Melestarikan makanan tradisional Papua bersama ‘Jungle Chef’ Charles Toto

Karina Maharani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Melestarikan makanan tradisional Papua bersama ‘Jungle Chef’ Charles Toto
Charles Toto menjelajahi hutan-hutan Papua dan membuat makanan dari bahan-bahan yang ditemukan di sana

UBUD, Indonesia — Charles Toto bukanlah seseorang yang banyak bicara. Meski penampilannya cukup menyolok – dengan rambut keriting panjang yang diikat dan memakai anting-anting tradisional Papua – ia tidak terlalu menarik perhatian kepada dirinya.

Dalam sesi diskusi pembuka Ubud Food Festival 2017 di mana ia menjadi pembicara, Charles pun tidak banyak berkata-kata. Ia menceritakan dengan sederhana bagaimana ia dan anak-anak didiknya dalam ‘The Jungle Chef Community’ menjelajahi hutan-hutan Papua dan membuat makanan dari bahan-bahan yang mereka temukan di sana.

Sampai-sampai salah satu pembicara lainnya, pegiat food biodiversity, Helianti Hilman, turun tangan. Helianti, yang sudah beberapa tahun mengenal Charles dan bekerja sama dengannya dalam beberapa proyek, mengatakan bahwa Charles terlalu rendah hati. “Dia hanya menceritakan sedikit dari apa yang dilakukannya.”

“Dia adalah seorang chef yang sangat inovatif,” kata Helianti. “Hanya dengan bahan-bahan dan alat-alat yang ada di hutan dia bisa membuat roti dari nol.” Helianti juga menceritakan bagaimana Charles tergagas untuk mendirikan Jungle Chef Community saat ia sedang bekerja di sebuah hotel bintang lima di Papua.

Charles hanya tersenyum.

Meski bukan seseorang yang suka menggembar-gemborkan pencapaiannya, Charles menjadi salah satu chef paling dicari di antara ratusan chef dan pegiat makanan mancanegara yang menghadiri Ubud Food Festival tahun ini. Demo masak yang dipimpinnya dikerumuni oleh penonton. Di antara acara, jadwalnya dipenuhi oleh permintaan wawancara dari wartawan nasional dan internasional.

Apa yang membuat Charles Toto begitu spesial?

Tidak bercita-cita jadi chef

Waktu kecil, Charles tidak pernah bercita-cita menjadi seorang chef atau tukang masak. Awalnya ia ingin menjadi pengacara. Tapi karena sebuah kesalahpahaman yang terjadi pada saat ia akan mendaftar, ia ditolak masuk SMU.

“Daripada saya nganggur setahun, saya coba masuk ke SMK,” jelas Charles. Di SMK tersebut, ada empat jurusan yang dapat dipilih: tata boga, perhotelan, busana, dan kecantikan. Ia memilih masuk tata boga. Pada saat itu ia adalah satu dari hanya delapan laki-laki dalam SMK tersebut. “Dalam satu kelas, tiga cowok, 45 perempuan semua.”

Setelah lulus SMK pada tahun 1996, Charles mulai bekerja di Hotel Sentani Indah di Jayapura sebagai pencuci piring. Ketika di hotel itu, ia melihat banyak tim riset dan dokumenter yang akan masuk ke hutan-hutan Papua harus membawa banyak makanan kaleng untuk perjalanan mereka.

Charles melihat sebuah kesempatan dan menawarkan diri untuk memasak makanan segar untuk mereka dari bahan-bahan makanan yang ada dalam hutan. Saking berhasilnya, dan saking banyaknya permintaan untuk tenaganya, Charles mulai mengajarkan teknik-tekniknya anak-anak muda di pedalaman Papua. Dari situ lahirlah The Jungle Chef Community pada tahun 2006. 

Melestarikan makanan tradisional Papua

Salah satu hal yang memotivasi Charles saat mendirikan The Jungle Chef Community adalah keinginannya untuk melestarikan makanan tradisional Papua untuk generasi selanjutnya. Selain untuk menjaga keberlanjutan tradisi, Charles juga merasa bahwa makanan tradisional sebenarnya lebih sehat.

“Di Papua, mulai masuk produk-produk luar, sehingga anak-anak muda Papua dan juga orang tua mulai degradasi pola makan,” jelas Charles. “Ketika mereka makan dengan konsumsi yang tidak teratur, usia mereka juga tidak akan panjang.”

Ia menceritakan bahwa orang-orang tua yang ia temui, dengan pola makan yang sangat sederhana dapat hidup lebih lama. Contohnya adalah kakeknya sendiri yang baru meninggal pada usia 105 tahun. 

‘Pizza’ ala Papua

'Pizza' ala Papua yang terbuat dari sagu, daging rusa, dan ulat sagu. Foto oleh Wirasathya Darmaja/Ubud Food Festival.

Salah satu jenis makanan yang ditunjukkan oleh Charles dalam festival kali ini adalah sebuah hidangan berbasis sagu yang tampak mirip dengan pizza.

Berbeda dengan pizza biasa yang terbuat dari adonan terigu, pizza ala Papua ini terbuat dari dasar sagu. Topping-nya pun cukup unik; bukan pepperoni atau mozzarella melainkan daging rusa dan ulat sagu. Ulat sagu adalah salah satu sumber protein yang paling mudah didapatkan di pedalaman Papua.

Memadukan tradisi dan modernitas

Meski ingin melestarikan makanan tradisional, bukan berarti bahwa Charles anti-modernitas.

“Yang penting adalah bagimana kita mengangkat sesuatu yang modern ini menjadi jauh lebih organik, jauh lebih sehat,” kata Charles. “Kita punya kemampuan untuk mengolah itu, membuat sesuatu yang tradisional menjadi sesuatu yang sangat modern, sehingga kita juga makan sehat semua.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!