Mendaki Tiger’s Nest, berkunjung ke Kuil Guru Rinpoche

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mendaki Tiger’s Nest, berkunjung ke Kuil Guru Rinpoche
Warga Bhutan menganggap Taktshang Monastery sebagai kuil Budha paling keramat di negeri itu.

 

PARO, Bhutan – Pelan-pelan saya menjejakkan dua tongkat bambu ke tapak jalan yang berbatu, dan terjal.  Debu tipis warna kuning kemerahan melapisi jalan menanjak menuju Taktshang Monastery atau “Tiger’s Nest”.  Matahari bersinar hangat. Jam 09.00 pagi waktu setempat. Cuaca sekitar 3-4 derajat Celcius. Mengunjungi Kuil Harimau, yang terletak sekitar 3.000 meter di atas Lembah Paro, Bhutan, adalah tujuan utama pelancong ke negeri kecil yang dikepung pegunungan Himalaya itu. Bagi 700 ribu warga Bhutan, berdoa dan meditasi di kuil ini adalah perjalanan sepanjang hidup.  Sejak bayi mereka dibawa ke sini oleh orang tua atau keluarga. Begitu seterusnya, aura magis dari kuil di tebing terjal ini menjadi tempat mereka mencari kekuatan batin.

Bagi pelancong seperti saya, menapaki jalan terjal mendaki Tiger’s Nest seperti berkaca kepada kehidupan. Baru separuh perjalanan, saya harus berjalan sendiri. “Bisa meneruskan ke atas? Saya turun dulu menemani teman Anda,” kata Pe Dorji, pemandu wisata yang menemani rombongan kami dalam “Type A Retreat” ini.  Saya cuma bisa mengangguk. “Apa iya saya bisa meneruskan perjalanan ini sendiri?”. Pertanyaan itu menggema dalam pikiran. Seberapa sering dalam hidup, saya memilih berjalan sendiri, mengambil jalur yang berbeda, pemikiran yang berbeda, terpisah dari arus yang ditempuh kerabat? Teman? Kenalan?

Sebenarnya saya tak benar-benar sendiri. Saat saya mendaki ke Taktshang, ada ratusan warga dari berbagai negara, termasuk warga Bhutan yang bergegas menuju ke sana. Hari itu, 27 Februari 2017, adalah tahun baru bagi warga Bhutan yang memasuki tahun kalender 2017. Losar! Atau tahun baru. Dan warga Kingdom of Happiness  itu bersiap memasuki tahun Burung Api Perempuan, meninggalkan tahun Monyet Api Laki-Laki. 

Warga Bhutan mendaki jalanan terjal ke Kuil mengenakan pakaian tradisional mereka.  “Gho”, semacam kimono bagi kaum lelaki yang dilengkapi sepatu fantovel dengan kaus hitam sampai lutut.  Kaum perempuan menggunakan kain dan kebaya yang disebut “Kira”.  “Today is very very cold,” kata pemandu wisata. Padahal warga Bhutan sudah biasa dengan cuaca dingin. Bagi saya?  Baju atas empat lapis, celana dua lapis, kaus kaki tebal dan sepatu boot khusus untuk trekking dan hiking. Belum lagi kaus tangan, syal hangat, dan dua tongkat.  

Setiap beberapa meter melangkah, saya mengambil nafas, megap-megap karena tipisnya udara di ketinggian. Diam-diam saya merogoh kantong coat, menggigit kepingan gula merah yang saya bawa untuk mendapatkan energi. Ilmu yang saya dapatkan ketika mengikuti latihan resimen mahasiswa di masa kuliah. Tengah malam sebelumnya, saya meminum kapsul influenza yang mengandung Ibuprofen, zat yang bisa membantu seseorang mengurangi dampak sakit di ketinggian (altitude sickness). Untuk sebuah perjalanan yang baru saya putuskan seminggu sebelumnya, modal mendaki Tiger’s Nest lumayan.  Kecuali satu hal: setahun terakhir praktis saya tak pernah olahraga! 

