Ruang bioskop alternatif dan pasar yang selektif

Amir Tedjo, Davin Rusady

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ruang bioskop alternatif dan pasar yang selektif
Bioskop alternatif identik dengan film-film yang tidak mendapat tempat spesial di hati para pengelola bioskop besar

JAKARTA, Indonesia – Ada Apa Dengan Cinta, Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi dan Ada Apa Dengan Cinta 2 adalah segelintir film yang berperan besar dalam menaikkan gairah penonton film dalam negeri untuk pergi ke bioskop.

Berdasarkan data dari filmindonesia.or.id film Laskar Pelangi (2008), misalnya, mampu menarik perhatian sekitar 4,7 juta penonton. Jumlah penonton tersebut turut mengukuhkan Laskar Pelangi sebagai film terlaris sepanjang masa sejak tahun 2008 hingga 2016.

Tahta film terlaris sepanjang masa itu kemudian digantikan oleh film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016) yang sukses mengundang 6,8 juta penonton.

Kedua film tersebut memang memiliki kualitas yang tidak dapat diremehkan. Tak heran, Laskar Pelangi meraih penghargaan Pemeran Utama Wanita Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pendatang Baru Terfavorit Pria dan Film Favorit dalam ajang Indonesian Movie Awards 2009 serta Best Film dan Best Editor dalam Asian Film Awards 2009.

Begitu pula dengan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang menerima penghargaan Pemeran Utama Pria Terbaik dan Penata Efek Visual Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2016.

Nasib berkata lain

Namun, nasib berkata lain bagi film-film dalam negeri lain yang mendulang penghargaan serupa. Sebut saja Istirahatlah Kata-kata yang rilis pada 19 Januari 2017 lalu. Film yang disutradarai Yosep Anggi Noen ini hanya mampu bertahan sekitar dua minggu di seluruh bioskop Indonesia. Jumlah penonton yang diperoleh saat penayangannya pun hanya sekitar 52 ribu.

(BACA JUGA: Tepuk tangan meriah menyambut film Wiji Thukul di Swiss

Meski begitu, film Istirahatlah Kata-kata meraih apresiasi dari dalam maupun luar negeri. Istirahatlah Kata-kata telah meraih nominasi Sutradara Terbaik dan Penulis Naskah Asli Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2016, Film Terbaik dalam Apresiasi Film Indonesia 2016, Golden Hanoman Award dalam Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2016 serta Best Actor, Best Actress, Best Director dan Best Film dari TEMPO Magazine. Tidak hanya itu, film ini juga telah memikat penonton dalam berbagai festival film di luar negeri.

Lantas, masih adakah tempat bagi Istirahatlah Kata-kata untuk bersuara tentang jejak-jejak Wiji Thukul di negeri ini?

Kehadiran bioskop alternatif

Bioskop alternatif identik dengan film-film yang tidak mendapat tempat spesial di hati para pengelola bioskop. Di samping itu, usaha-usaha pengelola bioskop untuk mendukung film dalam negeri juga patut diacungi jempol, misalnya CGV Blitz yang membuat CGV Blitz Arthouse – Rumah Film Indonesia di CGV Blitz Pacific Place dan CGV Blitz Bekasi Cyber Park pada tahun 2015.

Beberapa film alternatif seperti Siti dari sutradara Eddie Cahyono dan dokumenter Jalanan dari sutradara Daniel Ziv juga sempat diputar di beberapa jaringan bioskop, meskipun harus mengalah dengan film-film Hollywood ihwal pembagian jatah layar.

Saat ini, kehadiran distributor film alternatif seperti Buttonijo dan Kolektif turut mempermudah akses memperoleh film-film alternatif, sehingga para pecinta film di berbagai daerah dapat menggelar pemutaran film-film alternatif. Akhirnya, pengetahuan soal film alternatif pun tumbuh dan bioskop-bioskop alternatif seperti Kineforum bermunculan.

Menurut Suryani, Manajer Kineforum, Kineforum hadir untuk memberikan tontonan alternatif bagi siapapun.

“Kineforum itu program dari Komite Film Dewan Kesenian Jakarta. Memang hadir untuk memberikan tontonan alternatif dan wadah bagi para pembuat film-film pendek. Kineforum mencoba memfasilitasi semua orang. Enggak melulu buat komunitas film atau pembuat-pembuat film saja,” ujar Suryani.

Dalam menjalankan bioskop alternatif ini, Suryani mengaku, kendala terbesar terdapat pada masalah keuangan. Bioskop Kineforum yang terletak di belakang bioskop XXI Taman Ismail Marzuki ini menerima dana hibah dari Pemprov DKI Jakarta untuk biaya pengelolaan, sayangnya pemberian dana hibah tersebut diliputi ketidakpastian.

