Kasus suap jabatan, Bupati Sri Hartini diduga terima Rp 9,7 M

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kasus suap jabatan, Bupati Sri Hartini diduga terima Rp 9,7 M
Sri Hartini diduga menerima gratifikasi dari pegawai pemerintahan hingga kepala desa

SEMARANG, Indonesia — Bupati Klaten nonaktif, Sri Hartini menjalani, sidang perdana dakwaan kasus suap penataan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) di Pengadilan Tipikor Semarang, Jawa Tengah, pada Senin 22 Mei.

Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Tipikor Antonius Widjantono, Sri Hartini didakwa menerima gratifikasi dan uang suap hingga miliaran rupiah.

“Saudari Sri Hartini saat menjabat Bupati Klaten melakukan perencanaan menerima gratifikasi serta uang imbalan dalam program penataan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) tahun anggaran 2016 dan 2017 di lingkungan Pemkab,” kata Antonius di persidangan.

Ia mengatakan nilai suap yang diberikan kepada Sri Hartini bervariasi tergantung kenaikan pangkat yang diinginkan oleh tiap pegawai negeri sipil. Ia pun menyebut bahwa uang suap itu sebagai dana syukuran karena tiap pegawai telah diberi kenaikan pangkat.

Ia mengatakan seorang pegawai bernama Suwito yang menjabat sebagai Sekretaris Pemkab Klaten menjadi perantara penerimaan uang suap.

“Ada permintaan kepada Suwito untuk mengumpulkan uang syukuran yang diusulkan oleh Bupati. Misalnya, saat Suryanto diusulkan jadi Kabid Bina Marga dan Beni Agustina naik pangkat jadi Kabid Jembatan Bina Marga, keduanya diminta menyetorkan uang kepada Bupati,” ungkapnya.

Selain itu, Sri Hartini juga kedapatan menerima sejumlah uang suap lainnya dari puluhan pegawai negeri. Ia menyatakan total nilai suap yang berada ditangan Sri Hartini mencapai Rp 2,94 Miliar.

Diluar kasus suap, hakim menyatakan Sri Hartini juga melakukan gratifikasi dengan total nilai mencapai Rp 9,17 Miliar.

Kerugian negara Rp 12 M

Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Avni Carolina lantas membeberkan secara gamblang gratifikasi yang dilakukan sang bupati.

Menurutnya, gratifikasi tersebut berasal dari ratusan kepala desa, guru-guru dan pegawai Dinas Pendidikan yang berkaitan dengan berbagai hal di bidang pemerintahan.

“Gratifikasi diterima Sri Hartini dari 148 kepala desa berkaitan dengan pengelolaan dana bantuan keuangan desa. Seorang kepala desa mengaku memberi dana setoran mulai Rp 7,5 juta hingga Rp 200 juta,” jelasnya. “Namun dalam pemberian gratifikasi sama sekali tidak melaporkan kepada KPK.” 

Jaksa mendakwa Sri Hartini melanggar Pasal 12a Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dan ditambahkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kemudian dalam dakwaan kedua yang bersangkutan dijerat Pasal 12b Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dan ditambahkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Total kerugian negara akibat tindakan gratifikasi dan suap jabatan mencapai Rp 12 Miliar dan terdakwanya hanya satu atas nama Sri Hartini,” paparnya.

Sri Hartini dikenai dakwaan dengan perbuatan berlanjut karena sudah berulang kali menerima uang syukuran dan gratifikasi dari tiap pegawai maupun kepala desa. “Dua dakwaan itu akan kami buktikan di sidang,” katanya.

Menurutnya dalam sidang kasus suap jabatan terdapat hampir 500 saksi yang bersedia hadir. Akan tetapi, ia mengaku akan memilah nama-nama yang dianggap krusial dengan alasan memperpendek waktu persidangan. “Dalam berkas ada 500 orang tapi akan dipilah dan tidak seluruhnya,” ujarnya.

Usai mendengar dakwaan jaksa, Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini mengatakan tidak akan mengajukan eksepsi. “Saya tidak akan mengajukan eksepsi bapak hakim, karena dirasa tidak perlu melakukan upaya tersebut,” sergahnya.

Didampingi dua tim pengacara

Deddy Suwadi, kuasa hukum Sri Hartini menilai dakwaan jaksa kurang tepat. Sebab, kliennya selama menjabat sebagai bupati tergolong sangat pasif.

“Padahal yang tahu kenaikan pangkat kan dari BKD, tapi kenapa malah ditimpakan kepada bupati. Itu juga (tindakan suap-menyuap jabatan) sudah jadi tradisi lama di Klaten,” katanya.

Deddy menambahkan ada dua tim kuasa hukum dari Jakarta dan Kota Gudeg Yogyakarta yang mendampingi kliennya.

Ia menerangkan kliennya kemungkinan masih akan menjalani pemeriksaan lanjutan dari KPK lantaran statusnya sebagai terdakwa suap jabatan yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh lembaga antirasuah. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!