Menghapus dendam dari Desa Tenggulun Lamongan

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menghapus dendam dari Desa Tenggulun Lamongan
Putra Amrozi, terpidana mati tragedi Bom Bali bercerita tentang kehidupan pasca kematian ayahnya. Bersama sang paman, dia aktif di Yayasan Lingkar Perdamaian

LAMONGAN, Jawa Timur – Zulia Mahendra masih duduk di bangku kelas dua di sebuah sekolah menengah kejuruan di Kabupaten Lamongan, ketika dia melihat tayangan televisi yang membuat hatinya tercekat. Hari itu, di ujung bulan Oktober 2002, polisi merilis sketsa tiga orang yang diduga menjadi pelaku bom Bom Bali. Serangan bom ke Paddy’s Pub dan Sari’s Café di Legian, Kuta, pada 12 Oktober 2002 menewaskan lebih dari 200 orang. Salah satunya mirip dengan ayah Hendra, panggilan sehari-hari putra sulung Amrozi bin Nurhasyim.

“Awalnya sempat tidak menyangka bahwa itu abi (bapak). Cuma pas lihat sketsa awal disebarkan, kok mirip. Informasi tentang gigi kok sama dengan Ali Imron. Sempat berpikir, masak sih? Tapi jadi kenyataan,” kata Hendra, dalam wawancara dengan Rappler. Amrozi adalah pelaku kunci tragedi bom Bali itu. Polisi menangkap Amrozi di rumahnya di Desa Tenggulun, Solokoro, Lamongan, Jawa Timur, pada tanggal 5 November 2002. Amrozi menjadi terpidana bom Bali dan dieksekusi mati pada 9 November 2008.

Amrozi dianggap titik lemah dalam kelompok itu. Dia suka bicara. Kepada polisi Amrozi tunduk dan membuka informasi sejumlah tokoh kunci dalam serangan teror mematikan itu. Ali Imron, Ali Fauzi, dan Qomaruddin adalah pelalu pemboman di Sari Club dan Paddy’s. Mukhlas alias Ali Gufron dan Mubarok menjadi orang yang membantu mempersiapkan peledakan. Polisi memburu Muhammad Gufron (kakak Amrozi), Ali Imron (adik Amrozi), dan Ali Fauzi (saudara lain dari ibu kandung Amrozi).  

Bom yang diledakkan di Bali adalah bom mobil. Ali Imron dan Amrozi membeli mobil L-300 Mitsubishi untuk keperluan itu. Ali Imron dihukum seumur hidup. Belakangan dia juga insyaf dan diajak polisi untuk berbicara di berbagai forum di luar penjara untuk menyadarkan orang lain bahwa “jihad” yang pernah dia lakukan bersama saudara-saudaranya adalah hal yang salah. Mobil itu menjadi titik awal pengungkapan pelaku Bom Bali. Ali Imron menuliskannya di sini.

Dalam usia masih muda, Hendra menanggung beban sebagai putra teroris. Tidak hanya ditinggal ayah yang harus lama meringkuk di penjara dan kemudian dieksekusi mati. Sejumlah pamannya juga terlibat mulai dari merancang teror, menyiapkan bahan peledak, merakit bom sampai meledakkannya. Mukhlas alias Ali Ghufron dan Imam Samudera dieksekusi mati berbarengan dengan Amrozi.  

Hendra mengaku pada awalnya tak mendapatkan kesulitan dari stigma sebagai keluarga teroris, karena di sekolah tidak ada yang tahu bahwa Amrozi adalah ayahnya. Kalau ada masalah di sekolah, Hendra meminta bantuan orang lain untuk bertindak selaku “wali murid”. “Ya zaman itu biasa kan, di sekolah misalnya dipanggil guru karena tawuran,” ujarnya sambil tertawa.  

Di lingkungan rumahnya di Tenggulun, masyarakat juga tidak bersikap memusuhi keluarga Amrozi. Kaget dan bertanya-tanya, mengapa mereka melakukan tindakan radikal itu, iya. Perasaan yang sama seperti yang dialami Hendra dan keluarga lainnya. Almarhum kakek Hendra, Nurhasyim, adalah sosok cukup berpengaruh di desa itu. Bisa dikatakan, warga di sana belajar agama dari keluarga ini secara turun temurun. Pada tahun 1992, mereka mendirikan Pesantren Al Islam yang dipimpin dua anak tertua Nurhasyim, Ustad Chozin dan Ustad Jafar Shodiq. 

Sebelum ayahnya ditangkap, Hendra ingat Amrozi datang ke kos-kosan tempat dia tinggal. Waktu itu keduanya punya hobi yang sama. Balapan motor. Mereka sering bertanding, bercanda. Hendra mengenang ayahnya sebagai sosok yang humoris.  “Sebelum peristiwa Bom Bali, abi ke kos-kosan, dan sempat bilang enggak akan pergi ke mana-mana lagi,” kenang Hendra. Hendra sekolah, Amrozi kembali ke Tenggulun. Mereka berjanji akan adu balapan lagi.

