resapan karena semakin ke hilir, daya serap tanah semakin rendah.

“Paling bagus resapannya ya di daerah agak ke atas, agak selatan. Karena semakin ke Utara, semakin ke laut, daya resapannya semakin tidak begitu besar.”

Selain itu, kekeliruan juga kerap terjadi saat memilih tempat pembuatan sumur. Lubang-lubang biopori sering kali dibuat di jalan. Padahal air yang menggenang di jalan biasanya sudah banyak lumpur dan kotor sehingga membuat saringannya jam terhambat.

“Harusnya [dibangun] di bawah talang-talang air. Yang di atap-atap rumah warga itu disalurkan langsung ke tanah karena itu masih bersih.”

Mengatasi banjir butuh political will

NORMALISASI SUNGAI. Pekerja menyelesaikan proyek normalisasi Sungai Ciliwung di Bukit Duri, Jakarta, Rabu, 8 Februari. Foto oleh Rivan Awal Lingga/ANTARA

Selain program yang tepat, menurut Asun, ada satu kebijakan terkait penanggulangan banjir yang hingga saat ini belum banyak dilakukan Pemprov DKI. Sebagai Daerah Khusus Ibukota, seharusnya Pemprov DKI dapat menggunakan posisi nilai tawar yang tinggi untuk membuka dialog dengan daerah-daerah penyangga seperti Jawa Barat dan Banten.

“Ada yg belum kita kerjakan sebagai ibukota. Kita sebagai Ibukota Indonesia punya hak lebih untuk mengajak kerja sama. Itu yang belum ada, political will yang benar-benar tulus untuk mengajak kerja sama.”

Masalah ini memang telah berlangsung selama puluhan tahun. Asun menilai, birokrasi Indonesia memang masih egosektoral.

“Jangankan antar kepala daerah, antar instansi kementerian saja tidak bersinergi padahal yg diurusin sama.”

Asun juga menambahkan, jika ingin mengatasi banjir Jakarta, pemerintah harus melihat sisi ekologis dalam menata kota.

“Tata ruang ini sering kali bukan untuk melindungi kawasan, tapi lebih mengoreksi pelanggaran.”

Menurut Asun, sangat penting untuk melihat faktor lingkungan dalam mengatur tata ruang, tidak sekadar melihat sisi administratifnya saja.

“Karena tata ruang itu kan sebenarnya adalah ilmu tentang pengelolaan dan pemanfaatan wilayah,” tutup Asun.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!