Kisah di balik kebangkitan perfilman Makassar

Davin Rusady

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah di balik kebangkitan perfilman Makassar
Kesuksesan film-film buatan sineas Makassar sebelumnya turut membuka pintu baru dalam dunia perfilman bagi generasi baru Makassar

JAKARTA, Indonesia – Harapan besar tumbuh untuk perfilman di Makassar. Industri perfilman di Makassar seolah baru bangun dari tidur panjangnya. Para anak muda pun kembali bersemangat untuk belajar bagaimana caranya membuat film-film yang bermutu.

Pada tahun 1970-an, film-film Makassar pernah berjaya. Pendekar Sumur Tujuh (1971), Sanrego (1971), dan Senja di Pantai Losari (1975) adalah sebagian film-film ciptaan anak Makassar yang mendulang sukses pada masanya.

Nama Rahman Arge, aktor asal Makassar, tercatat pernah mendapatkan Piala Citra pada tahun 1990 untuk kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik atas aktingnya dalam film Jangan Renggut Cintaku (1990) yang juga memenangkan penghargaan Cerita Asli Terbaik dalam Festival Film Indonesia.

Namun, masa jaya perfilman Makassar di tanah air hanya berlangsung sekitar 20 tahun saja. Setelah produksi film Lelaki dari Tanjung Bira (1992), tak terdengar lagi film-film baru buatan anak Makassar.

Dunia perfilman di Makassar sekarat namun belum mati.

Belum mati

Produksi film dari Makassar kembali hadir pada tahun 2000-an. Film-film yang digarap dalam format indie tampil di layar televisi lokal Makassar dan YouTube. Akan tetapi, pada masa itu, siapa orang Indonesia yang menonton YouTube?

Pada tahun 2010, muncul film berjudul Aliguka. Film tersebut merekam realita yang terjadi di Makassar, mulai dari kehidupan kota sampai kehidupan malam. Walaupun tidak meraup jumlah penonton yang fantastis, kehadiran film Aliguka berpengaruh dalam mempengaruhi keputusan Riri Riza untuk membuat Rumata Artspace. Setelah itu, banyak film-film berkualitas bermunculan.

Beberapa film buatan anak Makassar mulai mendapat perhatian. Film pendek Adoption (2013) karya Andrew Parinussa sukses menjuarai festival film internasional di Jepang. Satu tahun setelahnya, film pendek Sepatu Baru (2014) karya Aditya Ahmad memenangkan penghargaan Film Pendek Terbaik kategori Generation KPlus di sebuah festival film internasional di Berlin, Jerman.

Sebuah film drama fiksi produksi kelompok Art2tonic berjudul Bombe (2014) berhasil memperoleh layar di jaringan bioskop Tanah Air, XXI. Film Makassar kembali pulang ke bioskop. Atas pencapaian itu, film Bombe mendapat apresiasi luar biasa dari masyarakat Makassar.

Menyusul film Uang Panai’ (2016) produksi Makkita Cinema Production yang sukses memukau lebih dari 562.000 penonton dan Silariang (2017) yang memperoleh lebih dari 176.000 penonton, film-film buatan anak muda Makassar berhasil mengulang kejayaannya yang lama hilang.

Kemungkinan baru, pesimisme dan optimisme Riri Riza

Kesuksesan film-film buatan anak Makassar sebelumnya turut membuka pintu baru dalam dunia perfilman bagi anak-anak Makassar yang lain. “Apa yang terjadi dengan Makassar di dunia film, mereka melihat bahwa di Makassar ada sekitar 10 layar bioskop. Diaspora Makassar di kota-kota tertentu juga terlihat. Kalau ada pertunjukan apa, mereka juga ngumpul. Nah, ada generasi baru yang melihat ini sebagai kemungkinan,” ujar Riri Riza yang berbincang dengan Rappler via telepon.

Riri sendiri terakhir menggarap film Athirah yang bercerita soal kehidupan Jusuf Kalla muda. Film ini berlatar belakang kehidupan keluarga Jusuf Kalla di Makassar.

Sutradara kelahiran Makassar yang memulai debut penyutradaraannya dalam Petualangan Sherina (2000) ini mengungkapkan bahwa ada dua jenis gerakan perfilman di Makassar.

Foto dari akun Instagram Riri Riza.

Pertama, gerakan yang menyasar para penonton di bioskop. Kedua, gerakan komunitas yang meramaikan film sebagai sebuah inisiatif kebudayaan dengan membuat film-film pendek, menggelar pemutaran dan menjalin kerjasama dengan sponsor-sponsor. Menurut Riri, kedua kelompok tersebut menyasar segmen penonton yang berbeda.  

“Dua kelompok ini menyasar penonton yang berbeda. Penonton Bombe, Silariang, dan Uang Panai’ menyasar penonton film Indonesia komersil atau yang suka menonton sinetron. Tetapi, teman-teman komunitas tadi menyasar para penonton yang menyukai musik, seni rupa, dan sastra,” sambungnya.

Riri juga mengungkapkan bahwa aspek kebudayaan yang tampil dalam film-film bioskop buatan Makassar merupakan aspek melodramatis. Artinya, budaya-budaya tersebut telah didramatisir sedemikian rupa dari cerita aslinya untuk membuat cerita terasa menarik. “Akhirnya juga susah disebut budaya karena budaya dalam film Uang Panai’ atau Silariang ini sudah berbeda,” jelas inisiator rumah budaya Rumata Artspace di Makassar ini.

Pertumbuhan perfilman di Makassar beberapa tahun belakangan ini tentu tidak bisa lepas dari minat belajar anak-anak muda di sana. Bagi Riri, anak-anak muda di Makassar memiliki keinginan belajar yang sangat kuat. Mereka merintis perfilman cukup lama, mulai dari belajar, meniti selera dan menjaga kualitas produksi.

Riri menuturkan, justru ia agak pesimis dengan kesuksesan instan yang diraih oleh film-film Makassar di layar lebar. “Mungkin mereka butuh waktu untuk memahami mengapa mereka bisa sukses. Kalau kita ngomong industri, ‘kan, harus ada resep berkelanjutannya,” katanya.

Harapan Riri bagi teman-teman di Makassar adalah mereka semakin terekspos dengan perkembangan film dengan jalur independen. “Mudah-mudahan teman-teman yang lain belajar tentang kemungkinan-kemungkinan yang lain, seperti yang terjadi di Jogja. Di Jogja itu ada temen-temen Fourcolours Films yang membuat film-film dengan biaya rendah, sempat diputar di bioskop dalam skala kecil dan juga di festival internasional. Harapan saya mereka bisa melahirkan film-film dengan karakteristik yang baru,” kata lulusan Institut Kesenian Jakarta ini.

“Karena naluri bercerita orang Makassar sangat tinggi. Kalau kita jadi anak kecil di Makassar, tuh, biasa mendengar cerita-cerita besar, cerita kecil, kisah bangsawan, atau kisah saudagar di sana. Anak-anak muda di Indonesia punya kemampuan adaptasi yang kuat, punya kemampuan belajar teknologi yang tinggi juga. Saya sangat optimis dengan itu,” tutup Riri. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!