Obama berbagi kisah di balik Kesepakatan Paris soal perubahan iklim

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Obama berbagi kisah di balik Kesepakatan Paris soal perubahan iklim

ANTARA FOTO

Indonesia perlu belajar dari kesalahan negara barat dalam hal pembangunan yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup

JAKARTA, Indonesia –  Presiden Ke-44 Amerika Serikat Barack Obama mengibaratkan peduli perubahan iklim (climate change), seperti peduli mengurus tubuh kita.  

“Terasa sangat enak saat ini ketika menyantap sepotong besar kue, kemudian dilanjutkan merokok. Tapi jika kamu lakukan itu secara terus-menerus, kamu akan membayar harganya,” kata Obama, menjawab pertanyaan moderator Dino Patti Djalal tentang apakah ada Plan B, usai Pemerintah AS di bawah Presiden Donald J. Trump memutuskan menarik diri dari Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim.

Menurut Obama, Indonesia akan membayar harga yang mahal jika tidak bekerjasama untuk memenuhi komitmen Kesepakatan Paris. Indonesia, kata Obama, adalah negara yang rentan terhadap perubahan iklim, lebih dibanding kebanyakan negara lain. 

“Bayangkan jika yang terjadi di Aceh (tsunami, red), terjadi dengan frekuensi lebih sering? Akan lebih sulit untuk membangun kembali dan harga yang ditanggung rakyat akan sangat berat,” ujar Obama, ketika menjadi pembicara di acara Konvensi Diaspora Indonesia, di Jakarta, Sabtu, 1 Juli. 

Presiden Obama menjadi salah satu  tokoh kunci yang mendorong tercapainya Kesepakatan Paris oleh 195 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Konferensi Perubahan Iklim, 13 Desember 2015. (BACA: 5 Poin Kesepakatan Paris untuk perubahan iklim yang perlu kamu tahu)

Obama mengatakan meskipun pemerintahan AS saat ini menyatakan mundur, secara teknis hal itu belum bisa direalisasikan. Selain itu, setiap perubahan atas apa yang sudah diputuskan oleh administrasi pemerintahan Obama, masih berlanjut dan tidak bergantung kepada kebijakan pemerintah federal.  

Dia memberikan contoh negara bagian California, yang notabene secara ekonomi bisa menjadi negara ketujuh terbesar di dunia jika menjadi negara terpisah. Mereka sangat agresif dalam pendekatan emisi kendaraan dan mobil.

“Ketika menjabat presiden, saya menaikkan standar efisiensi kebutuhan bahan bakar.  Produsen mobil yang besar-besar di AS mulai memenuhi standar itu. Bahkan jika administrasi saat ini bilang, tidak perlu penuhi standar itu, mereka akan tetap memenuhi aturan sampai beberapa tahun ke depan,” ujar Obama.

Menurut Obama, California sudah menyatakan tidak mau turunkan standar.  Jadi, siapapun produsen yang mau menjual produknya di kawasan itu, harus penuhi standar negara bagian meskipun pemerintahan federal memilih kembali ke posisi sebelumnya.  

Hal serupa terjadi dengan penggunaan energi tenaga matahari (solar). Obama mengaku meningkatkan penggunaan energi tenaga matahari 10 kali lipat dibandingkan saat dia memulai pemerintahan.  Biaya penggunaan tenaga listrik turun signifikan.

Di depan ribuan peserta Kongres Ke-4 Diaspora Indonesia dan tamu undangan, Obama juga membuka cerita di balik layar perundingan Kesepakatan Paris yang sempat molor beberapa jam dari jadwal semula.  Secara internasional, saat itu yang paling sulit diyakinkan untuk ikut Kesepakatan Paris adalah India.  

“Saya paham mengapa PM (Narendra) Modi resisten. Meskipun India sukses mengembangkan kelas menengah dan sektor teknologi, ratusan juta rakyatnya belum punya akses (terhadap) listrik,” tutur Obama.

Obama kemudian membujuk PM Modi, agar memilih jalur lompatan dari produksi energi cara lama (fosil), langsung ke energi terbarukan. Momen Kesepakatan Paris menjadi awal yang baik bagi India.  

“Faktanya, sejak ikut menandatangani Kesepakatan Paris, India justru menambah target emisi karbonnya. Mengapa? Karena biaya energi tenaga matahari menjadi jauh lebih murah dibandingkan yang kita perkirakan dua tahun lalu,” cerita Obama.

Bagi mereka yang merasa putus harapan gara-gara Presiden Trump membawa AS mundur dari Kesepakatan Paris, Obama mengajak bersikap optimistis.  Banyak yang bisa dikerjakan bersama.  

“AS adalah sebuah ekonomi yang besar dan penuh kompleksitas. Jika di level pemerintahan federal kebijakan yang dimandatkan sebelumnya ditarik, setidaknya dalam jangka pendek, masih banyak industri, perusahaan dan individu yang percaya bahwa energi bersih adalah energi masa depan,” ujarnya. 

Presiden dari Partai Demokrat yang menjabat selama dua periode itu berharap Indonesia belajar dari kesalahan pembangunan yang dilakukan negara-negara di barat, termasuk di AS, berkaitan dengan pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan hidup. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!