Syarat dapat KTP Elektronik, Jemaah Ahmadiyah diminta membaca syahadat

Muhammad Harvan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Syarat dapat KTP Elektronik, Jemaah Ahmadiyah diminta membaca syahadat
"Persyaratan ini tidak ada dasar hukumnya dan seharusnya tidak boleh diterapkan."

JAKARTA, Indonesia – Sekitar 1600 anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tinggal di Desa Manis Lor Kuningan Jawa Barat, mengeluhkan proses birokrasi penerbitan KTP Elektronik yang diskriminatif dan  bertentangan dengan konsep adiministrasi oleh pemerintah Kabupaten Kuningan. 

Pasalnya, pemerintah setempat mensyaratkan bagi warga Ahmadiyah Manis Lor untuk menandatangani sebuah surat pernyataan bermaterai yang berisi pengakuan bahwa mereka beragama Islam dan mau secara sungguh-sungguh mengucapkan kalimat syahadat sebelum KTP Elektronik mereka dapat diterbitkan.

Ditemui di kantor Ombudsman RI, perwakilan Jemaah Ahmadiyah Manis Lor mengadukan praktek mal-administrasi ini ke pihak Ombudsman. Mereka meminta Ombudsman untuk bisa memberikan surat rekomendasi atas permasalahan ini. 

“Kami berharap Ombudsman dapat membantu mempercepat harapan dan keinginan kami untuk mendapatkan KTP Elektronik sesuai dengan peraturan yang ada,” ujar Irfan Maulana, mubalig Pembina JAI saat proses pertemuan berlangsung.

Perwakilan JAI juga mengungkapkan kesulitan yang mereka dapatkan karena KTP Elektronik mereka tidak kunjung diterbitkan. Sebab, tanpa KTP Elektronik, mereka tak bisa mengakses fasilitas publik, sulit mengurus pernikahan, tak bisa membuat BPJS, fasilitas transportasi, hingga akses ke fasilitas pendidikan yang mensyaratkan kepemilikan TKP.

Ahmad Sobirin, selaku asisten Ombudsman, menjelaskan telah menerima laporan ini sejak Desember tahun lalu dan semenjak saat itu pihaknya telah melakukan koordinasi terkait permasalahan ini dengan Kementerian Dalam Negeri dan dinas Dukcapil serta pemerintah setempat, termasuk dengan Acep Purnama yang merupakan Bupati Kuningan saat ini.

Pertemuan terakhir yang dilakukan 2 minggu lalu antara pihak Ombudsman dengan pemerintah  setempat menghasilkan kesimpulan bahwa seluruh KTP Elektronik yang belum diterbitkan harus segera diterbitkan. 

Namun sayangnya, hasil dari pertemuan ini belum terealisasikan. Dan parahnya, pihak JAI mengaku dalam sebuah pertemuan dengan pihak Dukcapil Kabupaten Kuningan, alih-alih mendapatan KTP Elektronik, pihak JAI malah disodori sebuah surat pernyataan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai syarat terbitnya KTP Elektronik.

Ahmad Sobirin menilai tindakan yang dilakukan oleh Dukcapil dan pemerintah Kabupaten ini sebagai tindakan yang bertentangan dengan praktek administrasi yang baik, serta bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang menjamin hak warga negaranya.

“Persyaratan ini tidak ada dasar hukumnya dan seharusnya tidak boleh diterapkan karena melanggar hak warga negara terkait administrasi kependudukan yang dijamin oleh konstitusi,” ujar Ahmad Sobirin.

Asisten Ombudsman ini juga menyayangkan alasan persyaratan yang diterapkan oleh pemerintah Kabupaten Kuningan ini merujuk pada fatwa MUI tahun 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan bagian dari Islam, sehingga tidak bisa menerbitkan KTP Elektronik untuk Jemaah Ahmadiyah yang di kolom agamanya tertulis “Islam”.

