Masyarakat sipil berperan mencegah terorisme

Rika Kurniawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Masyarakat sipil berperan mencegah terorisme
Pesan ini terdapat di buku 'Reformulasi Ajaran Islam : Jihad, Khilafah, dan Terorisme'

JAKARTA, Indonesia – Buku berjudul Reformulasi Ajaran Islam : Jihad, Khilafah, dan Terorisme resmi diluncurkan 16 Maret 2017. Acara peluncuran berbarengan dengan diskusi buku di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah.

Acara yang dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya tersebut dihadiri Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Kabaintelkam Komjen Polisi Lutfi Lubihanto yang mewakili Kapolri Jendral Polisi Tito Karnavian.

“Buku ini hasil simposium nasional yang menghadirkan ulama-ulama Muhammadiyah dan saat itu dibuka oleh Pak Luhut. Dahulu beliau masih menjabat sebagai Menkopolhukam,” kata Direktur Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz dalam kata pengantar acara.

Upaya mencegah ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme tidak bisa dilakukan pemerintah seorang diri. Oleh karena itu buku yang mengumpulkan 21 penulis kontributor tersebut merupakan kontribusi organisasi masyarakat sipil.

Maarif Institute mempunyai perhatian sama dengan pemerintah. “Itu (pencegahan ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme) pekerjaan berat yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja,” tambah Abudllah.

Belum lama ini, Maarif Institute melakukan riset di 7 kota. Kesimpulannya, modus-modus radikalisasi sudah semakin canggih. Selain transfer ideologi, disediakan infrastruktur untuk menarik perhatian warga.

Di satu kampung di Sukabumi misalnya, ditemukan penguasaan masjid dan sekolah. Warga diberikan akses air bersih dengan syarat mempersilakan kedua tempat tersebut dikuasai kelompok radikal.

Makna jihad dan khilafah

Mereka yang punya paham radikal menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis secara sempit. Penafsiran sempit itu yang membuat mereka berbeda dengan muslim moderat. Maka, buku terbitan Mizan itu adalah kontranarasi dari penafsiran dan doktrin yang dipercaya oleh kaum radikal.

“Jihad tidak harus dimaknai dengan Qital. Qital itu bagian kecil dari jihad. Jihad diperluas maknanya. Misalnya kita harus berjihad dalam mendirikan sekolah, mengelola rumah sakit,” ujar Izza Rohman, salah satu penulis kontributor. Dia menambahkan perlunya memperluas makna jihad dan meneruskan sampai menyentuh akar rumput.

Tentang “khilafah“, Abdul Mu’ti Sekretaris Umum PP Muhammadiyah mengatakan, salah satu tujuan Muhammadiyah adalah menjadikan Indonesia negara yang Islami, bukan negara Islam. “Negara yang Islami tetapi bukan berdasarkan agama Islam. Islami berarti tidak bertentangan dengan agama Islam. Indonesia rumah untuk beramal melalui berbagai perjuangan, untuk menjadi pelopor kemajuan bangsa dan negara,” tegasnya.

Ahmad Syafii Maarif, pendiri Maarif Institute dan mantan ketua PP Muhammadiyah menegaskan bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan. “Menurut saya, tenda besar dari Islam adalah ayat Al-Anbiya’ 107, ‘Dan Kami tidak Mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam’,” terangnya. “Grace and mercy, untuk seluruh alam. Alam manusia, tumbuhan, hewan,” lanjutnya.

Ahmad Syafii Maarif, pendiri Maarif Institute dan mantan ketua PP Muhammadiyah, menegaskan bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan. Foto oleh Rika Kurniawati/Rappler.

Menurut Izza, Al-Quran harus dibaca komprehensif dan holistik, tidak boleh parsial. Selain itu harus disesuaikan dengan konteks

Upaya pendekatan sosial

Abdul menceritakan sedikit apa yang telah dibacanya dari buku Dying to Win oleh Robert Pape. “Dijelaskan di situ, seseorang menjadi pelaku teror bukan karena dia membaca teks-teks agama. Namun karena dia banyak merasakan pengalaman hidup yang pahit. Perasaan tersakiti, terpinggirkan, terzalimi dan frustasi, itu kemudian menjadi pendorong mereka memilih cara itu,” terangnya.

Syafii Maarif mengatakan kesenjangan sosial adalah akar pokok dari munculnya paham-paham radikalisme dan ekstrimisme. “Kesenjangan sosial kita sedang tajam sekali. Sila kelima pancasila sudah menjadi sila yang yatim piatu sejak awal,” ujarnya.

Oleh karena itu menghilangkan atau mengurangi terorisme tidak selalu dengan pendekatan militer.

“Kehadiran buku ini menjadi penangkal. Proses deradikalisasi bukanlah proses yg dapat terjadi satu malam atau waktu singkat. Artinya adopsi pemahaman yg membolehkan kekerasan sosial dalam rangka society of change adalah sebuah proses yg panjang atau bertahap,” dikutip dari kata sambutan tertulis Kapolri Jendral Polisi Tito Karnavian yang dibacakan oleh Kabaintelkam Komjen Polisi Lutfi Lubihanto.

Ali Fauzi, mantan anggota Jemaah Islamiyah yang kini ikut membantu deradikalisasi eks napi teroris di Lamongan, Jawa Timur, mengonfirmasi bahwa butuh waktu untuk mengubah pola pikir radikal. “Untuk mengubah mind-set seseorang tidak semudah itu, perlu waktu. Dari pengalaman saya, saya cukup dalam terlibat (kelompok terorisme). Saya dibesarkan disebuah institut di Johor Baru, Malaysia bersama Doktor Azahari dan Nurdin M. Top,” jelasnya.

Kehadiran buku ini diharapkan dapat mencegah masyarakat menerima doktrin-doktrin radikal. Buku ini tidak ditulis dengan bahasa populer, oleh karena itu butuh upaya lebih untuk membuat masyarakat akar rumput paham. Maarif Institute akan berkeliling ke lembaga-lembaga pendidikan untuk mengadakan diskusi buku.

“Maarif Institute sejak tahun 2009 mengadvokasi guru-guru di sekolah, PAI (Pendidikan Agama Islam) dan murid-murid di Rohis (Rohani Islam). Dengan buku ini, kita ada bahan baru untuk diterjemahkan ke tingkat yang lebih kecil,” ujar Direktur Riset Maarif Institute, Ahmad Imam Mujadid Rais. -Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!