Susahnya mantan teroris kembali ke masyarakat

Amir Tedjo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Susahnya mantan teroris kembali ke masyarakat
Selain masih adanya stigma negatif, masalah ekonomi juga butuh penyelesaian

 

LAMONGAN, Indonesia — Meski masih pagi, namun sinar matahari sudah menyengat, membuat dahi dan tubuh Yoyok Edi Sucahyo basah dengan keringat. Pagi itu ia baru saja usai melakukan gladi bersih upacara peringatan kemerdekaan RI. 

Upacara ini dilaksanakan di samping Masjid Baitul Muttaqien. Letaknya tak jauh dari sekretariat Yayasan Lingkar Perdamaian Solokuro, Tenggulun Lamongan pada 17 Agustus kemarin. Hari itu Yoyok bertugas sebagai komandan upacara.

Berkali-kali polisi dari Polres Lamongan meminta Yoyok untuk duduk beristirahat, karena upacara sesungguhnya masih belum dimulai. Namun Yoyok tak kuasa untuk menolak permintaan wartawan untuk wawancara. 

Hari itu, Yoyok memang menjadi salah satu “bintang” dalam upacara peringatan 17 Agustus yang diselenggarakan oleh Yayasan Lingkar Perdamaian.

Yoyok alias Broyok pernah terlibat dalam jaringan terorisme. Pria asal Tenggulun, Solokuro, Lamongan ini adalah santri angkatan pertama Pondok Pesantren Al-Islam, tahun 1991. Dia adalah murid dari Ustadz Abu Faris yang sekarang menjadi komandan di Suriah. 

Meski pernah terlibat dalam jaringan teroris, namun Yoyok enggan menceritakan perannya dulu saat terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia. Dia kini aktif di Yayasan Lingkar Perdamaian bersama dengan ustad Ali Fauzi. Dalam yayasan ini, dia aktif menjangkau teman-teman ikhwan untuk diajak kembali ke pangkuan RI.

Terakhir, dia datang ke Lapas Porong Sidoarjo. Di sana ada teman-teman mantan teroris lain yang sedang menjalani hukuman. Termasuk di dalamnya Umar Patek. “Awalnya kami ingin memberikan burung kenari kepada Umar Patek untuk diternakan. Tapi tidak  jadi, karena kamarnya tak memadai untuk berternak kenari,” kata Yoyok.

Tapi, meski urung memberikan burung kenari untuk diternak, Yoyok bersyukur karena ternyata Umar Patek sudah memiliki usaha buka warung. Bahkan Umar Patek sudah mempunyai anak buah untuk menjalankan warungnya itu.

Soal mengunjungi teman mantan teroris yang masih ada di penjara, kata dia merupakan bagian kegiatan Yayasan Lingkar Perdamaian. Tujuannya adalah, mencegah mereka kembali ke komunitas lamanya setelah bebas sekaligus saling menguatkan. 

Karena tak jarang para mantan teroris ini menerima stigma buruk dari lingkungan karena bekas teroris. Oleh karena tak diterima oleh lingkungan, para mantan teroris ini pun kembali ke komunitas lamanya.

Namun Yoyok termasuk yang beruntung. Karena begitu jalani tahanan dia merasa bisa langsung diterima warga sekitar Tenggulun, Lamongan. “Kalau di sini, sudah welcome kepada para mantan teroris,” kata Yoyok.

Tapi tak semua mantan teroris bisa diterima baik oleh lingkungannya seperti yang dialami Yoyok. Sofyan Tsauri salah satunya. Dia mantan anggota polisi yang masuk dalam jaringan Al-Qaeda. 

Sofyan sempat  dihukum selama 10 tahun penjara. Keluar dari penjara nasibnya tak begitu baik. Dia merasa tak diterima di lingkungan sekitar. Penyebabnya karena statusnya sebagai mantan teroris.

“Pernah dalam setahun saya harus berpindah lima kali kontrakan rumah di Depok. Saya diusir warga karena mantan teroris. Sempat kepikiran ledakan saja biar mereka kaget,” kata Sofyan saat hadiri ikrar setia para mantan teroris kepada NKRI, 21 Juli lalu di Tenggulun, Solokuro Lamongan.

Itu baru persoalan tempat tinggal. Dalam urusan pekerjaan Sofyan mengaku kesulitan mencari pekerjaan. Padahal para mantan teroris itu juga punya anak istri yang harus mereka nafkahi. 

