Korean shows

Saksi kasus KTP Elektronik sayangkan proyek itu dikorupsi

Adrianus Saerong

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Saksi kasus KTP Elektronik sayangkan proyek itu dikorupsi

ANTARA FOTO

KTP elektronik awalnya disiapkan menjadi kartu identitas baru bagi WNI guna memudahkan penerbitan dokumen seperti surat izin mengemudi, paspor, dan nomor pokok wajib pajak.

JAKARTA, Indonesia – Mantan Direktur Jenderal Administrasi Kementerian Dalam Negeri periode 2004 hingga 2009, Rasyid Saleh menyayangkan bagaimana sistem sempurna yang dia garap untuk KTP Elektronik malah terganjal masalah. Menurutnya, program KTP Elektronik seharusnya menjadi pemenuhan kewajiban dari pemerintah kepada rakyatnya. Tujuannya, agar memudahkan serta memajukan kehidupan warga negaranya.

“Program ini merupakan proyek besar negara untuk memenuhi kewajibannya kepada penduduk. Negara wajib memberikan penduduk mereka kartu identitas, karena itu adalah hak mereka,” ujar Rasyid ketika memberikan kesaksian di persidangan ketiga kasus mega korupsi KTP Elektronik pada Kamis, 23 Maret. 

KTP elektronik awalnya disiapkan menjadi kartu identitas baru bagi WNI guna memudahkan penerbitan dokumen seperti surat izin mengemudi, paspor, nomor pokok wajib pajak, hak tanah dan dokumen lainnya. Dengan KTP elektronik, pemerintah juga dapat mencegah keberadaan identitas ganda, penghindaran pajak hingga perbuatan korupsi.

Ironisnya, program yang bertujuan untuk mencegah penyelewengan dana, terutama ke luar negeri seperti yang tertuang dalam Panama Papers ini justru menjadi skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia. Proyek ini menyumbang kerugian sebesar kepada negara sebesar Rp 2,3 triliun. Angka itu tiga kali lipat dari kasus korupsi Wisma Atlet di Hambalang yang sebelumnya berada di posisi pertama dengan kerugian mencapai Rp 706 miliar.

Rasyid mengatakan sebelum proyek KTP Elektronik direalisasikan, dia membuat “grand design” nya lebih dulu bersama tiga doktor muda dari Universitas Indonesia. Semua rencana baik itu akan berjalan lancar dan sempurna, seandainya dia masih menjabat sebagai Dirjen Administrasi.

“KTP Elektronik itu sudah ada undang-undangnya pada 2006. Di situ disebutkan bahwa dalam batas lima tahun sudah harus diterapkan,” kata Rasyid di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin John Halasan Butar-Butar. 

“Saya yang meracik Grand Design dengan tiga doktor muda dari Universitas Indonesia dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PNN/Bappenas) menetapkan anggaran Rp 6 triliun,” tuturnya lagi.

“Andai diberi kekuasaan menjalankan sistem pasti (ini berjalan) lancar. Ini seharusnya tidak ada masalah, tapi kondisinya sekarang beda,” katanya.

Grand Design yang dicanangkan Rasyid fokus pada sistem informasi administrasi kependudukan, termasuk nomor induk, pagu indikatif, dan KTP Elektronik. Dalam persidangan, Rasyid mengaku tidak bisa menjawab terkait penetapan sumber dana yang akhirnya menggunakan uang dari APBN murni. Sebab, pada tahun 2010, Rasyid sudah pensiun dari jabatannya.

Mantan Kepala Bagian Perencanaan Kementerian Dalam Negeri, Wisnu Wibowo, dalam sidang yang sama menjelaskan bahwa usulan dana KTP Elektronik adalah Rp 2,4 triliun, sementara pagu indikatif dipatok Rp 1 triliun. Tim Jaksa yang mewakili Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menambahkan bahwa untuk blangko KTP Elektronik saja, negara mengeluarkan dana Rp 1,4 triliun.

Ketika ditanya apakah Wisnu turut menerima uang dari hasil proyek pengadaan KTP Elektronik, dia membenarkannya. Uang diberikan oleh Sugiharto di ruang kerjanya sebesar Rp 10 juta. 

Wisnu mengaku uang tersebut digunakan untuk pengobatan istrinya yang sedang sakit. Menurut dia, uang tersebut diberikan sebagai “ucapan terima kasih” usai anggaran pengadaan KTP Elektronik menjadi tahun berjamak. 

Uang dimasukan ke dalam amplop yang ditutupi menggunakan map. Selain membagikan uang bagi Wisnu, Sugiharto juga memberikan dana tersebut kepada tiga pegawai Direktorat Anggaran Kementerian Keuangan yang bernama Indra, Asni dan Asfahan. 

“Saya serahkan (uang) ke Indra, sedangkan Pak Suparmanto (dari Kemendagri) menyerahkan uang kepada Asni dan Asfahan,” kata Wisnu yang mengaku tidak tahu berapa nominal uang yang diterimanya ketika itu. 

Sementara, Suparmanto yang turut dihadirkan sebagai saksi pada Kamis kemarin membantah telah menerima uang dari Sugiharto. Sayangnya, terdakwa kedua, Sugiharto justru membenarkan adanya bagi-bagi uang hingga ke para pegawai Direktorat Anggaran Kemenkeu. 

“Uang yang diterima mereka itu 40-10-10. Rp 40 juta untuk Indra, sementera Asni dan Asfahan masing-masing  (mendapat) Rp 10 juta,” kata Sugiharto.

Sidang ketiga kasus mega korupsi pengadaan KTP Elektronik pada Kamis kemarin hanya menghadirkan enam dari tujuh saksi yang dijadwalkan hadir. Saksi dari anggota DPR, Miryam S. Haryani datang terlambat dan baru bisa memberikan kesaksian usai dua rekannya Teguh Juwarno dan Taufik Effendi sudah duduk di kursi lebih dulu. 

Namun, Miryam membuat pengakuan mengejutkan. Di hadapan Majelis Hakim sambil terisak menangis, dia mengaku telah ditekan oleh penyidik KPK ketika memberi keterangan. Oleh sebab itu, dia mencabut empat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang pernah ditekennya. 

Sidang dilanjutkan pada Senin, 27 Maret untuk mengkonfrontir pernyataan Miryam dengan tiga penyidik KPK yang pernah meminta keterangan dari anggota Komisi V dari Partai Hanura tersebut. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!