Mantan teroris perampok bank kini kelola pesantren

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mantan teroris perampok bank kini kelola pesantren
“Jangan heran penjara itu merupakan peluang emas bagi para jihadis untuk melakukan rekrutmen baru, baiat dan operasi jihad.”

 

DELI SERDANG, Sumatera Utara – Lebih dari 10 kali saya bertanya kepada warga, di mana lokasi Pesantren Al-Hidayah? Yang masjidnya baru diresmikan Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, akhir Februari lalu? Saya memang tidak menyebutkan nama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius saat bertanya kepada warga di kawasan Kutalimbaru, Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.  Sosok gubernur mestinya lebih populer bagi warga setempat. 

Jarak kawasan ini dari kota Medan, sebenarnya tidak jauh, sekitar 20-an kilometer. Tapi berpedoman kepada peta dari alamat di internet ternyata bukan keputusan yang benar. Hampir satu jam saya berputar-putar mencari alamat pesantren. Sopir taksi yang saya sewa dari Bandara Kuala Namu cukup sabar berkali-kali mondar-mandir di jalan yang sama tanpa hasil.

Warga rata-rata melengos, memandang dengan tatap mata curiga dan menyatakan tidak tahu saat saya bertanya tentang pesantren yang didirikan oleh mantan narapidana teroris ini. Pesantren pertama di Indonesia yang fokus kepada pendidikan untuk anak-anak mantan napi teroris maupun yang ayahnya masih di penjara. Agak aneh, karena biasanya sebuah pesantren, apalagi punya masjid baru, menyebar informasinya dari mulut ke mulut dalam lingkungan seperti ini. Saya malah kesasar ke pesantren lain di sana. Hari itu, Rabu, 22 Maret 2017. Matahari bersinar terik.  

Saya melintasi perumahan warga yang diselingi sawah. Pesan pendek yang saya kirim ke Khoirul Ghozali, pendiri dan pemimpin pesantrean Al-Hidayah akhirnya dijawab. Titik-terang muncul, ketika dia menyebut lokasinya di Sei Mencirim. Ancer-ancernya SMKN 1 Kutalimbaru. “Sesudah itu pesantren kami,” kata Ustad Khoirul, demikian dia dipanggil di pesantren itu. Tak banyak orang berpapasan dengan kami saat itu. Melewati jalan yang lumayan mulus, akhirnya saya melihat Masjid Al Hidayah yang berdiri megah di tengah hamparan lahan lumayan luas, sekitar 30-an hektar.

Foto Masjid Al-Hidayah, masjid dan pesantren didirikan mantan napi teroris perampokan Bank CIMB Niaga di Medan tahun 2010, (22/3/2017). Foto oleh Uni Lubis/Rappler  

Masjid itu baru diresmikan pada tanggal 24 Februari 2017. Cat warna hijau masih licin berkilap. Ukurannya cukup luas. Megah. Menurut taksiran saya bisa menampung 10-15 an shaf salat, cukup lega untuk 100-150 an jamaah. Masjid dikelilingi teras yang cukup lebar. Semua serba baru. Masuk ke kawasan itu melalui sebuah gerbang. Di kiri kanan masih ada spanduk peresmian masjid. Ada foto gubernur dan kepala BNPT di situ.

Di belakang masjid, ada bangunan lokal untuk belajar. Sedang ada kegiatan oleh Forum Komunikasi Pemberantasan Terorisme, sebuah forum yang pendiriannya difasilitasi BNPT. Mereka menggelar pelatihan membuat video pendek untuk persiapan festival video BNPT. Sekitar 50-an pelajar sekolah menengah atas di kawasan Medan tekun mendengarkan pemaparan mengenai bahaya paham radikalisme dengan kekerasan yang merebak melalui media sosial. Menurut data yang dikutip pengajar dari BNPT, 64 persen pengakses internet via telepon seluler adalah mereka seusia pelajar Sekolah Menengah Atas.

Tak dinyana saya bertemu teman masa kuliah. Tjandra Wibowo pernah bekerja sebagai wartawan, kemudian produser di sebuah stasiun televisi swasta. Setelah itu dia mendirikan dan mengelola sebuah rumah produksi film dokumenter. Siang itu dia membawa serta aktor Mathias Muchus untuk memberikan motivasi bagi peserta pelatihan tentang pentingnya merawat rumah Indonesia, rumah untuk semua. Tjandra dan timnya mengajari mereka bagaimana memproduksi video singkat.