BACA : Hot Stone Bath, Tradisi Mandi Ala Bhutan  

Itu sebabnya Tiger’s Nest menjadi tujuan utama di negeri kerajaan yang ke mana-mana harus mendaki. Tangga di semua bangunan. Kuil di pucuk-pucuk bukit dan gunung. Saya tak sanggup untuk mendaki gunung dan berkemah sebagaimana yang dilakukan teman-teman satu grup dari beberapa negara. Mereka berjalan sehari sebelumnya, bermalam di lahan berkemah di balik bukit. Kami berjanji bertemu di Tiger’s Nest hari itu.  

Kuil Harimau di dinding tebing terjal

Separuh perjalanan mendaki Taktshang, pengunjung bisa dibantu naik Mule atau Bagal, blasteran keledai dan kuda. Untuk menghemat tenaga dan waktu agar bisa makan siang dan bertemu di sekitar Tiger’s Nest dengan teman satu grup, saya mencoba jasa Mule yang dikendalikan oleh Rado, anak muda yang mencari nafkah dengan menyewakan Mule seharga US$ 15 dolar AS sekali jalan. Keiza, Mule betina berusia sembilan tahun berjalan pelan. Kakinya memilih tapak yang lembut agar mudah didaki. Itu berarti memilih sisi paling kiri. Saya menutup mata, agak gemetar sepanjang jalan, kuatir kaki Keiza tergelincir ke jurang yang dalam. Mulut komat-kamit “Allahu Akbar”!

Ternyata, mengendalikan Mule seraya mendaki justru membuat jantung berdebar-debar. Aslik saya ketakutan!  Jadi, ketika akhirnya harus turun karena jalur selanjutnya diharamkan bagi Mule, sebenarnya saya menghela nafas lega. Duduk sejenak di tempat istirahat. Kuil Harimau nun jauh di sana melambai mengundang datang. Dari balik ratusan bendera warna-warni yang bersematkan doa warga Budha, Tiger’s Nest berdiri kokoh, dibalut kabut. Kelompok kuil berwarna putih, dengan arsitektur khas lokal yang dihiasi ornamen warna merah dan emas itu meneguhkan tekad untuk kembali melangkah. Jalan kaki. Bismillah.

Bendera Doa dan Roda Doa di sepanjang jalur ke Tiger's Nest, Bhutan. Foto Uni Lubis (27/2/2017)

Di tengah perjalanan ke kuil, ada kafe untuk istirahat termasuk ke kamar kecil. Maklum, udara dingin dan kecenderungan minum untuk atasi haus membuat hasrat arus bawa harus disalurkan. Mampir di kafe Taktshang itu, pengunjung disuguhi kopi dengan susu. Ini minuman khas di Bhutan. Kopi susu ditemani biskuit kabin, ini sebutan saya untuk biskuit kotak-kotak yang saya makan zaman dulu, saat masih kecil. Tak banyak pilihan biskuit di negeri mini itu, maka biskuit kabin kita temui di berbagai restoran, kafe, hotel di sana. Suasananya jadi “jadul”.

Dari kafe, masih dua jam mendaki. Total perjalanan ke kuil 3-3,5 jam. Pemandangan indah di balik kibaran ratusan bendera doa saya nikmati sambil memerangi dingin dan megap-megap menghirup oksigen. Pohon pinus perak sejauh mata memandang. Kota Paro, gerbang masuk ke Bhutan nun jauh di bawah.  “Let’s go madame, not far anymore,” kata seorang bapak dari New Delhi yang berkunjung ke sana dengan keluarganya.  Sang cucu perempuan nampak berkeluh kesah kecapaian, nyaris diseret, digandeng naik oleh ayah dan paman.  

Di belakang saya, turis dari Jerman, anak muda berkacamata ditemani seorang pemandu wisata, sama megap-megapnya dengan saya. Berdua kami berkali-kali berhenti, mengambil nafas.  Lumayan, saya jadi bisa meminta bantuan sang guide untuk memotret. “Pinjam ya, guide kamu?” I am not alone.