“DKJ memang menerima hibah dari DKI, tetapi itu tidak tetap, tidak pasti tiap tahun dapet, dan jumlahnya juga tidak pasti. Dananya pun harus dibagi ke enam komite. Untuk operasional masih mencukupi, namun untuk servis proyektor dan alat-alat teknis lain sepertinya belum bisa. Sudah harus swadaya, sih,” jelasnya.

Untuk itu, Kineforum menarik donasi dari para penonton sebesar Rp 20 ribu. Seluruh donasi yang terkumpul nantinya akan dibagi dua bersama pihak pembuat film.

“Donasi itu digunakan untuk kegiatan operasional dan bayar film ke pembuatnya. Kita enggak mungkin minta film gratis karena mereka bikin film pakai biaya, pakai waktu. Makanya kita tanya apakah mereka bersedia untuk bagi dua donasinya dengan mereka. Kalau tidak bersedia, kita tidak jadi putar filmnya dan cari film lain,” lanjut Suryani.

Suryani mengapresiasi keberadaan bioskop alternatif. Ia mengungkapkan, ingin sekali membuat kolaborasi bersama para pengelola bioskop alternatif.

“Kita dari komite film juga ingin duduk bareng untuk bikin kolaborasi. Jakarta, kan, besar banget dan tempatnya beda-beda. Ada bioskop yang punya pemutaran reguler, ada bioskop yang memutar film kadang-kadang saja. Variannya banyak sekali. Kita punya rencana untuk berkumpul dan membahas (bioskop alternatif) ini mau dibawa ke mana,” tutur Suryani.

Dukungan dari berbagai pihak terhadap Kineforum pun mengalir. Suryani bercerita, Kineforum memperoleh pinjaman gedung dari UPT (Unit Pelaksana Teknis) Jakarta dan layar serta pelantang suara dari XXI.

“Jadi kalau ada masalah sama sound system-nya, kita bisa konsultasi sama XXI yang ada di depan,” jelas Suryani.

Suryani berharap semoga para penonton film Indonesia berani mengeksplorasi film-film lain. Tidak hanya film-film populer, namun juga film-film pendek yang berkualitas.

“Semoga makin banyak yang bisa menikmati film-film di luar kebiasaannya, tidak cuma karena ada Nicholas Saputra di filmnya, tetapi juga melihat isi filmnya. Karena semua film di sini kita pilih dengan baik dan ada tujuannya,” tutup Suryani.

Lebih banyak pilihan

Kebanyakan para penonton yang datang ke bioskop alternatif Kineforum mengungkapkan bahwa alasan mereka ingin menonton di bioskop alternatif karena suguhan film yang beragam, mulai dari film lawas, film independen, hingga film yang sudah diturunkan dari layar bioskop karena angka penjualan tak memuaskan.

“Saya tahu Kineforum dari guru, kebetulan saya SMK di bidang broadcasting. Di sini banyak film-film yang neggak masuk XXI, kayak Istirahatlah Kata-kata, di Bengkulu enggak masuk. Bahkan, kami harus bikin pemutaran sendiri di sana,” kata Mutia Sari, seorang pelajar berusia 17 tahun.

Ada pula Alex, seorang konsultan di bidang energi yang tertarik menonton film-filma lawas. “Awalnya istri saya yang ngasih tahu soal Kineforum. Saya tertariknya sama film-film lawas yang diputar dan di TV juga udah agak jarang juga, tuh. Kemarin saya nonton Catatan Si Boy, mulai dari Catatan Si Boy, Catatan Si Boy 1, sama Catatan Harian Si Boy.

Temen saya yang ngasih tahu saya ada tempat nonton film yang seru, filmnya unik-unik juga kadang-kadang film yang kita enggak tahu. Kayak sekarang lagi muterin film Warkop, nih. Saya dari dulu memang suka film Warkop, apalagi nonton film Warkopnya di layar gede gitu,” ungkap Adrian, seorang analis saham.

“Karena deket dengan kampus, saya jadi tahu Kineforum. Sejak pertama kali kuliah sering ke sini buat nonton film-film alternatif sama film-film yang sudah enggak tayang lagi di bioskop. Kineforum, kan, muterin beragam film-film dari berbagai daerah, film pendek, film panjang, film independen, dan film komersil,” kata Rendro, seorang mahasiswa berusia 23 tahun.

Untuk melihat jadwal pemutaran di Kineforum, Anda dapat mengikuti kanal media sosial Kineforum di Facebook dan Instagram.

Wadah untuk film indie

Selain Kineforum, bioskop alternatif maupun komunitas film yang rutin menggelar pemutaran film alternatif juga terdapat di sejumlah wilayah lain.