Pelatihan Video Singkat Untuk Murid SMU Oleh Forum Komunikasi Pemberantasan Terorisme (22/3/2017). Foto oleh Uni Lubis/Rappler    

Tak jauh dari ruang belajar, di bagian belakang masjid, ada bangunan yang nampak baru juga. Minimal status bangunannya sama kinclong dengan masjid. Di situlah tempat tinggal Khoirul Ghozali dengan istri dan 10 anaknya. Rumahnya nyaman dan cukup luas. Di bagian belakang ada ruang asrama untuk santri atau siswa. “Sekarang ada 12 (santri). Pada mulanya ada 20-an orang. Cuma sesudah berjalan, logistik kekurangan, donatur yang kita harapkan bisa membantu secara tetap, tidak ada. Akhirnya sebagian saya pulangkan. Mulanya saya dapat protes, kok ada diskriminasi, saya katakan tidak mampu biayai yang 10 orang,” kata Khoirul saat saya wawancarai.

Kami duduk bersila di mushola kecil, terbuka, di samping rumah. Di rumah utama banyak tamu dari BNPT. Waktunya makan siang, dan jeda acara pelatihan. Mushola kecil tempat wawancara adalah cikal bakal bangunan di tanah yang tadinya seluas 7.000 meter persegi, ketika pesantren pertama kali dibangun September 2016.

Saya pertama kali mendengar tentang pesantren deradikalisasi ini dari mantan kepala BNPT Saud Usman Nasution. Saya mewawancarai dia beberapa hari setelah Tragedi Bom Di Pos Polisi dan gerai kopi di Jalan MH Thamrin, Januari 2016. Pesantren ini didirikan oleh mantan tokoh perampok Bank CIMB Niaga Medan pada tahun 2010. BNPT menjadikan pesantren ini proyek percontohan program deradikalisasi mantan napi teroris.

BACA: Pekerjaan Rumah Deradikalisasi Napi Kasus Terorisme

Rupanya realisasi proyek ini lebih cepat ketika jabatan bos BNPT berpindah ke Suhardi Alius. Mantan Kabareskrim ini memang sejak awal fokus untuk melakukan pendekatan lunak dan menangani masalah sosial dan ekonomi mantan napi. Istilah yang digunakan adalah, menangani masalah dari hulu sampai ke hilir.

BACA: Wawancara Kepala BNPT,  Suhardi Alius  Anak Teroris Jangan Dimarjinalkan 

Menurut Suhardi Alius, proyek pesantren dan Masjid Al Hidayah dibiayai sepenuhnya oleh donatur. Tidak ada dana dari bujet negara yang digunakan. Dukungan Badan Usaha Milik Negara misalnya dalam bentuk menyediakan lahan yang tidak dipakai. Saya sempat bertanya kepada Suhardi, mengapa harus membangun masjid begitu besar dan megah? Padahal santrinya baru 12 orang?  Apalagi, sebagaimana pengakuan Khoirul Ghozali di atas, mereka pernah terpaksa memulangkan 10 siswa karena kurang dana logistik. Bukankah sebaiknya dana yang dikumpulkan donatur diprioritaskan untuk membiayai siswa?

Di sekitar lokasi ada sejumlah masjid. Ada pesantren. Warga yang saya tanyai mengaku enggan bergabung dengan pesantren dan salat di masjid yang dibangun mantan napi teroris. “Kita akan fokuskan kegiatan FKPT di sana supaya cepat reintegrasinya,” ujar Suhardi.  Dia optimistis kali ini bakal lebih banyak santri yang bisa ditampung di pesantren, karena saat peresmian masjid, pemerintah daerah melalui gubernur, bupati dan walikota berjanji mendukung.  “Sekarang lebih leluasa. Setiap Sabtu akan kami adakan kegiatan,” kata Suhardi.

Kepala BNPT mengakui memang tidak mudah mengajak masyarakat untuk datang ke pesantren atau beribadah di masjid yang dikelola mantan napi teroris. “Masyarakat enggan bergabung karena takut. Harus kita upayakan agar mereka tidak dikucilkan,” tutur Suhardi, ketika saya sudah kembali ke Jakarta beberapa hari kemudian. Dia menunjukkan pesan pendek dari Khoirul: “Untuk tahun ajaran baru ini sudah ada tambahan 20 anak eks teroris mondok (nyantri) dan 30 murid full day school (tidak mondok tapi pulang sore).