Tibalah kami di Tiger’’s Nest View Point. Teras Pandang. Dari sinilah sumber foto-foto kuil termasyhur itu, menyebar ke dunia.  Seorang pemandu wisata menjawil saya. “Ini ranselmu?”.  Saya melihat ransel merah saya di bahunya. Rupanya Pe Dorji menitipkan ransel saya ke temannya. Isinya botol minuman, dodol Mubarak, biskuit, jaket hujan, payung. Standar banget untuk setiap kali saya bepergian. Di Bhutan yang penduduknya sedikit, semua orang kenal orang lain. Aman. Termasuk menitipkan barang. Lagi-lagi saya minta tolong difoto di teras pandang. Lantas sibuk ceklak-ceklik merekam keindahan yang ada di depan mata. Allahu Akbar!!!

Lalu saya menengok ke bawah. Hati tercekat. Untuk mencapai kuil saya masih harus menapak tangga terjal, turun, sekitar 300-400 an tangga (siapa yang sempat menghitung?).  Belum cukup, setelah turun dan mencapai sebuah jembatan yang dikepung bendera doa, saya harus mendaki tangga lagi, 300 an tapak. Ya Allah, sanggup kah saya?  Hampir saya memutuskan untuk berhenti sampai di situ saja.  Buat apa saya ke kuil Budha itu?  Toh saya enggak akan berdoa di sana?

Saya punya masalah dengan lutut. Sejak dua tahun ini lutut kiri saya sering nyeri. Mungkin faktor usia dan pernah keseleo. Begitu juga di bagian mata kaki. Almarhumah Ibu saya selalu bilang, “Kelemahan kau itu di lutut dan mata kaki, sering keceklik.”  Keceklik itu artinya keseleo. Herannya, di berbagai tempat yang saya kunjungi, saya memaksakan diri naik tangga, mendaki bangunan-bangunan tinggi. Melawan rasa kuatir. Jadi, mengapa tidak menuntaskan perjalanan ini sampai ke sarang Harimau?

Tiger’s Nest dianggap sebagai kuil Budha paling sakral oleh warga Bhutan. Di tempat ini pada abad kedelapan, Guru Padmashambava atau Guru Rinpoche, dipercayai menunggangi Harimau Bersayap, melintasi negeri yang di bawahnya melintas lembah, sawah, jurang, dan bertapa di tebing itu. Saat Guru Rinpoche bertapa dan meditasi, retreat selama tiga tahun, tiga bulan, tiga minggu dan tiga hari, harimau-harimau itu beristirahat di sebuah gua di dinding tebing. Guru Rinpoche kemudian membujuk warga Bhutan menjadi pemeluk agama Budha. Dia disebut Sang Budha Kedua, The Second Budha.

Berabad-abad kemudian, pada sekitar tahun 1684, Raja keempat yang memimpin pemerintahan sementara di negeri itu, Gyalsey Tenzin Rabgye membangun monastery atau kuil di tebing tempat Guru Rinpoche bertapa dan memberi nama Thaktshang. Warga Bhutan percaya, berdoa dan bermeditasi di kuil ini semenit sekalipun, akan memberikan berkah berlipat ketimbang berdoa atau meditasi di kuil lain yang dianggap sakral. Mirip umat muslim yang percaya bahwa salat di Masjidil Haram di Mekkah, pahalanya 100 ribu kali lipat dibanding salat di masjid lain.

Berkunjung dan bermeditasi di Thaktshang dipercayai warga di sana sebagai sarana membersihkan diri, lahir dan batin. Semacam kembali ke fitrah, menjadi “baru”.  Maka, ketika akhirnya kita sampai di teras kelompok Kuil Harimau, di sisi kiri tangga naik, ada mata air yang disebut air suci.  Kecil saja di pojokan, konon tak pernah habis.  Airnya bersumber dari bukit-bukit batu yang memiliki sejumlah air terjun indah pula.  Pengunjung membasuh wajah, meminum air tersebut untuk mendapatkan khasiat.  Ngalap berkah. Nanti, sebelum pulang mereka mengisi botol atau tumbler dengan air suci untuk dibawa ke rumah.

