Jawaban dua paslon Pilkada DKI normatif dan defensif

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jawaban dua paslon Pilkada DKI normatif dan defensif

ANTARA

Jawaban yang dilontarkan kedua paslon Pilgub DKI cenderung bermain aman.

JAKARTA, Indonesia – Debat publik final terakhir Pilkada DKI Jakarta 2017 telah berakhir. Adu argumen antara dua pasangan calon untuk menjadi DKI 1 kali ini berlangsung normatif dan ‘damai’ bila dibandingkan sebelumnya.

Tak hanya suasana debat atau perilaku pendukung paslon, jawaban yang dilontarkan para paslon untuk setiap pertanyaan juga cenderung bermain aman.

“Mungkin karena sadar sudah injury time dan voters sudah punya referensi,” kata salah satu anggota tim panelis debat kali ini, Gun Gun Heryanto, di Jakarta pada Rabu, 12 April 2017.

Gun tak hanya merujuk pada satu paslon, menurut dia, keduanya memainkan strategi yang sama dalam debat kali ini. Mereka tak perlu lagi mengeluarkan argumen yang ofensif karena 3 debat di putaran pertama sudah membentuk polarisasi pemilih.

Kedua pasangan calon tak lagi menanggung beban untuk berebut pemilih, lantaran waktu pencoblosan sudah semakin dekat dan mayoritas pemilih sudah menentukan pilihan mereka. Kali ini, mereka cukup mempertajam ide yang pernah diontarkan dan menunjukkan komitmen.

Beberapa contoh yang ia berikan adalah dalam hal birokrasi. Pertanyaan pembuka dari panelis menyoroti hubungan pemerintah provinsi dan DPRD. Ahok dan Djarot masih menjual program transparansi lewat e-budgeting sementara Anies menekankan juga pada pelibatan warga.

Jawaban-jawaban ini terlihat mengulang dari debat-debat sebelumnya yang membahas persoalan sama, tanpa menawarkan hal baru.

Dalam hal transportasi, anggota panelis Yayat Supriatna yang lama berkutat di bidang ini juga mengungkapkan hal sama. “Masih normatif, seperti integrase. Masih tidak terjawab bagaimana konsep mengintegrasikannya,” kata dia.

Ahok mengusulkan supaya Transjakarta menambah rute dan trayek dengan menggandeng armada angkutan umum lain seperti KWK. Namun, moda transportasi lain seperti Metromini masih belum tersentuh.

Sementara Sandi menjabarkan soal program OK-Otrip yang membuat warga Jakarta cukup membayar Rp 5 ribu untuk menggunakan seluruh angkutan umum di ibu kota. Sisanya akan disubsidi oleh pemerintah. Pola subsidi ini, menurut Yayat, masih menjadi pertanyaan.

“Ada kesan membuat subsidi jadi isu besar, hanya saja strategi membuat jadi benar-benar murah ini menjadi PR (bagi gubernur),” kata dia.

Pemerintah provinsi memang memberikan subsidi bagi angkutan umum yang mereka kelola. Namun, bagi yang tidak, seperti angkot dan lain-lain masih harus berjuang sendiri.

Bahkan, kata Yayat, tak jarang mereka justru mensubsidi penumpangnya. “Kayak naik angkot, kalau masih anak sekolah dari harga Rp 4 ribu dikorting jadi Rp 2 ribu,” kata dia.

Sebenarnya, panelis mengharapkan ada jawaban yang menjawab permasalahan lebih luas seperti sikap terhadap angkutan umum berbasis aplikasi. Namun, hal tersebut masih tak tersentuh juga. Selain karena keterbatasan pertanyaan, juga karena paslon lebih memilih mengulang-ulang lagu lama.

“Dari (debat) awal belum berani keluar dari konsep lama. Tidak ada pola baru yang ditawarkan,” kata Yayat.

Keterlibatan warga

Meski demikian, Gun menilai debat kali ini lebih baik dibandingkan Pilkada DKI Jakarta 2012 karena masyarakat lebih dilibatkan. Perwakilan dari kelompok masyarakat bahkan dapat menanyakan secara langsung kepada para paslon tentang masalah yang melingkupi mereka.

“Tidak cuma (nonton) lewat tayangan, tapi dimunculkan di depan. Dan bukan simbolik saja, tapi bertanya juga,” kata dia. Konsep ini dapat menjadi pertimbangan bagi KPU untuk memperbaharui aturan soal debat.

Menurut dia, munculnya pertanyaan yang disampaikan langsung dari masyarakat ini seharusnya dapat menjadi sesi yang menarik. Lewat interaksi ini, pasangan calon dapat mengetahui secara langsung masalah apa saja yang menjadi perhatian warga mereka.

Sayangnya, para calon sudah keburu mengetahui proyeksi posisi mereka di kontes politik ini, sehingga momen yang seharusnya panas malah berlangsung adem. Bila dilangsungkan sejak debat putaran pertama, maka keadaan bisa berbeda.

“Harus dibiasain, partisipasi warga masyarakat agar menjadi bagian kontestasi,” kata dia. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!