Dalam pesan pendek kepada kepala BNPT Khoirul juga menginformasikan bahwa pihaknya sudah menanam cabai merah dan papaya, masing-masing di atas lahan seluas satu hektare. “Ada 4.000 bibit ikan Nila sumbangan Polda. Jadi tiga bulan ke depan pesantren ada pemasukan,” demikian Khoirul. Dalam wawancara dengan saya, Khoirul memang menceritakan bahwa pesantren melakukan kegiatan budidaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berikut wawancara dengan Khoirul Ghozali atau Abu Yasin:

“Ide pesantren ini muncul sejak saya masih menjalani proses sidang kasus perampokan ini ya, kan sudah ditahan dipenjara.  Saat itu saya divonis enam tahun penjara. Saya jalani empat tahun dua bulan, karena dapat remisi.  Dari balik jeruji besi itu saya berpikir apa yang bisa saya sumbangkan pasca saya ditahan.  Ide ini saya diskusikan dengan pimpinan BNPT yang berkunjung  ke saya di penjara. Mereka antusias dan siap fasilitasi. Mengapa saya berpikir mendirikan pesantren untuk pendidikan ini, karena banyak anak-anak mantan teroris, keluarganya, terbengkalai. Begitu juga istrinya terbengkalai ekonomi, putus sekolah anak-anaknya, bahkan tulang punggung utamanya. Berbahaya  kalau tidak diperhatikan masalah emosional mereka, memori ingatan saat ayahnya ditembak aparat, atau dipenjara. Kalau tidak ada pembinaan dan pendidikan, bisa bahaya. (Dendam) saat orang tuanya ditangkap, diadili dihukum, itu hanya bisa diputus dengan pendidikan

Mengapa di sini lokasinya? 

Karena ini tidak jauh dari kampung saya. Saya tinggal di Desa Sei Mencirim ini.  (Pesantren ini) luas  awalnya 7000 meter persegi, belakangan berkat lobi BNPT ke gubernur, karena di depan ada tanah PTP yang tidak digunakan dihibahkan 30 hektare. Kami daya gunakan untuk pertanian, supaya dapat income dari pertanian. Kegiatan di sini persisnya tahun 2016, langsung operasional belajarnya, diresmikan oleh Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi pada 16 Juni 2016. Dimulai dengan 10 siswa, semua anak mantan napi teroris, dan sebagian yang orang tuanya sudah meninggal dunia. Beberapa orang tuanya masih dipenjara.

Pada mulanya anak-anak mereka saya ambil, saya diskusikan dengan ibunya , mereka setuju.  Karena putus sekolah. Lalu ada dendam. Ada penelantaran, distigma, dimarjinalkan. Untuk sementara laki-laki dulu. Sekarang bangunan untuk dua lokal, satu kantor, di belakang 1 asrama, bisa menampung 20 siswa. Ada bengkel, untuk melatih skill kemahiran, lahan kolam di belakang  untuk wirausaha perikanan, pertanian, untuk logistik keperluan sehari-hari.

Sekarang  jumlah siswa ada 12 orang. Pada mulanya sempat 20 an orang, Cuma sesudah berjalan, logistik kekurangan, donatur yang kita harapkan bisa membantu secara tetap,  tidak ada. Saya pulangkan sebagian.  Mulanya saya dapat protes,kok ada diskriminasi? Saya katakan tidak tidak mampu biayai yang 10 siswa.  Sumber dana saya sendiri, dengan bertani beternak dan dari royalty buku. Ada empat orang guru. Relawan. Tidak kita bayar karena tidak mampu.

Apakah setelah mengikuti pendidikan di sini siswa memiliki kemajuan belajar dan tidak dendam? Pada awalnya berat. Mereka menyimpan dendam. Setiap ada polisi yang lewat mereka masih menganggap itu toghut. Orang yang membunuh ataupun memenjarakan bapak mereka.  Memori ingatan itu masih kuat sekali dalam jiwa mereka. Tiga empat bulan kita baru bisa menghilangkan dendam itu.  Kita tanamkan rahmah, kasih saying, Islam itu pemaaf.  Berjalan setengah tahun  (mereka) bisa menerima kenyataan. Bahkan sudah bisa punya cita-cita jadi polisi dan TNI. Katanya untuk membangun NKRI.  Kalau ketemu ke bapaknya di penjara, mereka katakana bahwa jihad yang dilakukan bapaknya itu salah.  

