KPI: Pernikahan anak masih tinggi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

KPI: Pernikahan anak masih tinggi
Setiap tahunnya, hampir 1 juta anak menjadi korban

JAKARTA, Indonesia – Perkawinan anak masih menjadi masalah anak-anak disoroti di Indonesia. Setiap tahunnya, hampir 1 juta anak menjadi korban.

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) merujuk pada data Badan Pusat Statisitik (BPS) yang dirilis pada 2015. Pada tahun 2012, sebanyak 989.814 anak sudah menikah; sementara pada tahun 2013 tercatat 954.518 anak; tahun 2014 722.518 anak; dan pada tahun 2015 menjadi sekitar 750 ribu anak.

Namun Sekretaris Jenderal KPI Dian Kartikasari memperkirakan angka sebenarnya yang tak terdata bisa tiga kali lebih besar daripada yang ada di KUA. ”Karena tidak ada kewajiban bagi para pihak yang mengawinkan secara tidak tercatat untuk melaporkan,” kata dia di Jakarta pada Ahad, 23 Juli 2017.

Alasan para orang tua cepat-cepat menikahkan anak karena alasan ekonomi. Dian mencontohkan di Jawa Barat, anak-anak yang sudah menginjak usia SMP akan segera dinikahkan dan setelah bercerai berangkat sebagai buruh migran.

Tak mengherankan bila provinsi tersebut kemudian menjadi daerah dengan angka perkawinan anak tertinggi; disusul Jawa Timur, Madura, Jawa Tengah, NTB, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, dan Riau.

Selain ekonomi, alasan moralitas juga membuat orang tua tak ingin anaknya lajang terlalu lama. “Mereka takut bakal free sex dan lain-lain,” kata Dian.

Selain itu, sebagian kecil adalah korban perkosaan yang dinikahkan dengan pelakunya. Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin mengatakan tindakan ini malah semakin merumitkan masalah sekaligus melanggengkan budaya perkosaan.

“Dikiranya dengan menikahkan maka sudah selesai masalahnya. Tidak, seharusnya dipidanakan, masyarakat harus berani memidanakan,” kata dia.

Lamban menindak

Upaya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memerangi perkawinan anak sudah berlangsung lama. Tahun 2014, Zumrotin mengajukan uji materi Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasal tersebut mengatur usia perkawinan anak-anak, di mana perempuan minimal harus berusia 16 tahun. Ia meminta supaya batas minimal menjadi 19 tahun. Namun, MK memutuskan untuk menolak permohonan tersebut, dengan alasan dalil-dalil yang diajukan pemohon tidak beralasan menurut hukum

Namun, dari sembilan hakim konstitusi yang memutuskan perkara ini, ada satu pendapat berbeda (disenting opinion) dari hakim Maria Farida Indrati. Ia menginginkan supaya permohonan tersebut dikabulkan.

Setelah gagal, tahun ini uji materi yang sama kembali diajukan. Tim masih menunggu keputusan Sidang Pleno Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengetahui apakah permohonan uji materi diterima atau tidak.

Supriyadi Eddyono dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) selaku tim kuasa hukum berharap sidang kali ini tidak bernasib sama seperti sebelumnya. Harapan muncul dari adanya perubahan susunan hakim konstitusi.

“Minimal pendapatnya bisa lebih beragam, karena sejujurnya sudah tidak ada lagi untungnya mempertahankan perkawinan anak,” kata Eddy. Setidaknya, kali ini pendapat berbeda diharapkan tidak begitu jomplang dibanding sebelumnya.

Selain uji materi, koalisi juga mengajukan rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak pada tahun 2016. 

Muatannya disusun bersama dengan Deputi V Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan telah diserahkan ke Kantor Staf Presiden. Namun, sejak desember 2016 lalu, masih belum ada kejelasan sikap Presiden Joko “Jokowi” Widodo terkait isu ini.

“Beda dengan kekerasan seksual, pemerintah lambat dalam menghadapi isu ini,” kata Dian. Ia memaklumi karena seringkali isu ini mendapatkan perlawanan dari kelompok agama radikal.

Alasan yang paling sering digunakan adalah ‘karena di Al-Qur’an tidak diatur, maka UU juga tidak perlu mengatur usia minimal perkawinan.’ Karena itulah KPI mulai mendekati kelompok-kelompok keagamaan untuk mengubah paradigma ini.

Pendekatan lebih banyak dilakukan pada kelompok-kelompok di tingkat kabupaten kota supaya lebih mudah menyentuh masyarakat. Ia dan Zumrotin juga banyak menyebarluaskan tafsir-tafsir keagamaan yang mendukung pematangan fisik dan mental anak sebelum pernikahan.

Salah satu yang dicontohkan Zumrotin adalah tafsir dari Quraish Shihab. “Ia pernah menafsirkan kalau matang atau akhil baligh itu bukan cuma fisik. Kalau perempuan matang itu kan saat sudah menstruasi, dan bisa saja anak usia 8 tahun menstruasi. Apa itu sudah dewasa? Belum. Tapi ada juga akhil atau akal, yang artinya dewasa juga secara pemikiran, ini yang sering dilupakan,” kata dia.

Ia berharap pemerintah bisa cepat mengambil tindakan pencegahan, karena isu ini sudah mendapat sorotan dunia sejak lama. Beruntung, perlahan-lahan pemerintah daerah sudah mulai mengeluarkan larangan perkawinan anak.

Beberapa di antaranya adalah lewat Peraturan Bupati Gunungkidul Nomor 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak yang keluar 24 Juli 2015 dan Surat Edaran Gubernur NTB nomor 150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Aturan-aturan tersebut merekomendasikan usia perkawinan anak baik lelaki maupun perempuan minimal 21 tahun.

“Kalau di daerah mungkin karena terasa langsung dampaknya jadi penanganan cepat. Kalau pusat kan pertimbangan politiknya banyak, mungkin pemerintah takut tidak populer atau banyak dikritik,” kata Dian.

Sebelumnya, BPS dan UNICEF merilis laporan yang menemukan angka perkawinan usia anak atau di bawah 18 tahun adalah sebanyak 23 persen. Atau, setidaknya satu dari lima perempuan berusia 20-24 tahun yang sudah menikah melakukan pernikahan pertama sebelum berusia 18 tahun. -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!