Angka penggusuran di Jakarta meningkat pada 2016

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Angka penggusuran di Jakarta meningkat pada 2016
Pemerintah diminta menyusun langkah-langkah relokasi yang ramah HAM.

JAKARTA, Indonesia – Era pemerintahan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama seringkali diramaikan dengan berita penggusuran, atau yang lebih suka ia sebut dengan kata relokasi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat ada 193 kasus penggusuran selama tahun 2016.

Angka ini meningkat bila dibandingkan pada tahun 2015 lalu, di mana tercatat hanya 113 kasus. “Bisa jadi karena media lebih banyak memberitakan (penggusuran) 2016, bisa jadi karena pembangunan yang gencar, dan pemprov perlu lahan banyak untuk pembangunan itu,” kata pengacara publik LBH Jakarta Alldo Felix Januardy di kantornya pada Kamis, 13 April.

Meski angka peristiwanya meningkat, jumlah korban justru menurun. Dari 193 kasus yang tercatat, angka korban sebesar 5.725 keluarga dan 5.379 unit usaha. Selama 2 tahun, yakni 2015-2016, jumlah korban gusuran sudah mencapai 25.533 orang.

Beberapa orang yang digusur memang mendapat kompensasi unit rumah susun. Namun, apakah hal tersebut membuat mereka puas?

“Banyak yang setelah digusur malah tambah sulit ekonominya,” kata Alldo. Pemindahan ke rumah susun malah menambah masalah baru, terutama karena banyaknya yang kehilangan penghasilan.

Seperti misalkan, pedagang kaki lima (PKL) yang dipindahtempatkan. Saat proses penggusuran, properti mereka dihancurkan dan tidak diganti. Belum lagi kalau mereka dicap sebagai ilegal dan tidak mendapatkan kompensasi, dan hanya bisa gigit jari.

Penggusuran pemukiman juga memiliki dampak serupa. Tak selamanya rumah susun menjadi solusi.

Data LBH Jakarta pada Desember tahun lalu menyebutkan pendapatan mereka yang tinggal di rumah susun cenderung berkurang, karena kehilangan lapangan pekerjaan yang sebelumnya sudah dimiliki. Ironisnya, mereka justru mendapat beban pengeluaran baru berupa biaya sewa, transportasi, air, dan listrik. Rata-rata penambahan biaya melebihi Rp 300 ribu.

Mereka juga belum semuanya mendapatkan kompensasi berupa Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang dijanjikan Ahok. Sebanyak 59,8 persen dari 250 warga rusun yang ditanyakan mengaku belum memiliki kedua kartu tersebut.

Permasalahan ini belum mencakup fakta kalau tak semua warga gusuran berhak atas kompensasi. Mereka yang sudah kehilangan tanah, rumah, pekerjaan, dan tak mendapat ganti apapun hanya bisa gigit jari.

Melangkahi hukum

Salah satu yang terus menerus disoroti LBH Jakarta bila membahas penggusuran adalah hak-hak dasar dan prosedur hukum yang dilanggar. Terkait dengan standar relokasi –bukan penggusuran –ia merujuk pada Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) yang telah diratifikasi berdasarkan UU Nomor 11 tahun 2005.

Di situ, tertulis sebelum relokasi, warga harus mendapatkan pemberitahuan yang layak, dilibatkan dalam musyawarah, dan dipindahkan ke tempat yang baru. Lalu, saat penggusuran dilakukan pun harus tanpa intimidasi dan kekerasan, serta mengerahkan aparat secara proporsional.

Para warga gusuran juga harus dipenuhi kompensasinya secara layak, mendapatkan rumah ganti yang baik, serta harta bendanya tak dihancurkan. Sayangnya, tak semua unsur ini terpenuhi selama 2 tahun penggusuran  yang masif berlangsung.

Pertama-tama, dalam proses penggusuran, jumlah aparat seringkali melampaui warga ataupun unit usaha setempat. Hitungan LBH, perbandingannya mencapat 2,5 orang aparat dibanding satu warga.

Penempatan aparat yang berlebihan sering kali berujung pada tindak kekerasan yang tak perlu. Barang-barang warga juga sering hancur dan dirampas, tapa mendapatkan ganti rugi.

“Kami juga menyoroti prosedurnya saat penggusuran yang dianggap melanggar. Memang prosedur penggusurannya tidak partisipatif,” kata Alldo.

Berdasarkan studi, LBH menemukan 71 persen warga hunian tidak menyepakati daerah mereka untuk digusur, sementara 24 persen mengaku tidak tahu. Sedangkan untuk unit usaha, angkanya adalah 84 persen tidak sepakat dan 12 persen tidak tahu.

Pelanggaran prosedur ini juga terbukti lewat menangnya para warga saat menggugat penggusuran di pengadilan. Seperti misalkan, warga Bukit Duri yang yang permohonannya dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Penggusuran atas wilayah mereka dinyatakan tidak berdasar hukum.

Dengan adanya celah ini, sebenarnya penggusuran bisa dicegah, seperti yang dilakukan oleh warga Bidara Cina. Sayang, tak semua warga memiliki pengetahuan hukum atas hak mereka bila akan direlokasi.

“Masyarakat tidak tahu bagaimana, apakah yang dilakukan pemerintah provinsi ilegal atau tidak,” kata Kadiv Advokasi LBH Jakarta Yunita. Mereka juga tak dapat berbuat banyak karena surat pemberitahuan (SP) seringkali keluar dalam jangka waktu 11-15 hari sehingga sulit untuk menyusun argument gugatan.

HAM dalam merelokasi

LBH Jakarta merekomendasikan kepada pemerintah pusat untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang mengadopsi standar HAM tentang perlindungan dari penggusuran paksa. Kepada aparat penegak hukum seperti TNI dan Polri juga diminta tidak melibatkan anggota mereka dalam penggusuran.

“Kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pelaku pembangungan lain untuk menggunakan pendekatan partisipatif di dalam pembangunan dan merumuskan solusi pembangunan kota tanpa penggusuran paksa,” kata Alldo.

Hal ini penting diperhatikan, mengingat bila Jakarta tetap dipimpin Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat, penggusuran akan tetap berlangsung. Ahok selalu mengatakan akan tetap memindahkan pemukiman warga Jakarta yang berbatasan langsung dengan sepadan kali.

Dalam debat kemarin, Ahok dan Djarot mengakui kalau memang tak semua rumah susun memadai untuk ditinggali. Kekurangan masih ada, dan mereka berjanji akan memperbaikinya.

“Kita akan bongkar, semua yang 5 lantai, yang bocor-bocor, semua kita akan bongkar. Mau bangun 20 lantai,” kata dia seusai debat kemarin.

Namun, yang perlu dibenahi tak berhenti pada infrastruktur saja. Pemerintah provinsi, siapapun yang memimpin kelak, tetap harus menghargai prosedur hukum yang berlaku. Bukan kalah, lalu meradang dan tak mengindahkan putusan pengadilan. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!