Pesantren memang menjadi semacam acuan, role model bagi BNPT. Pada awalnya ketika mendirikan, kita dicap sebagai pesantren teroris.  Sempat dilaporkan ke polisi, bahwa pesantren ini mencetak teroris.  Polisi datang ke sini, kita jelaskan.  Aparat bantu sosialisasi.  Mereka menerima, legowo. Juga pengurus  “kevling” sampai camat kemari agar pesantren dapat berkembang.  Agar dapat memutus mata rantai terorisme di Indonesia.

Ide ke depan,  pesantren ini bukan hanya anak-anak mantan teroris, tapi juga  siswa dari luar yang miskin.  Ini untuk  untuk pembauran. Idenya sudah disetujui BNPT dan Pemprov.  Pemerintah daerah mendukung dengan membangun jalan, menyediakan listrik, masjid dan sekolah.”

Merampok untuk biayai aksi terorisme

Perampokan Bank CIMB Niaga pada bulan Agustus tahun 2010 menggegerkan kota Medan, dan menjadi salah satu contoh aktivitas “fai” atau merampok oleh para jihadi yang saat itu mempercayai bahwa tindakan itu sah.  Khoirul menceritakannya di bawah ini:

“Mengapa merampok atau “fai”?

Kita untuk operasi jihad itu butuh dana. Selain kita kumpulkan dari infaq dan sedekah,  juga dari harta orang-orang kafir dan harta yang dikuasai pemerintah.  Kita tahu bahwa bank-bank itu adalah bank konvensional mengamalkan riba. Dengan demikian uangnya adalah uang yang dikuasai pemerintah.  Dalam doktrin jihadis, uang seperti itu dihalalkan, kita ambil untuk digunakan dalam operasi-operasi jihad. Dalam peristiwa perampokan tahun 2010 itu sengaja dipilih Bank CIMB Niaga, karena  bank internasional. Sengaja kita desain untuk merampok bank itu. Pelakunya 16 orang lengkap dengan senjata, untuk menunjukkan bahwa para jihadis hadir di tengah-tengah kota, di tengah-tengah masyarakat.  Bahkan kita bisa menguasai, mengatur lalu-lintas selama 10 menit. Bukan jumlahnya yang penting, tetapi move ataupun efek yang kita lakukan saat itu ingin mengabarkan kepada dunia bahwa jihadis hadir di Indonesia. Saat itu kita hanya berhasil ambil Rp 400 juta. Sebagian untuk membantu dana jihad di Aceh, kamp pelatihan di Aceh di Jantho. Sebagian ke Sulawesi, sebagian untuk para pelaku “amaliyah” jihadi menurut versi kita saat itu. 

Merencanakan perampokan semacam itu tidak memakan waktu lama, sekitar 1 minggu. Sebelum itu anggota saya berhasil melakukan “fai” yang sama di Bank Sumut, mengambil hampir Rp 1 miliar. Berhasil, kemudian BCA dan lain-lain.  Jadi dana-dana itu memang dikumpulkan untuk jihad fisabillilah, yang mana dalam doktrin yang kami yakini pada saat itu halal, karena uang pemerintah, pemerintah kan bagi kami ilegal pada masa itu.

Saya tidak tahu apakah peristiwa perampokan CIMB Niaga itu diketahui oleh Abu Bakar Baasyir. Cuma kalau operasi-operasi  pengumpulan “fai” seperti itu sudah ada dalam doktrin jihad sejak zaman Kartosuwirjo, dilanjutkan zaman Abdullah Sungkar, ABB dan seterusnya.  Jadi sudah ada doktrin-doktrin seperti itu.  Apakah  ABB tahu peristiwa itu saya belum mendalaminya, karena sesudah kejadian itu beliau ditangkap, sayapun ditangkap. Tapi saya yakin benang merahnya ada.

Mengapa bergabung menjadi teroris? Kejadiannya, sejak saya usia 18 tahun, saya sudah berkecimpung di dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia, yang kebetulan pada tahun 1985 dipaksa rezim Soeharto untuk tanggalkan azas Islam. Harus diganti dengan azas tunggal, Pancasila. Jadi timbul semangat hiwa radikalisme Islam itu gara-gara pemaksaan terhadap asas tunggal, astu. Pancasila.