Misalnya, Kinosaurus dan Subtitles di Jakarta, Cine Space dan Radiant Cinema di Tangerang, CLC Purbalingga di Purbalingga, Kedai Kebun Forum dan Studio Video Audio Visual di Yogyakarta, Duatiga Project di Surabaya, Minikino di Bali dan Rumata Art Space di Makassar.

Selasa, 21 Maret, Rappler berkesempatan mengikuti sebuah acara yang digagas DuaTiga Project. Pemutaran film indie Selasa malam, 21 Maret kemarin diselenggarakan Duatiga Project bekerjasama dengan Mal Marvell City dan dihadiri sekitar 40-an penonton. Duatiga Project yang dimotori Ayu Dwi Astiti menjadi tuan rumah bagi penonton dan pembuat film-film indie bersama dengan Mal Marvell City.

Rencananya, Duatiga Project mengadakan nonton bareng film-film indie secara berkala setiap dua pekan sekali di area Alfresco di Mal Marvell City. Kerjasama dengan Mal Marvell City sebenarnya sudah berlangsung sejak awal tahun ini dan akan dievaluasi kembali pada Mei mendatang.

“Kerjasama dengan perusahaan, sebenarnya saya juga ingin mengedukasi bahwa Surabaya punya komunitas-komunitas pembuat film indie,” ujar Ayu.

Area terbuka di Alfresco setiap Selasa malam dua pekan sekali akan menjadi bioskop alternatif untuk film film indie buatan arek-arek Suroboyo. Pengunjung bebas datang tanpa harus membayar. Penyelenggara menyediakan sekitar 50 kursi di depan layar. Kalau pun kursi masih kurang, penonton masih bisa duduk di kursi-kursi panjang depan tenant penjual makanan.

“Setiap pemutaran film indie setidaknya ada 50-an pengunjung yang datang,” kata Ayu sesaat sebelum pemutaran film.

Ayu bercerita, ide untuk membuat bioskop alternatif  seperti sekarang, berawal saat dirinya mendirikan production house  Duatiga Project pada 2012 lalu. Nama Duatiga Project juga diambil dari tanggal saat Ayu pra produksi film indienya yang pertama, yatu pada 23 September. Saat itu Ayu akan memproduksi film indie yang berjudul Untold.

Rampung garap film indie Untold, Ayu kemudian berpikir ke mana film garapannya ini bisa dipertontonkan. Idealisme para pembuat fim indie biasanya selain karyanya bisa mendapat tempat di hati publik, juga bisa berlaga di festival film internasional atau kompetisi lainnya. Itu juga yang diinginkan oleh Ayu.

“Tapi nunggu moment itu kan lama. Daripada dibuat-buat sendiri dan ditonton-tonton sendiri, kenapa tak buat eksibisi saja”, kata mahasiswi jurusan manajemen Universitas Airlangga, Surabaya ini.

Ayu kemudian mempunyai ide membuat eksibisi pemutaran film-film indie. Ia kemudian menyelenggarakan Pesta Phoria pada 2014 lalu, bekerjasama dengan Wisma Jerman. Selain memutar film indie karyanya, dia juga mengundang komunitas film indie yang ada di Surabaya dan kota-kota lain seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan Tangerang.

Kegiatan itu ia anggap sukses, karena selain pesertanya banyak, penontonnya pun beragam. Sukses dengan Pesta Phoria, Ayu  kemudian berpikir, kenapa tidak melanjutkan saja kegiatan semacam Pesta Phoria ini secara berkelanjutan. Dia pun kemudian meyakinkan diri untuk menjadikan  rumah produksi Duatiga Project miliknya, bukan hanya sebagai rumah produksi film, tapi juga penyelenggara untuk eksebisi film-film indie.

Dari sana kemudian Ayu berhasil merangkul komunitas-komunitas film indie di Surabaya yang jumlah puluhan. Selain adakan diskusi soal film indie, Duatiga Project juga rajin selenggarakan nonton bareng film indie buatan arek-arek Suroboyo.

Duatiga Project juga berhasil melobi melobi Mal Marvell City menyediakan tempat gratis untuk pemutaran fim indie. Tak hanya tempat, Ayu pun bisa membujuk manajemen Mal Marvell City untuk memberikan reward untuk si pembuat yang filmnya diputar.

Reward-nya bisa berupa uang atau voucher belanja saja. Nilainya tak seberapa sih. Tapi minimal ada penghargaan, biar mereka semangat,” kata pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa Sinematografi Unair ini.

Berbekal  woro-woro (pengumuman) media sosial, Ayu mengumumkan komunitas mana yang ingin film indienya diputar bisa menghubunginya. Dalam sebulan dia sudah membuat jadwal mana saja film indie yang akan diputar. –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!