Ekonomi digital di ASEAN diprediksi capai US$ 200 miliar

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ekonomi digital di ASEAN diprediksi capai US$ 200 miliar
Dua CEO ini berikan catatan strategi kompetisi bisnis e-commerce

  

JAKARTA, Indonesia – Chief Executive Officer (CEO) Mataharimall.com Hadi Wenas menyampaikan catatan bagi pemerintah agar Indonesia dapat  mencapai ekonomi digital terbesar di ASEAN. 

“Yang terpenting adalah, apakah pemerintah targetnya hanya kompetisi antar pemain lokal, atau kompetisi antara perusahaan lokal dengan pemain asing?” kata Wenas kepada Rappler di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta, Senin, 7 Agustus 2107.

Hari ini, ASEAN, asosiasi negara-negara di kawasan Asia Tengggara, merayakan ulang tahun ke-50. ASEAN didirikan pada 8 Agustus 1967 oleh lima negara.

Indonesia dengan potensi jumlah penduduk dengan bonus demografinya, ingin menjadi ekonomi digital terbesar di ASEAN.  Pemerintah Indonesia menetapkan target bahwa Indonesia akan menjadi ekonomi digital dengan nilai US$ 130 miliar dolar pada 2020.  Nilai ini naik 10 kali lipat dibandingkan dengan posisi 2014 dengan nilai US$ 12 miliar dolar.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo menerbitkan paket kebijakan ekonomi ke-14 yang mengatur sektor e-commerce.

“Pe-ernya masih banyak, tetapi definitely possible. Mungkin banget. Kita perlu melihat bisnisnya bagaimana? Bagi pemain lokal seperti kami, kompetisinya makin ketat. Tapi bagus untuk kondisi kewirausahaan. Kalau biasa-biasa saja enggak seru,” ujar Wenas yang telah malang-melintang di dunia e-commerce termasuk di Zalora.

Menurut Wenas, kompetisi yang sehat menguntungkan konsumen.  Indonesia perlu mempercepat pertumbuhan perusahaan lokal untuk bersaing dengan pemain besar dari luar yang mulai masuk.

Tahun lalu, raksasa e-commerce Tiongkok, Alibaba, membeli kepemilikan di Lazada senilai sekitar Rp 13,1 triliun. Alibaba menjadikan Lazada sebagai kendaraan untuk masuk dan menguasai pasar ASEAN.

“Kita masih banyak ketinggalan dalam bisnis e-commerce dibandingkan dengan pemain besar asing. Tapi, kalau berkaca dalam sejarah, ketika perang kemerdekaan kita juga bersenjatakan bambu runcing,” ujar Wenas.  

Dia mengingatkan pentingnya pengetahuan akan pasar lokal. Karena konsumen memiliki kebiasaan dan selera yang berbeda.  “Behaviour sensitivity adalah kelebihan pemain lokal. Kita punya belasan ribu pula, masing-masing punya budaya dan kebiasaan berbeda,” kata Wenas.

Wenas memberikan contoh di lingkungan perusahaan di mana dia bergabung saat ini, ada ritel modern yang bertahan cukup lama bersaing dengan ritel modern asing yang masuk ke Indonesia, dan menguasai sekitar 42% pangsa pasar.

“Banyak kasus di mana perusahaan lokal bisa bersaing dengan merek asing, asal mampu memahami siapa konsumennya, dan dapat menyediakan produk dengan layanan terbaik, harga terbaik pula,” ujar Wenas.  

Dia juga memperkirakan pangsa pasar industri ritel berbasis daring atau online masih perlu ditingkatkan. “Total volume transaksinya masih di bawah 2% dari total transaksi ritel nasional,” ujar Wenas.  Ini sudah termasuk transaksi di market place lain, berbasis usaha mikro kecil dan menengah dan yang berjualan di media sosial.

Menurut Wenas, transaksi ritel daring atau e-commerce harus bayar pajak, tetapi pemerintah harus memberikan insentif. “Kalau tidak kita sulit bersaing. Di negara lain seperti China, e-commerce didukung oleh China Post untuk pengiriman di dalam maupun luar negeri,” ujar Wenas.  

China Post adalah kantor pos di negeri Tirai Bambu itu. “Makanya global shipping bisa bersaing. Bayangkan, beli barang senilai US$ 1 dolar, shipping-nya gratis. Lewat lautan dan udara. Hal ini bisa terjadi karena pemerintah Tiongkok serius menjadikan China as a manufacturing hub. Jadi dia mau sebar produknya ke global consumer,” kata Wenas.

Di antara industri lokal, juga ada perasaan tidak berada tingkat persaingan yang sama.  “Pelaku usaha offline juga merasa, mereka dari yang besar sampai umum bayar pajak, tetapi ada yang jualan online, belum semua bayar pajak?” kata Wenas. Di sini menurutnya pemerintah perlu membuat strategi untuk baik untuk kompetisi di dalam negeri maupun ke kompetisi gobal.

SDM masih jadi kendala

CEO Bukalapak Achmad Zaky berbagi optimisme yang sama tentang potensi Indonesia menguasai pasar ekonomi digital di ASEAN. “Bukan tidak mungkin, tapi perjalanan ke sana cukup terjal,” kata Zaky melalui pesan singkat ke Rappler, 8 Agustus 2017. Dia memegang data yang sama dengan Wenas, bahwa pangsa pasar e-commerce di Indonesia sekitar 2% dari total perdagangan ritel.