Nyatanya, Amrozi memang tak bisa ke mana-mana lagi setelah detasemen khusus anti teror 88 Polri meringkusnya.  Sembilan tahun setelah ayahnya dieksekusi, Hendra mencoba bangkit dari rasa kaget dan sedih atas kenyataan pahit. Rappler bertemu Hendra, kini berusia 31 tahun, saat acara peletakan batu pertama pembangunan Taman Pendidikan Al Qur’an Plus dan Renovasi Mesjid Baitul Muttaqien di Desa Tenggulun, oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT, Komisaris Jenderal Pol Suhardi Alius, Rabu 29 Maret 2017. 

Hendra mondar-mandir ikut menerima tamu penting yang hadir ke desa kecil, 50 kilometer dari pusat kota Lamongan itu. Dia menggunakan kemeja hitam dengan tulisan bordir di bagian punggung atas, CV At Taubah. Lokasi acara di tanah lapang samping masjid yang akan direnovasi. Tempatnya tak jauh dari Pesantren Al Islam, yang dipimpin saudara tertua Amrozi, Ustad Chozin.

“Saya bekerja di sini, perusahaan keluarga yang kami dirikan bareng dengan paman. Saya menjadi general manager,” ujar Hendra. Usaha bersama ini sempat vakum. Belakangan aktif, mendapatkan sejumlah pekerjaan di bidang konstruksi, termasuk dalam pembangunan TPA dan renovasi masjid yang difasilitasi BNPT. Sumber dananya dari dermawan.

Kedua program, pembangunan TPA dan revonasi mesjid, berada dalam naungan Yayasan Lingkar Perdamaian yang dipimpin Ali Fauzi, adik Amrozi. Acara hari itu digelar meriah. Ratusan warga hadir. BNPT mengajak serta sejumlah tokoh dari Jakarta, seperti Imam Besar Mesjid Istiqlal Prof. Nasaruddin Umar, Ketua Panitia Khusus revisi Rancangan Undang-Undang Terorisme Muhammad Syafi’i dan Ketua SETARA Institute Hendardi. 

Yayasan Lingkar Perdamaian

Zulia Mahendra, putra almarhum Amrozi, terpidana Bom Bali (29/4/2017). Foto oleh Uni Lubis/Rappler

Hari itu wajah Hendra sumringah. Hendra mencium tangan Suhardi Alius dan tamu penting lainnya. Nasaruddin Umar memeluknya erat, seraya mengusap-usap rambut Hendra.  Nasaruddin mendampingi almarhum Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudera jelang eksekusi hukuman mati di penjara Nusakambangan.  “Prof Nasaruddin sudah kami anggap seperti orang tua kami sendiri,” kata Ali Fauzi, paman Hendra. 

Ketika diberikan kesempatan pidato, Nasaruddin menitikkan air mata mengingat saat-saat terakhir ketiga terpidana mati Bom Bali, dan hubungan dengan keluarga yang ditinggalkan. “Saya berharap banyak dari Ali Fauzi dan keluarga yang ditinggalkan, agar berjalan ke depan dengan pemahaman jihad yang benar,” ujar mantan wakil menteri agama ini.

Pembawa acara dari pihak Polres Lamongan memperkenalkan Ali Fauzi sebagai mantan kombatan dan otak peracik bom yang diledakkan di Bali. “Banyak orang tidak percaya bahwa orang Indonesia bisa membuat bom. Bahkan keluarga saya sendiri tidak percaya adiknya ini ahli merakit bom,” ujar Ali Fauzi, sambil tergelak.  Hadirin tertawa.  Tidak nampak suasana “seram” manakala kata “bom” dan “teroris” berkali-kali terucap siang itu.

Seperti keponakannya, hari itu Ali Fauzi nampak ceria. Penuh tawa. Keluarga besarnya hadir, termasuk sang ibu, Tariyem. Ali Fauzi juga mengundang puluhan mantan kombatan dan narapidana kasus teroris dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Ada yang baru keluar dari penjara dua minggu lalu,” kata Ali Fauzi. Hadir juga Bupati Lamongan Fadeli dan Wakil Bupati Kartika.

 Ali Fauzi meminta maaf karena ulah dirinya dan saudara-saudaranya membuat Lamongan sempat mendapat cap sebagai “kabupaten teroris”. Ali Fauzi menceritakan dia dulu pernah belajar merakit bom di Mindanao, Filipina Selatan. “Saya bisa membuat bom hanya dari bumbu dapur,” kata mantan anggota Front Pembebasan Moro itu. Oleh pemerintah Filipina, organisasi ini dianggap sebagai organisasi teroris.