Tak boleh membawa kamera, makanan dan minuman untuk masuki ke komplek Tiger’s Nest. Petugas keamanan memonitor ketat setiap pengunjung, kamera CCTV ada di mana-mana.  Di mana letakkan tas?  Ya di bangku-bangku di teras kecil sebelum masuk. Aman. Tujuan pertama ke kuil utama tempat Guru Rinpoche bertapa dan meditasi. Ruang ini hanya dibuka saat peristiwa khusus. Termasuk Losar.

Sepatu tentu saja harus dicopot.  Saya masuk ke kuil utama yang ukurannya tak besar. Suasana di dalam sebenarnya mirip dengan kuil-kuil besar yang saya kunjungi dalam perjalanan ke Bhutan ini. Ada patung Guru Rinpoche di situ. Bau asap dupa agak menyesakkan buat saya. Biksu Budha membantu mengarahkan pengunjung untuk berdoa. Meditasi. Biksu memercikkan air suci ke kening dan tangan para peziarah sambil komat-kamit berdoa.

Menemukan Damai di Kuil Sang Guru

Selama di Bhutan, saya belajar dan mengamati warga menggumamkan doa “Om Mani Padme Hum”, saat di kuil, saat memutar roda berdoa yang ada di mana-mana di seluruh bagian kota termasuk di bangunan penting seperti Istana. Ini adalah enam kata dalam bahasa sansekerta yang memiliki arti penting, dan diajarkan pendeta Budha dari waktu ke waktu.

“Om”, diucapkan seperti bergumam dan bergetar bagai membaca mantra, yang artinya seseorang berproses menghancurkan ego pribadi dan membangun sikap welas asih, belas kasihan. “Ma”, artinya kita menghilangkan sifat cemburu, iri hati dan dengki, serta membangun sikap penuh dengan etika. “Ni” menghapus nafsu duniawi dan bersikap sabar. “Pad” menghilangkan syak wasangka dan memupuk ketekunan.  “Me” menghapus sikap ingin memiliki yang terlalu besar, posesif, dan membangun konsentrasi.  “Hum” adalah menghapus watak penuh benci, dan menumbuhkan kebijakan.

BACA : Belajar Mencintai Sungai Bersih Dari Warga Paling Bahagia  

Saya menyingkir berdiri di pojok kuil saat pengunjung lain berdoa.  Bermeditasi. Duduk bersila dengan kaki kiri-kanan ditekuk. Pelan-pelan kemudian saya keluar kuil. Duduk di teras. Menikmati pemandangan luar biasa sepanjang lembah, dari puncak kuil ini.  Saya menggosokkan kedua telapak tangan untuk mendapatkan rasa hangat, mengobati dingin yang menggigil. Terdiam melamun. Lalu air mata saya mengalir deras.  

Saya teringat Ibu saya yang meninggal dunia Mei 2014.  Bibir saya bergetar  mengucap Alfatihah, semoga Mama khusnul khotimah, mendapat tempat terbaik di surga Allah SWT. Teringat Papa saya yang menua dan sering sakit.  Teringat betapa saya belum membahagiakan Mama dan Papa. Mengingat keluarga adik-adik, suami, anak tercinta Darrel. Teringat perjalanan hidup.  Kesalahan yang saya perbuat, hal-hal yang tidak saya kerjakan.  

Di teras Taktshang itu, di Kuil Harimau, ribuan kilometer dari rumah, melintasi lautan, gunung, lembah dan jurang, melewati negara-negara, saya terpekur. Menghela nafas panjang. Bersyukur atas semua berkah yang saya peroleh dalam hidup. Berharap ampunan atas semua dosa dan kesalahan yang saya lakukan.  Di kuil paling sakral bagi warga Budha di Bhutan itu, saya mengagumi kebesaran Allah SWT, Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta.  Mana mungkin tempat seindah ini bisa dibangun, dengan susah payah di ujung tebing, tanpa perkenan Tuhan penguasa semesta alam?  Mana mungkin saya sampai di sini tanpa perkenan Allah SWT?  

Belakangan saya baru tahu, banyak yang mengalami perasaan seperti saya saat berkunjung ke Taktshang. Pikiran dan batin dibawa untuk refleksi. Berdiam diri, menjauh dari hiruk-pikuk keseharian. Rutinitas yang membelenggu pikiran dan fisik. Finding inner peace.  Sebagian orang bahkan mengaku melihat “Harimau-harimau melintas di pelataran dalam Tiger’s Nest”.  Orang-orang yang terpilih. Really?

