‘Night Bus’: Perjalanan mencekam hingga ke Sampar

Nadia Vetta Hamid

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Night Bus’: Perjalanan mencekam hingga ke Sampar
Sepanjang perjalanan, para penumpang tidak akan tahu apakah mereka akan sampai tujuan… atau tidak

JAKARTA, Indonesia – Saya pertama kali mendengar tentang proyek film Night Bus dua tahun lalu, ketika film ini memulai proses produksinya. Namun, proses post-production yang panjang meliputi visual effect, CGI dan scoring membuat saya dan penggemar film Indonesia lainnya “melupakan” proyek ini hingga akhirnya teaser dirilis di media sosial. Apakah penantian selama dua tahun ini akan terbayar dengan perasaan puas?

Night Bus yang diproduseri oleh aktor Darius Sinathrya dan Teuku Rifnu Wikana, yang juga berperan dalam film ini, bisa dibilang cukup guerilla dalam penggarapannya. Untuk modal awal, Night Bus Pictures melakukan crowdfunding sebelum akhirnya mendapat investor dan bekerjasama dengan Kaninga Pictures. Hasil crowdfunding juga diserahkan untuk pembangunan emergency room bagi perawatan anak-anak di Rumah Harapan VCF.

Kisah perjalanan naik bus ini sebenarnya terinspirasi dari perjalanan yang dialami oleh Teuku Rifnu Wikana pada tahun 1999, yang kemudian ia tuliskan menjadi cerpen berjudul Selamat. 

Sejujurnya, saya bukanlah penggemar film bergenre thriller, terutama yang pakai bunuh-bunuhan. Apalagi film ini berdurasi cukup lama, 135 menit. Mungkinkah saya bertahan di dalam teater selama itu, menyaksikan para penumpang bus Babad terombang-ambing nasibnya sepanjang perjalanan ke kota Sampar?

Sampar sendiri adalah daerah (kalau Anda cari di peta, tentu saja tidak ada karena ini adalah fiksi) yang kaya akan sumber daya alam, namun dirundung konflik berkepanjangan. Daerah ini dijaga ketat oleh aparat yang berperang melawan Samerka (Sampar Merdeka), militan pemberontak yang menginginkan kebebasan Sampar.

Bus Babad yang berangkat dari kota Rampak dikemudikan oleh Amang (Yayu Unru) yang lahir di Sampar dengan kondekturnya Bagudung (Teuku Rifnu Wikana). Penumpang bus sangat beragam dengan tujuan yang berbeda pula. Ada yang ingin mencari kerja, ada yang ingin pulang ke keluarganya, ada juga yang ingin mencari temannya yang hilang.

Ada Yuda (Edward Akbar), seorang jurnalis; Annisa, mahasiswa kedokteran yang menyimpan rahasia kelam; Nur (Laksmi Notokusumo) dan cucunya Laila (Keinaya Messi Gusti) yang mau mengunjungi makam anaknya; Mala (Rahael Ketsia) dan kekasihnya Rifat (Arya Saloka) yang ingin mencari kerja; Idrus (Abdurrahman Arif), yang bekerja untuk sebuah NGO dan mencari teman-temannya yang hilang; Luthfy (Agus Nur Amal) pengamen buta yang suka menyanyikan tembang Melayu; Umar (Torro Margens) yang percaya uang akan menyelesaikan segalanya.

Bus mereka melewati pos pertama yang dijaga ketat aparat. Di sana, situasi pun sudah terasa mencekam: Beberapa mata-mata disiksa di tengah siang bolong. Mulai adegan ini, saya berusaha fokus ke aspek lainnya: Set design-nya bagus!

Karena Sampar adalah kota fiksional, beberapa bagian dibangun dengan CGI. Untuk ini, Night Bus melibatkan Dimitri Delacovias yang terlibat dalam pembuatan visual effect The Dark Knight, Inception, serta Captain America: The First Avenger.

Ada beberapa bagian yang membuat saya takjub, seperti helikopter yang melintas di antara perbukitan atau ketika bus melaju di sepanjang pesisir di malam hari. Namun, ada juga yang memang terlihat “komputer banget” seperti suasana kota Sampar yang hancur oleh perang. Meskipun demikian, secara keseluruhan visual effect film ini patut diacungi jempol.

