Menjauhkan anak dari kebencian berbasis politik

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menjauhkan anak dari kebencian berbasis politik
Tindak kebencian, diskriminasi, dan rasisme datang dari keluarga, sekolah, dan dapat menjadi bibit masyarakat intoleran hingga radikal.

JAKARTA, Indonesia – Sekilas, video berdurasi 58 detik itu tampak biasa saja. Segerombolan anak SD berpakaian seragam merah putih – beberapa lengkap dengan topi dan bertanya bagaimana perasaan penonton saat melihat sebuah bendera bertuliskan aksara Arab.

Beberapa bocah tampak kebingungan saat menuturkan dialog mereka, yang didominasi istilah-istilah Arab. Namun, mereka berupaya sebaik mungkin untuk mengatakan pembelaan terhadap satu agama tertentu.

Video kemudian berganti menjadi wajah seorang bocah batita yang menyanyikan lagu Penasaran dari Rhoma Irama, namun berlirik: ‘mengapa Opa Jokowi dan Opa Mendagri membiarkan Ahok tetap bebas?’ Rekaman amatir yang diambil dengan ponsel itu tampak tak natural: mengapa bocah yang SD saja belum sudah membicarakan masalah politik?

Kedua video ini dan banyak lainnya, sudah viral tersebar di media sosial. Asosiasi Masyarakt Sipil untuk Konstitusi (AMSIK) menyayangkan kejadian ini. “Semua spanduk kekerasan, ujaran kebencian, dan upaya memasukkan pikiran orang dewasa ke dalam mulut anak merupakan kekerasan pada anak itu sendiri,” kata Pemerhati Pendidikan Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo di Jakarta pada Selasa, 28 Maret 2017.

Menurut dia, tidak wajar jika anak-anak sejak kecil sudah mengenal kebencian maupun diskriminasi terhadap satu orang tertentu. Sebagai perbandingan, ia mencontohkan video syuting 3 orang anak laki-laki – dua berkulit cokelat dan satu berkulit putih dan keturunan Tionghoa – untuk menampar seorang anak perempuan keturunan Tionghoa.

Tidak ada satu pun anak yang mau melakukan hal tersebut karena menurut mereka ‘melukai orang lain itu salah.’ Bahkan, satu anak yang serumpun dengan anak perempuan tersebut pun mengatakan tetap bersedia main bersama meskipun kulit mereka berbeda warna.

Direktur Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (Puskapa UI) Irwanto mengatakan sifat dasar anak-anak adalah selalu ingin tahu dan mudah bergaul. “Ketika orangtua dan anak saling mengajarkan kebencian, maka itu bukan hal yang natural,” kata dia.

Ia juga mengkritik siapapun – entah orang tua, guru, maupun masyarakat – yang mempersempit pikiran seorang dengan kebencian terhadap pihak yang berbeda hingga minoritas, sebagai pelaku kekejian.

Intoleransi meningkat

Direktur Human Rights Working group (HRWG) Muhammad Hafiz memaparkan kaitan ajaran kebencian pada anak-anak ini berpengaruh pada meningkatnya tindak intoleransi beberapa tahun belakangan. “Riset dan hasil studi dari 5-6 lembaga menegaskan ada kecenderungan meningkatnya intoleransi di kalangan anak muda sejak 2013,” kata dia.

Bahkan, berdasarkan riset dari SETARA Institute, disebutkan 1 persen peserta survei di tingkat SMP dan SMA menyetujui aksi terorisme berdasarkan dalil agama ataupun keyakinan tertentu. Pengaruh ini tak lepas dari orangtua, guru, hingga komunitas pergaulan. Mereka disebut terlibat secara kultur dan sosial dengan kelompok yang mengakomodasi intoleransi dan diskriminasi.

“Kalau dibiarkan, maka radikalisme dan diskriminasi akan bertumbuh subur,” kata Hafiz. Menurut dia, penting bagi seluruh masyarakat untuk berhenti melanggengkan kekerasan, terutama yang menggunakan simbol agama.

