Menguak awal isu jenazah tak disalatkan

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menguak awal isu jenazah tak disalatkan
Kisah bermula dari pesan pendek hingga meme yang kebetulan didengar oleh saudara Neneng, yang juga seorang jurnalis, ketika berkunjung.

JAKARTA, Indonesia – Sayup-sayup suara lantunan doa mulai meredup sekitar pukul 21:00. Puluhan tamu pun mulai meninggalkan gang sempit di Jalan Karet Karya II, tempat mereka sebelumnya berkumpul untuk tahlilan.

Hari itu, genap sepekan setelah Hindun, 77 tahun, meninggal dunia. Namanya menjadi buah bibir banyak orang lantaran berita jenazahnya ditolak untuk disalatkan di sebuah musala. Alasannya, disebut karena ia memilih Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat saat Pilkada Jakarta putaran pertama pada 15 Februari lalu.

Neneng, putrinya yang berusia 46 tahun, tampak kelelahan saat ditemui Rappler dan sejumlah awak media lainnya. “Stop, saya capek sekali,” kata dia saat seorang reporter menanyai soal isu yang melingkupi keluarganya.

Hari itu, ia memang sangat sibuk karena sejumlah tokoh penting datang bertamu ke rumahnya untuk menyampaikan belasungkawa atas kematian ibunya, sekaligus mengklarifikasi isu yang beredar. Pukul 9 pagi, Ahok datang bertamu didampingi sejumlah stafnya.

“Saya titip doa supaya dilapangkan jalan kuburnya Bu Hindun,” kata gubernur DKI Jakarta nonaktif itu. Ia bertamu hanya sekitar 30 menit, namun membicarakan cukup banyak hal, termasuk masalah tempat tinggal Neneng dan keluarganya.

Ia sendiri irit bicara saat ditanyakan soal isu penolakan jenazah Hindun yang turut menyeret namanya. Kepada media, ia mengatakan supaya berita ini tidak dipolitisasi maupun diperpanjang.

TAHLILAN. Happy Fatima, istri Wakil Gubernur DKI Jakarta nonaktif Djarot Saiful Hidayat mengikuti upacara 7 hari kematian Hindun di Jakarta Selatan pada Senin, 13 Maret. Ursula Florene/Rappler

Malamnya, sekitar pukul 19.30, Djarot dikabarkan akan menghadiri acara tahlilan Hindun. Namun, ternyata ia berhalangan, dan diwakili istrinya, Happy Fatima. Turut hadir pula anggota partai pendukung Ahok-Djarot, sejumlah relawan beratribut kotak-kotak, dan perwakilan dari GP Ansor.

Happy mengakui kehadirannya adalah untuk mengklarifikasi isu yang beredar dan telah mendapat jawaban memuaskan. “Tadi sudah dijelaskan ulang oleh keluarga bahwa tidak benar tidak diterima masyarakat. Buktinya hari ini malam ini acara beliau ini acara almarhumah ini, warga sangat antusias. Sangat ramai, sangat penuh. Artinya ini adalah penerimaan, bukan penolakan,” kata dia.

Setelah kematian

SAKIT HATI. Neneng (46 tahun) saat menceritakan pesan tak mengenakkan yang diterima keluarganya setelah kematian ibunya pada 10 Maret 2017. Foto oleh Ursula Florene/Rappler.

Neneng sendiri sudah tampak malas membahas masalah ini. “Bukan tidak disalatkan, tapi soal tempat. Cukup,” kata dia.

Ia mengaku sudah tak ingin berkata banyak karena tidak mau kisahnya dipolitisasi. Menurut dia, sebenarnya peristiwa ibunya tak disalatkan di musala sudah ia ikhlaskan. Namun, setelah ibunya dikuburkan, ada kejadian yang membuat kekesalan keluarga Hindun membuncah.

Yeni, keponakan Neneng, tiba-tiba mengirimkan sebuah pesan WhatsApp bertuliskan: “PENGUMUMAN. Kami segenap lama, Habaib, Kyai, Ustadz, Ustadzah se DKI menyatakan MENOLAK HADIR di semua majelis/acara/maulid dll di kampung yang warganya memenangkan Ahok (lihat daftar TPS yg memenangkan Ahok)”

Lebih lanjut, pernyataan itu diklaim berlaku hingga putaran kedua Pilkada pada 19 April mendatang. Tercantum pula sejumlah ayat yang disebut sebagai dasar, dan pesan ‘sebarkan supaya umat Islam mengerti.’

TAK PANTAS. Salah satu pesan yang diterima ponakan Neneng setelah kematian Hindun. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

“Kita semua sakit hati, ya. Setelah ibu saya enggak ada, dikirimi pesan seperti ini. Tadinya sudah adem, mengkel otak saya dan kakak-kakak saya. Artinya kan sindir ibu saya,” kata dia. Namun, ia meminta keponakannya untuk tidak membalas pesan tersebut.Pesan tidak mengenakkan tersebut ditambahi dengan kiriman meme pocong yang menyuarakan ‘penyesalan tidak mengikuti al-Maidah 51.’