Menurutnya dalam urusan ini, fatwa MUI tidak bisa dijadikan rujukan karena MUI bukan lembaga negara yang memiliki produk konsideran. Sedangkan terkait penerbitan KTP Elektronik ini adalah mutlak urusan administrasi negara. “Tidak bisa itu dijadikan dasar oleh Pemkab. Beragama itu urusan seseorang dengan Tuhan, bukan dengan pemerintah,” tambah Ahmad.

Alasan tekanan pihak eksternal

Dalam sebuah sesi wawancara, Dessy (28), salah satu perwakilan jemaah Ahmadiyah Manis Lor mengungkapkan pemberlakuan persyaratan penandatanganan surat pernyataan tersebut dikarenakan pihak Dukcapil mengklaim mendapatkan tekanan dari ormas tertentu.

Namun, Dessy sendiri mengatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir, tidak pernah ada insiden yang menyiratkan ancaman datang dari ormas terhadap pihak pemerintah. 

Dirinya pun mengklaim bahwa tidak ada perlakuan berbeda yang didapatkan oleh jemaah Ahmadiyah dari warga lainnya disekitar Desa Manis Lor maupun kecamatan Jalaksana dan sekitarnya.

Sekretaris Umum Yayasan Satu Keadilan, Syamsul Alam, juga mengatakan bahwa alasan ini juga disampaikan oleh Bupati Kuningan Acep Purnama saat pertemuan antara Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri dengan Ombudsman RI guna membahas dinamika sosial yang mempengaruhi proses penerbitan KTP Elektronik untuk jamaah Ahmadiyah. 

Namun menurut Syamsul, tekanan ormas ini tidak perlu dijadikan kekhawatiran, apalagi alasan untuk menerapkan persyaratan tersebut. “Sebenarnya alasan itu harus diukur sampai sejauh mana ormas tertentu menekan. Saya melihat tidak ada situasi (penekanan) yang terjadi. Kalau ada ancaman masak neara tunduk sama ormas intoleran,” ujar Syamsul.

Jika melihat sejarahnya, jemaah Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan Jawa Barat memang sempat beberapa kali menerima perlakuan diskriminatif seperti tuntutan pelarangan kegiatan ibadah, penyegelan tempat ibadah, hingga tuntutan pembubaran dari ormas-ormas yang berafliasi dengan agama tertentu. Bentrokan pun pernah terjadi antara Jemaah Ahmadiyah dengan ormas tersebut pada tahun 2010 lalu.

Diskriminatif dan memaksakan

Perwakilan jemaah Ahmadiyah Manis Lor menilai penerapan persyaratan ini sarat akan unsur diskriminasi dan pemaksaan. Pasalnya persyaratan ini hanya diberlakukan di Kuningan dan khusus untuk jemaah Ahmadiyah.

Seluruh jemaah Ahmadiyah Manis Lor belum ada satupun yang menandatangani surat pernyataan yang disodorkan oleh pihak Dukcapil dan secara tegas melakukan penolakan terhadap pemberlakuan persyaratan tersebut.

Syamsul Alam menilai kebijakan yang diakukan Dukcapil ini merupakan tindakan pidana karena memiliki unsur pemaksaan kehendak. Terlebih, tidak sepatutnya sebuah lembaga negara yang memiliki tugas untuk melayani setiap warganya tanpa pandang bulu menerapkan kebijakan diskriminatif seperti itu.

“Ini sudah bisa dibilang tindakan pidana, ini kejahatan pemaksaan. Harusnya tidak ada basa-basi lagi, apa lagi yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan, dan beribadah yang diatur dalam konstitusi,” ujar Syamsul.

Penerapan persyaratan ini berujung pada pertemuan lanjutan yang diinisiasikan oleh JAI dan Yayasan Satu Keadilan dengan pihak Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri pada Senin, 24 Juli 2017.

Pihak JAI menawarkan solusi sekaligus meminta Dirjen Dukcapil untuk menerbitkan 1600 TKP Elektronik untuk jemaah Ahmadiyah Manis Lor melalui Dukcapil wilayah Jakarta, sebagai alteratif penerbitan dari wilayah Kuningan yang tidak memungkinkan. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!