Apalagi, kalau yang mengampanyekan intoleransi ini dengan menggunakan anak-anak, yang sering kali masih tidak sadar apa yang sedang mereka lakukan.

Salah satu bukti yang dijadikan contoh adalah surat kaleng yang ramai disebarkan di media sosial. Seorang anak bernama Alia mendapat surat yang menyudutkannya karena disebut membela Ahok. Saat Rappler meminta konfirmasi dari pengunggah foto surat tersebut, belum ada tanggapan hingga saat ini.

Pencegahan

Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh orang dewasa untuk menghentikan kebencian tertanam di jiwa anak-anak sejak dini. Henny mengatakan hal tersebut sulit karena ujaran kebencian hingga kekerasan terpampang bebas di ruang publik hingga media sosial.

“Sekarang gampang menemukan spanduk rasis, juga di media sosial ujaran kebencian juga banyak,” kata dia.

Hafiz mengatakan negara berhak untuk mengintervensi bila hal ini mengancam masyarakat dengan menimbulkan diskriminasi dan intoleransi. Pemerintah dapat membuat peringatan ataupun larangan bagi aksi-aksi yang menjadi pendorong suburnya radikalisme atau terorisme.

“Kita selalu menindak, tetapi tidak mencegah aksi terorisme. Terutama (terhadap) anak-anak yang menjadi gambaran masa depan Indonesia.

Irwanto mengatakan pencegahan ini sangat penting karena Indonesia belum memiliki sistem pendidikan yang mendorong pemulihan atau rekondisi. Paham kebencian yang ditanamkan secara bertubi-tubi bisa menjadi bentuk baru prajurit anak-anak, yang siap melakukan apa saja tanpa dia pahami apa maknanya.

Rekondisi sendiri bisa dilakukan dengan mengubah suasana atau lingkungan anak. Seperti misalkan, meletakkan mereka dalam komunitas yang beragam dan toleran untuk menumbuhkan nilai-nilai tersebut.

Hal ini tentu mudah, jika pelaku yang menanamkan kebencian maupun intoleransi bukanlah orang dekat si anak. Namun, bila lingkaran dekat –seperti orangtua –yang melakukan hal ini, lebih sulit diatasi.

Saat ditanyakan apakah perlu anak tersebut dipisahkan dari orangtuanya, ia tak bisa memberi jawaban pasti. “Ya terpaksa,” kata Irwanto.

Sedangkan, bila pelakunya adalah guru atau dari pihak sekolah, maka orang tua harus turun tangan. Menurut Henny, mereka bisa melaporkan ke kepala sekolah, hingga Dinas Pendidikan.

Bila tak ada perubahan, maka orangtua berhak mengeluarkan anaknya dari sekolah tersebut karena nilai yang dianut tak sepaham. Dalam kasus ini, guru dapat dikatakan telah menyalahgunakan kekuasaannya.

“Kalau dari orangtua, guru juga harus intervensi. Misalkan dia melihat indikasi dari si anak, panggil orangtuanya. Duduk bersama, tanyakan apa yang membuat anak ini bahagia. Karena itu yang diinginkan orangtua,” kata dia. Penting sekali untuk bekerjasama dengan orangtua dalam hal ini, bukan malah menimbulkan perpecahan.

Henny menambahkan, penting sekali untuk menanamkan nilai cinta kasih dan keragaman di sekolah. Karena, anak-anak ini adalah cerminan bangsa.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfah Ansor mengatakan dirinya prihatin dengan hal ini. “Saya mengimbau kepada orangtua, guru, dan masyarakat untuk tidak melibatkan anak dalam konflik politik di pilkada atau di manapun, dan tidak mengajak anak dalam forum-forum politik praktis,” kata dia.

Ia juga meminta KPUD untuk tidak ragu memberikan sanksi kepada partai politik ataupun pihak-pihakyang melibatkan anak-anak dalam aktivitas politiknya. –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!