Film cinta beda agama di Indonesia: Digemari, tapi hindari kontroversi

Noel

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Para pembuat film bertema cinta beda agama masih memiliki rasa takut jika pesan film mereka justru menghadirkan kontroversi yang tidak diinginkan

Ilustrasi oleh Magdalene.co.

JAKARTA, Indonesia – Cinta sejak dulu membuka diri bagi siapa saja yang menginginkannya. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat Indonesia masih sulit menerima cinta secara universal. Agama dan suku selalu menjadi faktor pertimbangan untuk urusan cinta bagi masyarakat yang plural ini.

Film, salah satu alat inspiratif dan penyaluran kritik sosial tidak pernah bosan mengambil isu cinta yang berbeda untuk disajikan bagi penonton Indonesia. Hanya saja para pembuat film ini masih memiliki rasa takut jika pesan film mereka justru menghadirkan kontroversi yang tidak diinginkan.

Hanung Bramantyo adalah salah satu contoh sutradara Indonesia yang langganan jadi korban sentimen terhadap isu agama dan suku dalam filmnya. Pada akhirnya, para penanam modal menjadi hati-hati untuk memberikan modal mereka terhadap film isu ini. Sang sutradara dan penulis skenario pun akhirnya ikut hati-hati menentukan konflik hingga akhir dalam film bertemakan cinta yang berbeda.

Sebagai contoh, film 3 Hati (2 Dunia 1 Cinta) garapan Beni Setiawan meskipun terbilang cerdas menempatkan isu yang sensitif dalam drama komedi, tetap tetap saja gagal dalam menguatkan nilai-nilai pluralisme. Akhir cerita tidak membuat pasangan beda agama ini bisa bersatu.

Saya memaklumi karena film ini berdasarkan pada sebuah novel, namun mengubah jalan cerita dari sebuah kisah adaptasi novel adalah hal yang lumrah. Semua bergantung pada sutradara pesan apa yang ingin disampaikannya. Padahal saya berharap sekali ada sudut pandang lain jika bicara soal cinta yang berbeda.

Film biasanya pilihan yang paling nyaman untuk menjadi sumber inspirasi. Saat film dakwah laris Ayat-Ayat Cinta memicu debat karena karakter Maria yang membiarkan dirinya tersiksa demi menahan perasaan cinta pada Fahri, saya merasakan bagaimana Hanung sebagai sutradara sangat berhati-hati menempatkan adegan kisah cinta segitiga ini.

Saya yakin jika Hanung diberikan kebebasan lebih dalam Ayat-Ayat Cinta, maka kisah Maria mampu menjadi inspirasi bagi mereka yang takut jujur dengan perasaan lantaran terbentur persoalan agama.

Saya sempat berandai-andai, apa jadinya jika Cina berhasil menikah dengan Annisa dalam film Cin(T)a? Apakah film ini tetap mendapatkan Piala Citra sebagai skenario terbaik waktu itu?

Saya masih percaya bahwa isu seperti ini masih penting dalam masyarakat Indonesia agar tidak lagi mencampuradukkan keyakinan dan romantisme manusia. Hanung pernah meluapkan ekspresi perihal cinta seperti itu dalam Cinta Tapi Beda.

Hanya saja, film ini hanya sebatas memberi motivasi bahwa tidak ada yang berbeda dalam cinta. Tidak digambarkan secara jelas apakah dua tokoh yang sedang jatuh cinta ini jadi menikah. Meskipun demikian, film ini tetap saja mendapatkan protes dan dilaporkan ke polisi.

Aksi-aksi protes terhadap film jenis ini mungkin menjadi pertimbangan yang serius di industri film kita. Selera pasar terus diikuti tanpa peduli dengan pesan yang dibutuhkan bangsa ini.

Waktu film Assalamualaikum Beijing tayang, saya memiliki harapan bahwa film ini bisa menjadi angin segar untuk keringnya film bertemakan cinta yang universal. Lagi-lagi saya kecewa. Sang sutradara memilih alur cerita yang berat sebelah. Pesannya tetap pada cinta yang sama lebih aman daripada berbeda.

Apakah kehati-hatian mengangkat tema cinta  yang beda begitu menakutkan? Bahkan, dalam sebuah akademis film seperti Institut Kesenian Jakarta pernah mempersembahkan sebuah film pendek yang menurut saya indah sekali, cinTa.

Film itu menurut saya berhasil dari segi riset. Memang demikian keluarga keturunan Tionghoa di Indonesia memandang mereka yang non-Tionghoa dan sebaliknya. Akhir dari kisah film pendek ini pun ternyata memilih cara yang paling aman meskipun ada pesan yang provokatif terhadap sebuah pilihan.

Saya masih optimistis bahwa kelak masyarakat Indonesia memiliki kebebasan untuk memilih jatuh cinta pada siapa dan tidak melihat dari agama serta suku. Saya masih menunggu film Indonesia yang mampu memberikan inspirasi untuk berani menyebarkan cinta yang universal.

Noel bercita-cita menjadi pastor dan sekarang terjebak di industri kreatif.

Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan di Magdalene.co. -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!