Penutupan patung Dewa Kongco dinilai mencederai ajaran Gus Dur

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Penutupan patung Dewa Kongco dinilai mencederai ajaran Gus Dur
"Sangat disayangkan bila patung yang sedemikian megahnya malah jadi sasaran kemarahan segelintir orang."

SEMARANG, Indonesia — Kontroversi patung dewa Kongco Kwan Sing Tee Koen yang berdiri di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban, Jawa Timur, sangat disayangkan sejumlah pihak.

Patung setinggi 30 meter yang berdiri di halaman belakang Klenteng Kwan Sing Bio (KSB) Tuban akhirnya ditutup kain setelah mendapat protes dari sejumlah ormas keagamaan di kota tersebut.

Beberapa seniman patung yang ada di Kota Semarang menyayangkan sikap ormas keagamaan dan Pemerintah Kabupaten Tuban atas sikap mereka  dalam menyikapi patung tersebut.

“Sangat disesalkan jika nilai-nilai kearifan lokal dan karya seni patung dicederai begitu saja,” kata Sutikno saat menghadiri acara diskusi terbuka bertajuk ‘Patung: Antara Seni, Budaya dan Agama’ di Semarang,  Selasa 22 Agustus.

Ia mengatakan bagi sebagian masyarakat Indonesia, patung sering dijadikan sarana penghantar doa kepada Tuhan. Ia yang telah menggeluti seni patung sejak puluhan tahun juga memahami bahwa ada tiga simbol yang dapat dipelajari pada sebuah patung.

Sebuah patung, kata Sutikno menggambarkan simbol semangat, keteladanan serta cerita-cerita mitologi. Hal serupa pula yang dapat ditemukan dengan mudah pada patung-patung milik warga Khonghucu.

“Makanya, sangat disayangkan bila patung yang sedemikian megahnya malah jadi sasaran kemarahan segelintir orang. Padahal patung bagi warga Khonghucu dianggap sangat sakral,” paparnya.

Bila berkaca pada kasus mangkraknya patung Baruklinting hasil karyanya, maka ia pun khawatir jika hal yang sama bakal menimpa patung dewa Khongco di Tuban.

Ia mendorong kepada Pemkab Tuban agar bijaksana dalam menyelesaikan polemik pendirian patung setinggi 30 meter itu.

“Jangan sampai kebijakan justru menimbulkan kerugian bagi warga Khonghucu apalagi merusak mahakarya bernilai seni tinggi,” lanjutnya.

Sementara itu, peneliti Lembaga Studi Agama Semarang (eLsa) Khoirul Anam mengimbau kepada masyarakat agar memberikan perhatian lebih untuk menyelesaikan kasus patung Khongco.

Menurutnya sekelompok orang yang menentang pendirian patung Khongco terinspirasi dari ulah militan ISIS dan Thaliban yang merusak patung Harun Al Rasyid di Syiria.

Peserta diskusi 'Patung, antara Seni, Budaya, dan Agama' di Semarang, Selasa (22/8). Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler

“Munculnya kasus ini pasti berhubungan dengan apa yang dilakukan ISIS dan Thaliban di Syiria. Jika ulah mereka dibiarkan, kami khawatir perusakan patung akan merembet ke daerah lainnya, tidak menutup kemungkinan pula Candi Borobudur juga terancam dihancurkan,” ujar Khoirul kepada Rappler.

Mencederai ajaran Gusdur

Khoirul pun mengecam tindakan PCNU Tuban yang justru memberi rekomendasi kepada MUI untuk memaksa pengurus klenteng supaya menutup patung Khongco.

Ini, baginya, jadi sebuah kebijakan kontradiksi mengingat Nahdlatul Ulama (NU) selama ini getol membela kaum minoritas. 

“Tapi apa yang dilakukan PCNU malah memperkeruh suasana. Mereka tidak bisa mengaplikasikan ajaran Gusdur (Abdurrahman Wahid),” ujarnya.

“Padahal, seharusnya ada pembelajaran bagi masyarakat bahwa patung itu punya simbol sejarah yang panjang. Di saat orang Eropa sibuk mengkaji ajaran kitab kuning demi mencari tahu hukumnya membangun patung di pusat kota. Kenapa kita yang beragama Islam malah saling menyakiti?” sambungnya.

Ia berpendapat pembuatan patung sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kala itu, putri Rasulullah, Aisyiah diizinkan bermain boneka yang menyerupai patung.

Melalui hal itu, Rasulullah mengajari putrinya tentang kasih sayang sekaligus cinta kasih kepada sesama umat manusia. “Rasulullah memberi banyak pemahaman lewat berkesenian dengan menggunakan media boneka mainan Aisyiah,” cetusnya.

Patung sebagai riset ilmu pengetahuan

Sementara Dosen UIN Walisongo Ubaidillah Ahmad menganggap patung sah-sah saja dibangun asalkan untuk media riset di bidang ilmu pengetahuan maupun instrumen mendekatkan diri kepada Tuhan.

“Karena banyak patung dipakai sebagai alat praktek oleh dokter. Bahkan di dunia politik patung jadi simbol dan tanda adanya kaum jahat dan baik. Kalau tidak ada itu maka instrumen pembelajaran jadi kurang memadai,” katanya.

Untuk itulah, ia meminta kepada semua pihak supaya tidak lagi meributkan soal eksistensi patung dewa Khongco di Tuban. Ia menyoroti ulah segelintir ormas yang sengaja memakai patung sebagai alat penebar kebencian dan membenturkan isu SARA.

“Ini yang harus ditekan betul karena perusakan patung jadi tolak ukur adanya ulah kapital yang masuk ke Indonesia,” terangnya.

Masyarakat Indonesia diminta menghormati pembuatan patung sebagai instrumen mendekatkan diri kepada Tuhannya menurut ajaran Khonghucu.

“Ada persfektif psikis yang tidak boleh diganggu. Membuat patung hanya ada tiga hukum. Yang pertama haram, halal serta hukum yang dibolehkan tergantung orang yang menggunakannya,” katanya. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!