Saat ditanyakan lebih lanjut, baru diketahui kalau pengirimnya adalah guru dari Abai, putra Yeni, yang bersekolah di PAUD Bunda. Jaraknya tak jauh dari rumah Neneng sekeluarga, hanya berkisar kurang lebih 500 meter.

Menurut dia, guru yang bersangkutan adalah istri dari petugas TPS yang membawa surat suara untuk Hindun. Lantaran sakit, ia tak bisa berjalan ke TPS sehingga surat suara dibawa ke rumah, dan pencoblosan pun terlihat oleh petugas tersebut.

Neneng menegaskan ibunya tak pernah secara lantang menyebut diri sebagai pendukung Ahok, apalagi masuk timses. Dugaannya, berita calon gubernur pilihan ibunya bocor dari peristiwa tersebut.

Kisah dari pesan pendek hingga meme ini kebetulan didengar oleh saudara Neneng, yang juga seorang jurnalis, ketika berkunjung. Ia langsung emosi dan mengatakan peristiwa ini tak dapat didiamkan begitu saja.

“Dari situ, mulai ramailah wartawan datang ke sini,” kata Neneng. Menurut dia, Yeni mengatakan kalau si pengirim pesan pendek dan gambar pocong tiba-tiba berubah sikap, seolah tak pernah melakukan hal tersebut.

Saat ini, Neneng sekeluarga tak ingin banyak bercerita soal peristiwa tersebut. Meski demikian, ia berterimakasih atas dukungan yang banyak mengalir. “Yang pasti biar ibu saya di sana tenang,” kata dia.

Hanya salah paham

Rappler kemudian mencoba mengonfirmasi ke sejumlah warga lain terkait pesan pendek bernada ancaman tersebut. Sofyan, mantan ketua RT 09 tempat Neneng tinggal, mengaku tak ada warga lain yang melaporkan hal serupa.

“Tidak ada (yang terima pesan pendek) setahu saya. Itu juga (Yeni) saya dengar-dengar saja,” kata dia.

Namun, Sofyan mengaku bingung mengapa ada warga yang tega sampai mengirimkan gambar tak mengenakkan maupun pesan provokatif. “Secara nalar, sebagai orang beriman enggak akan begitu,” kata dia.

Setelah peristiwa itu pun keluarga almarhumah Hindun menjadi lebih tertutup. Anaknya tak lagi mengaji di musala, padahal sebelumnya rajin berpartisipasi.

Ia mengatakan kalau peristiwa ini hanyalah sekedar ‘kesalahpahaman’ semata. Faktanya, kata mereka, jenazah Hindun tetap disalati meski di rumahnya, dan warga pun ada yang hadir.

Ketua RT 09 Abdul Rachman mengatakan perpecahan tak pernah terjadi di antara warganya, dan gotong royong di antara mereka sangat kuat. “(Spanduk) tak pernah terpasang di sini, tak pernah,” kata dia.

Pantauan Rappler, musala Mu’minun yang berada tak terlalu jauh dari Karet Karya II, memang tak digantungi spanduk ‘tolak salatkan jenazah pemilih kafir.’ Namun, seorang warga yang tak mau disebut namanya mengatakan kalau spanduk itu pernah terpasang.

Pengurus musala, Ustad Syafii, dalam pemberitaan sebelumnya pun membenarkan keberadaan spanduk tersebut. Sayangnya, ia tak berada di rumahnya saat Rappler mencoba menemuinya untuk konfirmasi.

Dengan datangnya Ahok dan sejumlah relawan maupun pendukungnya, dapat dikatakan kisah polemik jenazah Hindun telah mencapai titik akhir; meski kasus serupa masih berpotensi berulang. Di Gang Karet Belakang, masih tergantung spanduk ‘tidak mensalatkan jenazah pendukung dan pembela penista agama.’ Belum lagi temuan di sejumlah daerah lainnya.

Sejumlah organisasi pemerintahan sudah berani mengambil tindakan tegas, seperti Pemprov DKI Jakarta yang memerintahkan pencopotan; kepolisian yang mengancam pemasang spanduk dengan pidana; hingga organisasi keagamaan seperti MUI dan GP Ansor yang mengecam hal penolakan salat jenazah.

Pilkada DKI Jakarta hanya akan berlangsung hingga April atau Mei mendatang. Namun, kekeluargaan dan keakraban antar tetangga, keluarga, maupun sesama warga Indonesia berlangsung selamanya. Jangan sampai kewarasanmu rusak hanya karena politik –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!