Bisnis kursus komputer dari pintu ke pintu

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bisnis kursus komputer dari pintu ke pintu
Rochmatun Nisa dan timnya telah mengajar belasan ribu siswa semua usia dan profesi. Dia lakukan literasi digital

JAKARTA, Indonesia – Energi perempuan berusia 42 tahun ini seolah tak pernah habis. Banyak ide, dan memilih kegiatan yang memberikan dampak sosial nampaknya menjadi sikap yang ditempuh Rochmatun Nisa.

Pondok Difabel adalah kegiatan terbarunya, yang dia dukung di bulan Ramadan 2017. Pondok Difabel memberikan pendidikan Teknologi Informasi (TI) gratis.  

“Komunitas difabel bertumbuh pesat. Kebutuhan memahami teknologi informasi kian penting. Pengelola menangkap peluang untuk memberdayakan saudara-saudara kita tersebut,” ujar Rochmatun Nisa, kepada Rappler, Senin, 5 Juni 2017.

Pondok Difabel mengusung tagline: Mandiri dan Bermanfaat Bagi Umat, memberikan pelatihan di bidang programming, multimedia, internet marketing, dan cyber-networking bagi para difabel Deksa

Lokasi belajar sekaligus asrama di kawasan Glagah Lor, Banguntapan, Bantul. Santri berusia 17-25 tahun, dan bersedia dididik selama satu tahun. Kebutuhan makanan dan minuman diberikan gratis.  

Bagi yang tidak punya laptop, mendapat pinjaman. “Saya menyumbang tanah wakafnya Mas Himawan,” kata Nisa, menyebut almarhum suami, Himawan Eko Putranto Dibyoseputro.

Yang sudah jalan lima tahun adalah www.pondokprogrammer.com yang juga memanfaatkan tanah wakaf sang suami yang mendukung Nisa untuk berkecimpung di bidang pendidikan. Selain mendapatkan ilmu yang bisa langsung diterapkan, pasangan suami-istri ini juga memberikan fasilitas makan gratis kepada siswa. Kegiatan ini dilakukan atas ide dari anak-anak muda yang selama ini disokong keluarga sang suami.

“Sejujurnya, dua tahun belakangan sejak Mas Himawan kena stroke, konsentrasi saya mengurusi suami. Alhamdulillah kegiatan yang ada jadi lebih mandiri,” ujar Nisa. Keduanya bersepakat bahwa, “Keluarga kita harus menjadi keluarga yang membawa manfaat.”

Tak berhenti di situ, sang suami juga ingin membentuk masyarakat dalam keluarga. “Setiap hari saya masak untuk 30-an orang,” kata Nisa. Bahkan ketika ada anak-anak muda yang melakukan Praktik Kerja Lapangan dari Lombok dan Sumbawa Besar, dan tinggal empat bulan di rumah mereka, Nisa memasak untuk 50-an orang.  

“Mas Himawan senang sekali membentuk kerumunan. Pondok pendidikan yang kami bangun berbasis masyarakat,” kata Nisa, mengenang suaminya yang berpulang ke rakhmatullah pada Januari 2017.

Mendirikan kursus komputer

Kursus komputer dari pintu ke pintu menjangkau belasan ribu siswa semua usia. Foto Istimewa

Saat awal mendirikan kegiatan, Nisa tak memikirkan untung-rugi.  Pada tahun 2010, ia mendirikan Smart Colleague, yang berarti sahabat atau kolega yang mencerdaskan. Usaha ini bergerak di bidang pelatihan pengoperasian komputer, juga pelatihan programmer yang dilakukan dari pintu ke pintu.  

Nisa  prihatin melihat anak-anak muda di Yogyakarta, sebuah kota yang disebut Kota Pelajar, masih rendah pemahamannya dalam mengoperasikan komputer. Smart Colleague memberikan pelatihan dengan sistem dari pintu ke pintu.

Perhatian Nisa kepada anak-anak muda di kota kelahirannya lewat kursus komputer dari pintu ke pintu itu membuatnya mendapat dua kemenangan di Lomba Wanita Wirausaha Femina 2015, yaitu Pemenang II dan Pemenang Kategori Social Entrepreneur. Sebelumnya, dia juga diganjar anugerah Perempuan Inspiratif 2013  oleh Tabloid Nova.

Anak sulung dari enam bersaudara ini terbiasa mandiri sejak masih mahasiswa. Ayahnya seorang guru, ibunya ibu rumah tangga sederhana. Jarak kelahiran antara Nisa dan adik-adiknya cukup dekat, berkisar satu tahun. “Saya khawatir, kalau kelima adik-adik saya tak punya cukup biaya untuk sekolah,” kata Nisa.

Bersama adiknya, Nisa sempat mendirikan Handayani Catering, tahun 1995, pula toko sembako. Mereka mengincar pasar mahasiswa yang tengah mengikuti orientasi pelajaran di kampus-kampus di Yogyakarta.  

Tak punya bekal kewirausahaan, Nisa maju terus. “Waktu itu belum ada pelatihan untuk anak muda seperti sekarang.  Tapi masa-masa yang sulit membuat kita kreatif. Saya jadi belajar bisnis secara otodidak,” ujar Nisa.

Nisa sempat mencoba menjadi karyawan di sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta, setelah lulus dari pendidikan diploma D-3 ekonomi di Universitas Gadjah Mada. Cuma bertahan tiga bulan, dan setelah bekerja serabutan beberapa bulan di Jakarta, dia memilih kembali ke Yogyakarta. Dia meneruskan kuliah ke jenjang sarjana sambil mendirikan usaha konveksi seragam untuk murid Taman Kanak-Kanak.  