Jadi jiwa radikalisme, jiwa muda itu muncul karena semua ormas di Indonesia termasuk NU wajib astu.  Kita sudah didoktrin oleh senior bahwa ini jihad mempertahankan organisasi dengan azas Islam. Kemudian  juga, saya hijrah  ke Malaysia tahun 1984.  Sampai di Malaysia ketemu dengan Abdullah Sungkar, ketemu dengan Hambali, yang sekarang di Guanatanamo, ketemu yang lain-lain lagi,  para jihadis yang siap ke Afganistan.  Dari situ saya semakin matang dalam memahami tentang jihad, apalagi akan dikirim  untuk berperang melawan Uni Sovyet, makin menggebu-gebu. Ketika Uni Sovyet runtuh, kemudian fase jihad berakhir, kita balik ke Indonesia. Kita melihat begitu banyak kemungkaran, ketidakadilan di sini.  Semangat jihad muncul kembali.  Kemudian kita kumpulkan kawan-kawan, dan saya pun sudah bisa menjadi seorang ideolog,  seorang yang bisa membina. Jadi ada ratusan orang di Medan ini saat itu yang saya cuci otaknya, puncaknya adalah perampokan CIMB Niaga , pernyerangan  pos polisi Hampar Perak, dan anggota-anggota saya yang ikut ke kamp pelatihan di Jantho (Aceh) juga banyak.

Saya tidak lari, saat perampokan, karena waktu itu memang tinggal di Tanjung Balai. Saya tidak ikut ke lapangan merampok. Anggota saya banyak yang lari ke rumah. Kta remote saja, karena ada doktrin bahwa ideolog atau pemimpin itu tidak bisa ikut “amaliyah”.  Polisi memang mengejar pelaku ke rumah saya. Ada penggerebekan, dua ditembak mati, sebagian lari.  Saya dan kawan ditangkap didalam kondisi hidup.  Saya menjalani penjara di LP Tanjung Gusta.

Penjara adalah sekolah bagi para calon teroris?

Benar.  Bagi kami saat itu, (tapi saat itu paradigma saya sudah berubah),  justru dipenjara kesempatan berharga untuk membina, karena enggak perlu membina lagi di luar.  Pembinaan, brain washing, cuci otak untuk menciptakan kader-kader baru para jihadis di penjara itu aman.  Di sana  sering diadakan ceramah-ceramah agama.  Para kriminal itu, para napi bukan kasus  teroris karena digabungkan dalam satu  Lembaga Pemasyarakatan mau tidak mau dia menerima ideologi-ideologi baru itu karena ini merupakan pencerahan bagi mereka. Malahan saat mereka keluar, para kriminal yang sudah dibaiat didalam penjara sudah siap dengan target-target tertentu. Jangan heran penjara itu merupakan peluang emas bagi para jihadis untuk melakukan rekrutmen baru, baiat dan operasi jihad.  Tidak perlu ponsel dan aman, tidak perlu lagi diikuti dan dicurigai karena berada dalam jeruji besi.  Ini yang berbahaya.

Menurut saya sangat penting bagi Pemerintah  mengkondisikan napi-napi teroris tidak dicampur dengan napi-napi kriminal yang lain karena bisa  menjangkiti virus radikalisme ke napi-napi itu.

Apa yang membuat sadar kembali ke jalan yang benar?

Titik baliknya ketika masih proses sidang, enam bulan, saya dipenjara,  proses interogasi. Keluarga kita di rumah kehilangan tulang punggung ekonomi, anak-anak kehilangan idola, kita tidak bisa bersentuhan langsung mendidik mereka, padahal kewajiban suami itu adalah mendidik istri, memberi nafkah kepada mereka, dan ini adalah bagian dari jihad yang benar.  Jadi saya melihat bahwa jihad yang saya lakukan ternyata salah kaprah. Dibuktikan dengan kita kehilangan fungsi.  Di dalam Al Qur’an disebutkan “arrijalu qawwamuna “alan nisaaa”, suami itu adalah pemimpin bagi keluarga. Saya sudah tidak lagi bisa mejadi pemimpin, tidak bisa menjalankan fungsi dan roda pemerintah dalam keluarga. Timbul kesadaran pradigma baru bahwa jihad yang saya lakukan salah.

