Kenduri Tulak Bala: Ritual warga Aceh mengusir gajah liar

Habil Razali

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kenduri Tulak Bala: Ritual warga Aceh mengusir gajah liar
Karena mercon dan gajah jinak tak mempan mengusir gajah liar

KANDANG, Indonesia – Pria itu terus mengaduk-aduk isi dalam belanga besar. Kepulan asap dari tungku membuat matanya perih. Sesekali ia menyeka sudut mata dengan jemarinya yang keriput.

Senyum langsung  merekah melebar di wajahnya begitu melihat Rappler datang menghampiri. “Sedang masak kari kambing,” begitu jawabnya singkat sembari terus mengaduk. “Ada tiga ekor kambing disembelih.”

Sekitar lima meter dari tempat pria itu memasak, sekelompok pria lain melakukan hal yang sama. Seorang pria di antaranya bertugas mengaduk kuah kambing di dalam belanga. Sementara, tiga pria lain meringkuk menata kayu bakar di tungku agar api semakin membesar.

Pada saat yang sama beberapa tokoh masyarakat Kemukiman Kandang, Kecamatan Sakti, Pidie, Aceh, melantunkan zikir serta puji-pujian kepada Allah di atas sebuah balai kompleks kuburan Tgk Meureuhom Dikandang.

Kesibukan masyarakat pada Rabu, 19 April ini, tak lain untuk mempersiapkan kenduri ‘tulak bala’, ritual adat yang dilakukan dengan cara berzikir dan berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari musibah atau bala.

Musibah yang mereka tengah mereka hadapi adalah serangan kawanan gajah liar. Dalam dua pekan terakhir, gajah-gajah liar menggeruduk sawah, kebun, dan bahkan pemukiman warga. 

“Dengan menggelar kenduri seperti ini, kami berdo’a kepada Allah supaya gajah liar tidak lagi mendiami permukiman warga dan tidak mengganggu masyarakat,” kata Imam Mukim Kandang, Tarmizi Ismail, kepada Rappler. 

Tarmizi menambahkan sekitar 27 ekor gajah liar pertama sekali turun memasuki Desa Kandang sekitar dua pekan lalu. Kawanan gajah liar ini sebenarnya telah mendiami perkebunan produktif  warga di Pidie sejak Desember 2015.

Di Kandang, kawanan gajah liar tersebut bertahan dua pekan di kawasan hutan di sana. Selama itu, sebanyak empat Kepala Keluarga (KK) yang rumahnya berada di sekitar hutan desa itu terpaksa mengungsi.

Bahkan, pada Kamis malam, 13 April pekan lalu, seekor gajah liar betina melahirkan seekor bayi di hutan Desa Kandang. Tak pelak, upaya pengusiran pun terpaksa dihentikan sementara kala itu dikarenakan induk gajah yang semakin agresif.

“Kami menilai, respon pemerintah terhadap gajah liar yang mendiami permukiman penduduk ini sangat lamban,” ujar Tarmizi. 

Beruntungnya, Selasa, 18 April lalu, warga setempat dibantu polisi dan TNI serta pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh melakukan pengusiran terhadap ‘Po Meurah’ itu ke habitatnya di hutan.

“Kami berhasil mengusirnya ke hutan Gle Barat sejauh 3 kilometer,” ujar Tarmizi. Ia melanjutkan bahwa anak gajah liar yang lahir di kawasan Kandang turut dihalau bersama kawanan gajah lainnya.

Ke depan, kata Tarmizi, pihaknya bersama warga akan memfungsikan kembali lahan tidur yang selama ini ditinggalkan. Lahan tersebut berada di tidak jauh dari rumah penduduk. “Karena gajah selama ini mendiami lahan tersebut yang telah menjadi hutan,” katanya.

Sebelumnya, kenduri ‘tulak bala’ juga pernah digelar oleh warga Kecamatan Keumala pada Senin, 3 April 2017 di Desa Cot Seutui. Tujuannya pun sama, supaya konflik gajah dengan warga tidak lagi terjadi di sana.⁠⁠⁠⁠ 

Sebelumnya warga Pidie juga pernah menghalau kawanan gajah liar dengan mercon dan menurunkan gajah jinak. Namun cara-cara tersebut bukanlah solusi permanen, karena gajah-gajah liar kembali datang ke pemukiman.

Seekor gajah mati diracun

Foto sampel organ gajah yang diduga mati diracun. Foto oleh BKSDA Aceh/Habil Razali/Rappler

Konflik gajah liar dengan warga akhirnya memakan korban. Seekor gajah jantan berusia sekitar 25 tahun ditemukan tewas d Dusun Munte, Kampung Egkan, Gayo Lues, Aceh. Gajah tersebut diduga diracun.

Saat ditemukan, belalai gajah tersebut telah terpotong dan calik (gading berukuran kecil) hilang. Lokasi penemuan bangkai gajah ini di dekat perkebunan warga dan agak jauh dari permukiman.

Informasi kematian hewan berjulukan ‘Po Meurah’ itu pertama sekali diketahui pada Selasa, 18 April. Kemudian sehari berselang, tim pendahulu Resort Kutacane berhasil mencapai lokasi. Di sana mereka juga menemukan seekor bayi gajah yang diperkirakan berusia dua hingga empat tahun.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan kematian gajah itu diduga akibat racun. Dugaan itu diperkuat setelah tim yang terdiri dari dokter hewan, Mahout, pihak BKSDA serta didampingi polisi hutan dan aparat Polisi Sektor Pining mengotopsi bangkai gajah.

Hasilnya, tim menemukan cairan warna hitam di kotoran dan diyakini merupakan sisa racun yang termakan. “Kami telah ambil sampel hati, usus, limpa, kotoran usus, jantung dan dinding usus untuk dianalisa di lab supaya mengetahui sebab (kematian) pasti,” kata Sapto, Jumat, 22 April 2017.

Ia melanjutkan bangkai gajah jantan itu ditemukan dalam kondisi yang mulai membusuk dan gading telah hilang serta belalai dipotong. Bahkan, kata Sapto, kepala gajah juga dibelah. “Kondisi (gajah) tidak hanya dipotong belalai, tapi dibelah kepala,” ujar Sapto.

Hasil pantauan tim BKSDA, Jumat kemarin, bayi gajah yang sebelumnya dilaporkan menunggu di sekitar bangkai gajah telah tiada. “Anak gajah sudah tidak ada, kemungkinan besar bertemu kembali dengan rombongan gajah sehingga sudah ikut mereka,” kata Sapto.⁠⁠⁠⁠ —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!