’77 Tahun Sapardi Djoko Damono’: Kelahiran kembali sang maestro puisi

Yetta Tondang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

’77 Tahun Sapardi Djoko Damono’: Kelahiran kembali sang maestro puisi
Penyair Sapardi Djoko Damono merayakan hari jadinya ke 77 tahun dengan meluncurkan tujuh buku

JAKARTA, Indonesia – Senin, 20 Maret lalu, maestro puisi Indonesia, Sapardi Djoko Damono, merayakan hari ulang tahunnya yang ke-77. Sehari setelahnya, dunia memperingati Hari Puisi. Sungguh kebetulan yang menyenangkan.

Di masa tuanya, tak ada tanda-tanda pensiun dari sosok Sapardi. Jika banyak orang lain seusianya yang menikmati masa tua dengan berlibur atau menghabiskan waktu dengan keluarga, Sapardi masih berkutat dengan syair dan kata-kata.

(BACA JUGA: 5 puisi Sapardi Djoko Damono yang paling menyentuh)

Selain itu, ia pun masih aktif di dunia pendidikan. Saat ini ia masih tercatat sebagai salah satu pembimbing program S3 di Universitas Indonesia serta Universitas Diponegoro Semaran dan aktif di Sekolah pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.

Di usia 77 tahun pula, pria kelahiran 20 Maret 1940 ini meluncurkan 7 buku sekaligus. Acara peluncuran ketujuh buku produksi Gramedia Pustaka Utama tersebut digelar di Bentara Budaya, Palmerah, Jakarta Pusat, Rabu, 22 Maret. Bukti bahwa sang maestro masih produktif di usia senjanya.

Tujuh buku tersebut terdiri dari enam buku puisi yakni Ada Berita Apa Hari ini, Den Sastro?, Ayat-ayat Api, Duka-Mu Abadi, Kolam, Namaku Sita, Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita dan sebuah novel Pingkan Melipat Jarak yang merupakan novel kedua dari trilogi Hujan Bulan Juni.

Selain peluncuran ketujuh buku, malam itu pengunjung dan juga Sapardi dihibur oleh musikalisasi dan pembacaan puisi-puisinya oleh Joko Pinurbo, Tina Talisa, Iwan Setyawan, Ni Made Purnama Sari, Tatiana Soebianto, M. Umar Muslim dan Cyntha Hariadi.

Goenawan Mohamad, yang juga hadir di acara tersebut menyebut bahwa hari itu bukanlah perayaan hari ulang tahun Sapardi Djoko Damono, melainkan hari kelahiran kembali sang penyair. Pendapat itu pun diamini seluruh pengunjung dengan bertepuk tangan.

Sapardi tak banyak berkata-kata di malam spesial itu. Tapi ia masih bisa berkelakar dengan banyak orang yang hadir merayakan prestasinya. Ditanya soal puisi mana yang dirasanya paling bagus, ia hanya menjawab, “Yang paling bagus justru yang belum terbit,” katanya yang langsung disambut tawa dan tepuk tangan meriah pengunjung.

Malam itu sapardi juga meladeni permintaan tandatangan para penggemarnya. Foto dari Gramedia Pustaka Utama.

Pada kesempatan itu, Sapardi pun mengumumkan rencana produksi film yang ceritanya diadaptasi dari Hujan Bulan Juni yang rencananya akan rilis tahun ini. Film ini rencananya disutradarai Hestu Saputra dan menggaet penulis skenario Titin Watimena. Dengan film ini, diharapkan karya-karya Sapardi bisa dinikmati oleh lebih banyak kalangan.

Di usianya yang semakin lanjut, hanya doa dan harapan yang bisa diucapkan para penggemar puisi untuk sang maestro agar bisa terus berkiprah di dunia sastra Indonesia.

Mengutip salah satu puisinya yang paling terkenal yang berjudul Yang Fana Adalah Waktu:

Yang fana adalah waktu

Kita abadi

Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa

“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.

Kita abadi.

Selamat “lahir kembali”, Sapardi! -Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!