Zaky menggarisbawahi pekerjaan rumah yang penting, yang harus dibenahi, di luar tenggang waktu yang singkat menuju tahun 2020.  “Salah satu PR terbesar kita adalah sumberdaya manusia atau SDM,” kata Zaky.

Menurut dia, ada tiga komponen besar yang perlu diperhatikan untuk membentuk industri yang kuat. Kesatu, pasar.  Tidak diragukan bahwa di kawasan ASEAN Indonesia paling berpotensi. Kedua, investor. Indonesia ada di peringkat satu di ASEAN. Ketiga, SDM atau talenta. Di sini pekerjaan rumahnya cukup berat.   

“Pasokan SDM untuk masuk ke industri teknologi tinggi masih sangat kurang,” kata Zaky. Yang dia maksud adalah kuantitas SDM berkualitas. Pesaingnya di ASEAN hampir semua negara kelompok pertama, ditambah Vietnam.

Zaky mengatakan, suplai bisa dari perguruan tinggi maupun dari sekolah vokasi atau kejuruan. Sayangnya yang dari sekolah vokasi banyak yang tidak bisa dipakai oleh industri. 

Dari kampus pun hanya dari 10 kampus top yang diserap. “Kita darurat SDM berkualitas, yang punya daya inovasi tinggi sehingga bisa menciptakan nilai tambah. Kalau dagang mah semua juga bisa,” kata Zaky.  Bukalapak.com kini memperkerjakan sekitar 1.000 karyawan.

Komitmen investor

Soal investasi, catatan dari Zaky adalah komitmen investor.  “Perlu diantisipasi.  Investor memang melirik Indonesia, tetapi takutnya mereka tidak berkomitmen untuk investasi jangka panjang.

“Kalau bisa dibuat skema supaya mereka memiliki komitmen dan dampak jangka panjang, misalnya mewajibkan IPO di Indonesia, dan mewajibkan manajemen, terutama CEO adalah orang Indonesia,” kata Zaky. IPO adalah Initial Public Offering atau penawaran saham bursa saham Indonesia.

Menurut Zaky, jika IPO atau mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia, pemerintah jadi punya tanggung jawab melakukan edukasi pasar tentang bisnis berbasis teknologi.  “Banyak yang belum mengerti,” kata dia. 

Dia berharap, di masa depan orang Indonesia bisa membiayai bisnis dengan sumberdana investor lokal.  “Sekarang kantong orang Indonesia enggak melek sama bisnis teknologi.  Ya, akhirnya yang ambil investor luar,” ujar Zaky. 

Pemerintah perlu berpikir dalam jangka panjang. Bagaimana jika semua usaha rintisan (start-up) top melakukan IPO di luar Indonesia? Dikuasai investor asing?  “Bagaimana jika kita hanya menjadi penonton dan pekerja?” kata dia.

Hadi Wenas sepakat dengan usulan Zaky tentang pentingnya edukasi pasar bagi konsumen. Angka pasar kurang dari 2% dari bisnis e-commerce itu tak lepas dari minimnya edukasi dan waktu yang relatif baru bagi perkembangan di Indonesia. Dia memberikan contoh di Tiongkok, yang lebih dulu 7-8 tahunan dibanding Indonesia, kini pangsa pasarnya 15% dari total bisnis ritel.  Di AS angkanya 12%. “Semua dalam ekosistem perlu mengedukasi konsumennya” kata Wenas. 

Berkaca  dari negara maju, e-commerce sebagai platform harus memberikan nilai tambah. Nantinya orang yang di tengah-tengah atau middleman menjadi makin sedikit. Jika tadinya mendistribusikan barang dari kelompok produsen ke kelompok konsumen melalui kota besar, kota sedang, ke kota kecil, dengan e-commerce menjadi berkurang mata rantainya. “Harga bagi konsumen jadi lebih baik,” kata Wenas.

Siapa yang perlu melakukan edukasi?  “Sebaiknya bukan hanya pemain, melainkan juga  payment provider seperti bank maupun alat pembayaran lain, pemerintah, logistic provider, dan marketing platform, seperti media sosial,” ujar Wenas.

Menteri Perdagangan dan Industri Singapura S. Iswaran mengatakan bahwa ekonomi digital di kawasan ASEAN berkembang dengan pesat. Sebagaimana dikutip laman thestraittimes, Iswaran mengatakan ASEAN adalah kawasan yang tumbuh paling cepat di dunia dalam adopsi internet dengan pertambahan 3,8 juta pengguna online baru setiap bulan,” ujar Iswaran. Menteri Iswaran mengatakan integrasi ekonomi digital akan menguntungkan bagi ASEAN.

Data yang dimiliki pemerintah Singapura menunjukkan ekonomi digital di ASEAN dapat tumbuh ke US$ 200 miliar dolar pada tahun 2025. Industri e-commerce diprediksi berkontribusi senilai US$ 88 miliiar dolar dari target tersebut.  

Catatannya, pertumbuhan ekonomi rata-rata di negara ASEAN saat ini sampai 2020, adalah 5,2%, lebih besar dari rata-rata pertumbuhan dunia sebesar 3% dalan periode yang sama. – Rappler.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!