Usaha konveksi seragam berjalan cukup lancar meskipun musiman. Omzetnya miliaran rupiah per tahun. Pelanggan berasal dari Yogyakarta dan luar kota, bahkan sampai ke Papua dan Sumbawa.  

Interaksi dengan guru-guru TK membuat Nisa melihat masalah dalam kualitas guru dan murid TK. Sekolah yang biayanya murah, kualitas belajarnya juga rendah. Bahkan sekolah yang biayanya lebih mahal pun kualitas belajarnya perlu ditingkatkan.  

Di sisi lain Nisa melihat bahwa anak-anak berkenalan dengan gawai, atau telpon seluler sejak usia belia. “Anak-anak suka main game di gadget. Kalau kita tidak mengajari mereka memanfaatkan teknologi untuk hal yang positif, akan mengganggu perkembangan mereka,” kenang Nisa. Suaminya pula yang saat itu menyarankan Nisa mendirikan kursus komputer agar dampak pelatihannya lebih luas.

Di Yogyakarta tak sulit mencari guru pengajar komputer. Sistem pendidikan dia coba ke putranya Muhammad Zein Alfarabi yang pada 2009 itu masih berusia tiga tahun. Dampaknya baik. Nisa dan suami lantas memulai Smart Colleague dengan membeli 25 netbook, laptop kecil, seharga Rp 2,5 juta per unit. Tim pengajar ada tiga orang. Mereka tak punya banyak uang karena rumah yang mereka tempati hancur karena gempa 2006.  

“Anakmu bukan milikmu, dia adalah milik sang waktu, dia akan melesat menuju zamannya, zaman yang berbeda dengan zaman kita. Kahlil Gibran

Pelatihan komputer dilakukan dengan berkeliling mendatangi pelanggan, harganya cukup murah, Rp 5 ribu per jam. Nisa menggunakan sistem pemasaran asuransi untuk menggaet pelanggan. Ke manapun dia membawa brosur. Tentu saja, dia mengontak semua TK yang menjahitkan seragam ke usaha konveksinya untuk menjadi pelanggan pula. Bisnis berkembang pesat. Pelatihan berkembang ke tingkat SD, SMP, SMA sampai mahasiswa.

Kini, tak kurang dari 100 TK di wilayah Yogyakarta pernah bekerjasama dengan Smart Colleague. Kursus komputer ini sudah melatih 68 kelompok ikatan guru taman kanak-kanak (IGTK), anggota Komando Distrik Militer (Kodim), karyawan rumah sakit, ibu-ibu PKK, dan lainnya. 

Muridnya ada di berbagai kota dan jumlahnya kini sudah belasan ribu. Untuk anak-anak TK bentuk pelatihan dengan CD edugame, siswa mendapatkan sekaligus pelatihan bahasa Inggris yang diselipkan di modul pelatihan.

Ada pengalaman mengharukan ketika seorang “siswa” yang sudah berusia tua, akhirnya bisa mengoperasikan komputer. “Dia bertekad bisa mengoperasikan komputer sebelum meninggal dunia.  Di rumah ada komputer, tapi anaknya tidak mau mengajari,” kata Nisa.   

Bisnis berdampak sosial

Setiap bulan, usaha kursus komputernya melayani sekitar 5.000-an peserta, yang dibagi ke 100 kelompok belajar, masing-masing dilengkapi dengan 25 netbook dan tiga orang yang berfungsi sebagai pengajar. Untuk kelas dewasa tarifnya memang lebih tinggi karena pengajarnya juga dari luar. Biaya kursus kini Rp 6.500 per jam.

Lokasi pelatihan bisa di mana saja, dan sebagian dijalankan dengan cara sederhana, dengan duduk lesehan di lantai. “Banyak yang belajar dari dasar, mulai dari menghidupkan dan mematikan komputer. Tapi untuk guru-guru ada yang minta diajari mengoperasikan Excell, Windows Operation, dan sebagainya,” tutur Nisa, yang kini memiliki karyawan termasuk pengajar sebanyak 30 orang.  

Ketika bisnis kursus komputer justru makin redup, Nisa mengalami bahwa masih banyak orang yang ternyata membutuhkannya. Nisa memberikan pendekatan baru dengan mengajari cara melakukan social-networking dan memanfaatkannya untuk kebutuhan pribadi maupun bisnis. Ini upaya menjaga tetap relevan dengan perkembangan teknologi informasi.

Untuk anak-anak, apa yang dilakukan Nisa dan timnya sejatinya adalah sebuah proses literasi digital yang kini sangat dibutuhkan. Anak-anak berinteraksi dengan jutaan informasi di jagat maya setiap jam, setiap hari. Mereka perlu dibekali dengan kemampuan memanfaatkan teknologi informasi dengan baik, dan hanya mengakses yang bermanfaat bagi dirinya.

“Anakmu bukan milikmu, dia adalah milik sang waktu, dia akan melesat menuju zamannya, zaman yang berbeda dengan zaman kita.” Terjemahan bebas dari puisi karya Kahlil Gibran ini tercantum dalam brosur pelatihan programmer yunior untuk SD.  Rochmatun Nisa membuktikan sebuah bisnis bisa berkembang kendati sarat dengan idealisme untuk berbagi dengan sesama.  – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!