Proses kesadaran terjadi dengan sendirinya hasil bersentuhan dengan istri, di dalam penjara, kan istri terpaksa berkunjung, anak juga harus membawa bekal, habiskan ongkos, dan menyusahkan. Saya melihat jihad  tidak seperti ini.  Jihad itu benar dalam Islam tapi harus dilakukan dengan beradab dan humanis.  Tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada pihak yang dianiaya. Sementara yang terjadi pada diri saya adalah penganiayaan dan pengabaian anak dan istri, kehilangan nafkah bahkan anak ada yang putus sekolah.

Kemiskinan, ketidakadilan adalah lahan subur bagi aksi terorisme kekerasan dengan mengusung agama. Pada waktu saya di alam jihad, melihat korupsi, ketidakadilan, ketimpangan ekonomi, kesenjangan antara kaya dan miskin,  hukum yang tidak dilakukan dengan adil, menjadi bibit-bibit kemarahan dari kalangan jihadis terhadap para pemimpin negara ini.  Hal itu memunculkan sifat radikalisme. Kemudian agama justifikasi, agama membenarkan langkah ini. Semakin mantap. Jadi sebenarnya asal usul jihadis melakukan aksi-aksi akibat dari lingkungan politik ekonomi sosial di negara ini. Agama hadir kemudian menjadi justifikasi membenarkan tindakan ini.”

BACA: Lima Alasan Seseorang Menjadi Teroris 

Pelaku teror dengan kekerasan belakangan makin muda usia.  Menurut data BNPT, mereka berasal dari kalangan terdidik pula. Sebanyak 63,6 persen lulus sekolah menengah atas, 16,4 persen lulus dari universitas.  “Mereka ini terpapar intensif dengan teknologi komunikasi dan berpotensi untuk menjadi perekrut juga,” ujar Suhardi Alius.  Pelaku aksi juga pernah dipenjara karena kasus yang sama.

Bagaimana Khoirul Ghozali melihat fenomena ini?

“Penjaranya tidak salah, yang salah adalah pembinaan. Dalam enam kejadian terorisme di Indonesia, dalam 1 tahun 1 bulan ini, melibatkan 3 mantan, dan 3 pelaku baru. Ini menunjukkan bahwa para napi yang baru keluar tidak segera  didekati oleh negara, sehingga mereka ketika keluar penjara kelimpungan. Mereka akan galau, mereka tidak punya pekerjaan sementara masyarakat sudah menstigma mereka sebgaai teroris. Kemanapun mereka berada, amelamar pekerjaan, orang akan curiga. Kalau tidak dicurigai pun, dia pelakunya merasa dicurigai. Ini berbahaya, dan membuat mereka masuk ke jaringan lama, habitat lama. 

Seharusnya ketika mereka keluar,  negara hadir di situ. Bahkan harus mencarikan pekerjaan untuk mereka, mencarikan solusi. Mereka adalah pelaku extraordinary crime, harus  diperlakukan lain daripada pelaku pelaku kriminal biasa.  Menurut saya, untuk ke depan, pembinaan ada di dalam dan di luar, dan harus terkait antara pembinaan di dalam dan di luar.

Pelaku aksi teror  makin muda karena di usia itu masih labil dan mudah didoktrin.  Menggunakan background ketidakadilan, ketimpangan ekonomi,korupsi, hukum tidak jadi panglima dan lainnya.  Agama dihadirkan membenarkan tindakan teror.  Anak-anak muda sangat mudah dicuci otaknya terutama yang masih belasan tahun. Anak muda dari sekolah umum lebih mudah terpengaruh dibanding anak-anak pesantren yang sudah ada basic agama.  Ada surveinya.

Di era internet, media sosial, rekrutmen calon teroris semakin mudah.  Ada fasilitas dunia maya, memudahkan pendekatan rekrutmen, pembaitan sekaligus amaliyah jihad. Baiat dilakukan secara online. Anak-anak muda cukup melihat postingan di internet, dapat masukan ideolog, perintah jihadi, baiat dan operasi jihad.

Saran bagi orang tua? Anak-anak harus didampingi. Dalam memanfaatkan internet mereka harus dipandu, jangan diberi kekuasaan kebebasan. Orang tua bisa intervensi demi masa depan anak. Internet bagus. Tapi orang tua harus hadir.

—Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!