Kembali lagi ke cerita, ketika bus melanjutkan perjalanan, Amang tak sengaja menabrak Mahdi (Alex Abbad) yang menderita luka parah. Mahdi yang ternyata merupakan anggota Samerka pun menumpang bus Babad, dan menitipkan sebuah jimat berisi pesan kepada Laila. 

Nah, sayangnya banyak sekali dialog antara Mahdi dan karakter lainnya yang kurang jelas terdengar hingga saya pun merasa lost. Belum lagi absennya subtitle menyulitkan saya untuk mengerti kata-kata Mahdi yang sekarat. Hal ini berlanjut ke akhir film, ditambah dengan lighting yang sangat gelap terutama di dalam bus. Tentu saja kejadian berlangsung di malam hari, di bus yang lampunya remang-remang pula. Entah ini hal yang disengaja atau tidak, tapi saya nyaris tidak melihat apa-apa untuk beberapa saat. 

Ternyata, apa yang dikatakan Mahdi cukup krusial dalam keseluruhan cerita Night Bus. Saya pun menonton dengan clueless untuk beberapa saat: ketika bus dihadang aparat di pos kedua hingga akhirnya bertemu dengan para Samerka—dan kedua belah pihak mencari keberadaan Mahdi.

Ketika bus dihadang untuk ketiga kalinya, saya pun bingung karena selama ini menduga hanya ada dua pihak yang bertikai. Sampai akhirnya Basir (Tino Saroengallo) muncul, saya baru mengerti bahwa mereka adalah Antek Dajjal atau penjahat perang. Mereka adalah pihak yang memusuhi aparat dan Samerka serta tidak ingin perang usai.

Tidak nyaman

Night Bus bukanlah film yang nyaman untuk ditonton, tentu saja. Saya pun bertahan selama 135 menit di dalam ruang teater dengan perasaan lelah. 

Selama menonton, saya berkali-kali menahan napas ketika beberapa tokoh laki-laki memandang atau memperlakukan Mala—yang mengenakan celana pendek denim—dengan tujuan melecehkan. Untuk yang enggak kuat darah atau pembunuhan sadis, sepertinya kamu harus menguatkan diri atau mengajak serta orang lain untuk menonton bersamamu. 

Para karakternya juga membuat saya gemas. Melihat Amang yang selalu maju duluan setiap kali busnya diberhentikan, saya seringkali gemas dan berharap dia tidak terkena malapetaka, bahkan saya beberapa kali berteriak “Aduh apa sih Pak?” Setiap kali Umar menyombongkan diri atau mengeluh, rasanya saya ingin ada penumpang lain yang menyuruhnya diam.


Namun, rasa tidak nyaman atau gemas yang dihadirkan sutradara Emil Heradi dari awal membuat Night Bus berhasil, salah satunya berkat akting memikat dari para pemerannya yang mayoritas adalah pendatang baru. Teuku Rifnu Wikana berulang kali membuat penonton tertawa karena ulahnya yang “asal” dan menurut saya, ia sukses menjadi scene stealer.

Dalam hemat saya, belum pernah ada fim Indonesia seperti Night Bus yang mengangkat peperangan dengan genre thriller. Bahkan unsur kedaerahan yang ditunjukkan lewat dialek Melayu Deli yang digunakan karakternya juga belum pernah ditemui.

Night Bus berbeda dengan film Indonesia lainnya karena dari drama, komedi, tragedi, romance dan menegangkan juga ada,” kata Associate Producer Alysa Bachtiar yang dihubungi lewat pesan singkat. 

Film ini juga menunjukkan bahwa perang hanya akan menimbulkan kemalangan bagi semua yang terlibat. Sebuah pesan yang masih relevan bagi masyarakat kita saat ini. “Kita tidak usahlah berperang atau bertikai, karena siapapun bisa jadi korban termasuk masyarakat biasa,” ujar Alysa.

Apabila kamu memiliki waktu luang, lebih baik tonton Night Bus sebelum turun layar. Di bioskop tempat saya menonton pun, Night Bus hanya tersisa dalam dua kali pertunjukan di malam hari. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!