Di kamp pelatihan militer Ali Fauzi  belajar strategi perang, mulai dari membuat peta, pengetahuan senjata dari berbagai negara, termasuk cara menembak yang efektif. Termasuk menembak pesawat. “Dulu kami belajar bikin bomnya serius. Daya ledaknya pun besar,” ujar dia.

Selesai pelatihan di Filipina, Ali Fauzi kembali ke Indonesia.  Sesekali dia ke Malaysia. Mulailah Ali Fauzi aktif dalam kegiatan teroris. Dia ditunjuk memimpin para instruktur perakitan bom di  Jama’ah Islamiyah wilayah Jawa Timur. 

Ali Fauzi pernah menjadi kepala instruktur pelatihan militer  milisi Ambon, Poso Jawa, Sulawesi, Kalimantan,Sumatera, Malaysia  dan Singapura. “Tahun 2002 saya berangkat ke Mindanao mendirikan kamp pelatihan militer  bersama Abdul Matin, Omar Patek, dan lain-lainnya,” kata dia.  Tahun 2004 dia ditangkap polisi nasional Filipina dan menjalani kehidupan di penjara di sana.

Kehidupan keras di penjara dilakoni Ali Fauzi. “Badan saya remuk. Luka parah,” ujar dia. Tahun 2006, Ali Fauzi dibawa pulang ke Indonesia dan dirawat di rumah sakit di Jakarta oleh satgas densus 88. “Oleh polisi di sini saya diperlakukan dengan sangat manusiawi. Tidak ada penyiksaan,” kata Ali Fauzi. Dia menyebut Suryadharma Salim, mantan kepala densus 88 yang menangani kasusnya saat itu.  

Mendapat perlakuan baik, hati Ali Fauzi tersentuh. Dia menyadari kesalahannya dan bertaubat. “Saya dibiayai oleh kepolisian untuk lanjut sekolah S2 Magister Studi Islam UMS Surabaya,” tutur dia. Sebagai mantan kombatan dan pernah dalam jejaring JI, Ali Fauzi menjadi sumber penting bagi polisi dan media manakala ada aksi teror dan ledakan bom. Ali Fauzi aktif membantu polisi dan BNPT dalam program deradikalisasi. Dia keliling Indonesia dalam berbagai seminar, diskusi, termasuk dengan keluarga mantan napi teroris.

Yayasan Lingkar Perdamaian bisa disebut sebagai yayasan pertama di Indonesia, mungkin juga di dunia, yang bergerak di bidang Countering Violence and Extreemism (CVE), melawan tindak kekerasan dan sikap ekstrimis. “Kami berkomitmen menjadi peace agent, agen perdamaian,” kata Ali Fauzi. Dia dan para mantan kombatan lain berharap pemerintah pusat dan daerah mendukung upaya keluarga mantan napi teroris untuk membangun kehidupan ekonomi dan sosialisasi dengan masyarakat.

Proses mendirikan yayasan ini cukup lama, sekitar tiga tahun. “Tadi malam kami berkumpul bersama semua mantan kombatan dan napi. Yang sudah lalu, adalah sejarah. Kami ambil hikmahnya.  Ke depan kami bersama-sama ingin hidup dalam damai, dan ikut menyadarkan bahaya radikalisme dengan kekerasan,” kata Ali Fauzi.

BACA : Wawancara Kepala BNPT, Anak Teroris Jangan Dimarjinalkan 

Ibarat menanam pohon harapan

Kepala BNPT Suhardi Alius berjanji merealisasikan apa yang sudah dimulai pada hari itu. “Tiga setengah bulan dari sekarang, mestinya renovasi masjid sudah rampung. Pembangunan TPA juga kami minta segera dilakukan. Kalau ada masalah, tolong kami diberitahu,” ujar Suhardi. Dia menceritakan realisasi pembangunan Mesjid Al Hidayah di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang diresmikan pada 24 Februari 2017.  Mesjid ini melengkapi Pondok Pesantren Al Hidayah yang dimulai pembangunannya pada September 2016.  

Ponpes Al Hidayah menjadi ponpes pertama di Indonesia yang fokus pada pendidikan bagi anak-anak keluarga mantan napi teroris. Ponpes ini didirikan oleh mantan teroris dalam kasus perampokan Bank CIMB Niaga di Medan, tahun 2010. Salah satu pemimpin aksi perampokan itu, Khoirul Ghozali, kini memimpin Ponpes Al-Hidayah dan aktif membantu BNPT dalam program deradikalisasi.  