Penulis di Teras Pandang Tiger's Nest, Bhutan (27/2/2017)

Mengintip Gua Sang Harimau

Sudah setengah jam sejak saya duduk terdiam di teras dengan pikiran mengembara.  Saya tersadar, “di mana sih gua Harimaunya?”.  Lutut terasa ngilu.  Ada beberapa bangunan kuil di situ, setiap kali kita harus naik tangga curam. Pelan-pelan saya “ngesot”, naik satu per satu anak tangga di situ. Sebenarnya saya sudah “ngesot” saat mencapai komplek kuil ini. Berpegangan pada pagar besi dan satu tongkat di tangan lain tidak membuat perjalanan mendaki dan turun jadi lebih mudah.

Saya melihat kuil tempat membuat lilin doa. Dua grup tur sedang mendapat penjelasan tentang proses membuat lilin doa. Di sebelahnya, menjorok ke belakang, diapit bangunan kuil lain, menaiki tangga ada pintu gua dengan tulisan di atasnya “ Tiger’s Nest”. Oh, di situ rupanya. Kalau tidak teliti melihat satu persatu bangunan, bertanya-tanya, kita bisa melewatkan gua ini. Pelan-pelan saya mendekati pintu gua. Kaki saya menapak jalan sempit menaik selebar 25-an sentimeter, melewati jeratan pipa-pipa  dari tanki air bersih. Duh.

Sampai di mulut gua saya melongok ke dalam. Ke lorong gelap. Ada tangga kayu warna coklat bagi yang mau melihat sampai ke dalam. Turun menjorok. Sempit. Cukuplah di sini. Selain fobia  ketinggian, saya juga enggak nyaman di tempat sempit. Claustrophobia. Saya tak ingin bertemu dengan Harimau, meskipun itu berarti saya orang yang terpilih.  Sayang kamera dan ponsel tak boleh dibawa masuk. Jadi pengunjung seperti saya cuma bisa melihat. Dipikir-pikir ada baiknya juga. Kalau boleh memotret, dipastikan pengunjung sibuk motret, bukannya bersikap khidmat. Berdoa, Meditasi. Lha, seberapa sering kita sedang berdoa saja minta difoto?  #notetoself

Rupanya grup tur yang saya ikuti mengirimkan sopir bus yang kami tumpangi untuk menjemput saya, menuju tempat makan siang. Mereka memperkirakan saya sudah sampai di kuil.  Teman-teman yang semalaman berkemah sudah menunggu.  Karena sudah tengah hari, mereka memutuskan untuk makan siang, istirahat sebelum ke Tiger’s Nest.  Lagipula, Kuil akan ditutup untuk istirahat makan siang sekitar satu jam. 

Uygen, si sopir yang ramah mengulurkan tangannya agar bisa saya gandeng, menuruni tangga, Tiga ratus tangga turun?  Oh My God.  Dan, naik lagi 400.  Gusti Allah paringi kulo kekuatan. Mengunjungi Kuil Harimau seperti menjalani kehidupan. Naik-turun. Saya berdoa semoga kehidupan saya tak naik turun seterjal ini.

Tertatih-tatih saya menggunakan sisa tenaga melewati jembatan penuh bendera warna-warni. Salju terakhir di tahun 2016 yang masih menempel di tebing-tebing curam. Sebagian meleleh kena hangat sinar matahari. Ketika mencapai teras pandang saya berhenti. Memandang kembali ke kuil-kuil indah di bukit sana. Masih belum percaya bahwa saya baru meninggalkan tempat itu. Salah satu tempat terindah di negeri dengan sebutan happiest nation on earth.

Goodbye Tiger’s Nest? Warga Bhutan tak mau mengucap kata goodbye.  Mereka berkata, “Log Jay Gay”, yang artinya sampai kita bertemu lagi. Siapa tahu?  – Rappler.com

 

 

 

 

 

 

  

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!