Saat akan mencari pekerjaan, para mantan teroris selalu terbentur dengan syarat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Katanya, sulit bagi seorang mantan teroris untuk mendapatkan SKCK dari kepolisian.

“Kita para mantan teroris tak minta duit, tak minta program kepada pemerintah. Kita hanya minta SKCK. Karena sulit mengurus SKCK, perusahaan mana sekarang yang tidak mensyaratkan SKCK,” kata dia.

Kata dia, di sanalah negara perlu hadir untuk membantu para mantan teroris. Karena jika dibiarkan saja setelah keluar dari penjara, besar kemungkinan para mantan teoris ini akan kembali ke komunitas lamanya. 

Dia juga sangat mendukung akivitas Yayasan Lingkar Perdamaian yang melakukan pemberdayaan dan pendampingan kepada para mantan teroris.

Kata dia, banyak juga para mantan teroris yang tak up to date dengan gerakan Al Qaeda. Kata Sofyan, setelah Usama bin Laden tewas tertembak, ternyata dia meninggalkan banyak surat. 

Surat-surat itu ditujukan kepada amir-amir Al-Qaeda di seluruh dunia ini. Surat-surat ini di kemudian dikenal sebagai Letters from Abbottabad. Letters from Abbottabad menurut Sofyan, intinya adalah evaluasi besar-besaran Usama bin Laden kepada para ikhwan-ikhwan yang dianggap salah dalam merencanakan amaliyah. 

Mereka dianggap tak memikirkan darah-darah kaum muslimin yang menjadi korban. Para ikhwan pelaku amaliyah ini dianggap terlalu berlonggar-longar dalam urusan darah. 

Akhirnya, Al-Qaeda cuma dikenal sebagai pembunuh darah dingin yang mengabaikan darah-darah kaum muslimin. “Itulah kenapa jihad kita tak pernah mendapatkan kemenangan di mata umat Islam,” kata Sofyan.

Soal stigma negatif masyarakat terhadap mantan teroris itu juga dirasakan Muhammad In’am. Meski tak terkait langsung dengan gerakan terorisme, namun In’am sempat dianggap penyandang dana bom Bali yang dilakukan oleh Amrozi cs. In’am dan Amrozi adalah teman dekat bahkan ada hubungan kerabat. Bedanya In’am tinggal di Desa Payaman, sedangkan Amrozi di Desa Tengglun.

Saat Bom Bali terjadi In’am termasuk pengusaha muda yang sukses. Sejak lulus kuliah 2001, dia sudah memiliki usaha kontraktor dan bahan galian C. Namun semua bisnisnya itu tumbang setelah Amrozi ditangkap. 

“Gara-garanya ada yang mengisukan saya sebagai penyandang dana Amrozi. Padahal tidak. Bahkan sejak dulu saya juga sudah tidak setuju dengan pemahaman mereka,” ujar In’am.

Ia pun merangkak kembali mendirikan usaha. Kali ini dia mendirikan usaha kedai yang ia beri nama Gandroeng Coffee. Letaknya di Caturtunggal, Kecamatan. Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Usaha milik In’am kini termasuk sukses. Dalam sehari dia bisa menghabiskan 7 kg kopi dibantu 20 orang karyawan untuk melayani tamu.

Namun In’am kembali diterpa cobaan. Pada tahun 2014, dia mendapatkan kabar jika adiknya Wildan Mukhollad, dikabarkan menjadi pelaku bom bunuh diri di Irak. Wildan adalah anggota pasukan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). 

Wildan adalah alumni Pondok Pesantren Al Islam Tenggulun, Lamongan. Dia kemudian melanjutkan kuliah di Al Azhar Mesir. Saat di Mesir itu, Wildan diduga terpengaruh dengan ISIS. “Keluarga kembali guncang dengan kabar itu. Namun tak separah sebelumnya,” ujar In’am.

In’am kini sering dimintai bantuan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk menjadi motivator bagi para mantan teroris. Dia dianggap sebagai contoh model yang sukses bangkit karena terorisme.  

Kata In’am setiap kali yang dicurhatkan oleh para mantan teroris saat bertemu adalah masalah ekonomi. Kata dia, secara ideologi sebenarnya steril dari kekerasan, namun masalah ekonomi belum menemukan jalan keluar.

“Kita motivasi  untuk tetap berusaha. Apalagi BNPT mulai mau membantu sudah mencarikan dana. Mereka itu terbiasa dikasih oleh pemimpinnya, oleh kelompoknya. Jadi ketika tak ada yang kasih uang ya, sulit,” ujar In’am. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!