Rappler berkunjung ke Ponpes Al-Hidayah, pada tanggal 22 Maret 2017 dan bertemu dengan Khoirul yang di lingkungannya disebut Ustad. Khoirul menjelaskan mengapa saat masih menjalani hukuman di penjara dia bertobat dan punya ide mendirikan pesantren khusus bagi anak-anak mantan napi kasus teroris. Ponpes Al-Hidayah berdiri di atas lahan seluas 30 hektar yang disediakan Badan Usaha Milik Negara perkebunan.

 “Kalau dihitung, dari semua napi kasus teroris, baik yang masih menjalani hukuman maupun yang sudah kembali ke masyarakat, ada 1.800 anak. Kalau negara tidak memberi perhatian, mereka berpotensi mewarisi semangat jihad yang salah, sebagaimana dilakukan ayahnya,” kata Khoirul. Dia mengatakan ini merujuk kepada pengalaman hidup.

BACA : Lima Alasan Seseorang Menjadi Teroris 

Suhardi Alius mengatakan pembangunan TPA dan masjid adalah wujud komitmen BNPT, sekaligus membuktikan bahwa negara hadir di hulu masalah terorisme. “Selama ini mungkin kami lebih fokus ke hard approach atau penindakan. Sekarang masalah terorisme kami urai dan tangani dari hulu sampai ke hilir,” ujar Suhardi. Semua variabel penyebab dan solusinya digali dengan melibatkan para ahli di bidangnya.  Dia mengibaratkan pembangunan pesantren dan TPA untuk keluarga mantan napi teroris itu seperti menanam pohon harapan.  “Kita berharap mereka meninggalkan paham jihad yang tidak menunjukkan sifat rahmatan lil alamin,” kata Suhardi.

Bupati Fadeli mengatakan pemerintah daerah mendukung upaya deradikalisasi dengan membuka kesempatan ekonomi. Desa Tenggulun yang dulunya gersang, kini memang nampak hijau. “Produk jagung dari Tenggulun sudah menjadi produk unggulan daerah,” ujar Fadeli. Dulunya, warga desa ini banyak yang merantau ke negeri orang menjadi tenaga kerja Indonesia. Duit yang mereka dapatkan lumayan. Tak heran rumah-rumah di desa ini sebagian dalam kondisi baik. Kini, memasuki wilayah Tenggulun mata dimanjakan oleh bentangan sawah dan ladang yang subur dan hijau.  

Hendra dan Ali Fauzi berbagi rasa optimisme bahwa program Yayasan Lingkar Perdamaian bakal mampu mengangkat harkat hidup keluarga mantan napi dan kombatan. “Sekarang sih saya yakin. Melihat situasi rielnya. Ada buktinya,” kata Hendra. Ali Fauzi mengatakan pihaknya siap bersinergi dengan semua pihak untuk menjauhi kekerasan.

Azan salat Dhuhur berkumandang, tak lama setelah acara seremoni selesai. Para warga dan mantan napi berbaur dengan para tamu.  Foto-foto bersama. Bersalaman, saling peluk antara para jenderal polisi dan mereka yang pernah diburu sampai ke hutan dan bukit. Hendra menikmati suasana itu, bercanda dan menyapa para jurnalis daerah yang datang meliput. Mereka nampak akrab.

“Ada rasa kangen sama Abi. Kangen dengan humornya. Kangen bersaing balapan. Abi di motocross, saya di road-race,” ujar Hendra. Dia mengaku, tak lagi menyimpan dendam. “Sejak Abi meninggal dunia, saya dibimbing keluarga untuk melalui semuanya. Fokus kepada kerja. Yang positif saja,” ujar bapak dua anak ini.  

Penghasilan dari pekerjaan di CV At Taubah menurutnya belum mencukupi keperluan sehari-hari. Maka, kerja serabutan dilakoni. “Urusan IT saya lumayan bisa,” ujar dia. Hendra berharap, dalam menjalankan usaha untuk menopang ekonomi keluarga tidak diganggu. “Kalau kami melanggar aturan, misalnya dalam perizinan, jangan langsung main stigma. Kami minta diberitahu. Dibantu,” kata dia. Keluarganya juga mengurusi sejumlah anak yatim-piatu.

Seperti anak muda lainnya, Hendra juga memiliki akun media sosial. Dia juga punya blog dan sempat rajin menulis. Fenomena merebaknya paham radikal dan rekrutmen calon teroris melalui media sosial juga dia ikuti. “Jangan sampai terpengaruh hal-hal yang nampaknya enak. Percayalah, banyak ruginya. Fokus kepada aktivitas positif dan kerja untuk keluarga,” pesan dia. 

Dia melepas tamu-tamu yang pamit meninggalkan acara dengan penuh senyum. “Saya enggak dendam, kok. Memang, dalam hati saya ini masih ada setitik noda hitam. Sedih. Bantu saya untuk menghapusnya,” kata Hendra, lirih – Rappler.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!