The Cloisters: Museum abad pertengahan di ujung Manhattan

Karina Maharani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

The Cloisters: Museum abad pertengahan di ujung Manhattan
Meskipun cukup terpencil dan jauh dari atraksi-atraksi turis lainnya, The Cloisters layak mendapat pertimbangan sebagai salah museum yang kamu kunjungi kalau sedang ke New York

JAKARTA, Indonesia — Kota New York adalah kota yang dipenuhi dengan museum-museum kelas dunia. Dari MoMA, Guggenheim, Museum of Natural History, sampai the Met. Tapi mungkin kamu belum pernah mendengar tentang museum yang satu ini.

Berlokasi di ujung utara Pulau Manhattan, dekat perbatasan dengan borough Bronx, The Cloisters memang jauh dari area langganan turis seperti Times Square dan Wall Street. Cabang dari The Met ini terletak di tengah Fort Tryon Park di daerah Washington Heights. Gedungnya terlihat seperti sebuah benteng yang terbuat dari batu.

Kaca patri yang menggambarkan Yesus dan Bunda Maria di salah satu jendela The Cloisters. Foto oleh Karina Maharani/Rappler

Berbeda dengan The Met yang koleksinya terdiri dari artefak-artefak dari berbagai masa dan tempat, koleksi The Cloisters terfokus kepada kesenian dari abad pertengahan di Eropa.

Meski sering disebut sebagai ‘The Dark Ages‘ (‘Masa Kegelapan), abad pertengahan di Eropa tetap menghasilkan berbagai karya-karya seni yang menarik. Mulai dari patung, ukiran, tapestri hingga kaca patri. Kebanyakan karya-karya seni tersebut bertema religius, terutama tentang kehidupan Yesus Kristus.

Patung kayu Yesus masuk ke Yerusalem. Foto oleh Karina Maharani/Rappler

Berjalan mengelilingi The Cloisters membuatmu serasa kembali ke abad pertengahan itu. Ruangan-ruangannya yang beratap tinggi dan terbuat dari batu menghasilkan gema dan gaung yang menambah efek itu.

Tapestry 'The Unicorn in Captivity' ('Unicorn dalam Penangkaran') dari koleksi The Cloisters. Foto oleh Karina Maharani/Rappler

Salah satu koleksi paling terkenal The Cloisters adalah kumpulan tujuh tapestri dari Belgia yang disebut The Hunt of the Unicorn (Pemburuan Unicorn). Ketujuh tapestri ini menggambarkan sebuah kelompok pemburu yang mengejar seekor unicorn hingga akhirnya mereka berhasil menangkapnya. Makna di balik tapestri ini masih diperdebatkan oleh para ahli sampai sekarang.

Altar di ruang Fuentidueña. Foto oleh Karina Maharani/Rappler

Satu hal lain yang unik dari museum The Cloisters adalah adanya beberapa ruangan yang dibawa langsung dari Eropa dan direkonstruksi di gedung di tengah Fort Tryon Park ini. Contohnya adalah ruangan Fuentidueña.

Ruangan ini dulunya adalah bagian dari gereja San Martin di kota Fuentidueña, Spanyol yang didirikan sekitar tahun 1175-1200. Pada tahun 1940an, ruangan ini beserta atap berkubahnya dibawa ke New York setelah negosiasi diplomatis yang panjang. 

Langit-langit ruangan Fuentidueña. Foto oleh Karina Maharani/Rappler

Waktu terbaik untuk mengunjungi The Cloisters adalah pada saat musim semi atau musim gugur. Karena selain koleksi seni yang luar biasa, di tengah-tengah The Cloisters juga terdapat sebuah taman indah yang didesain berdasarkan taman-taman abad pertengahan. Pengunjung juga bisa naik ke atap The Cloisters untuk melihat pemandangan Fort Tryon Park.

Taman di tengah-tengah museum The Cloisters. Foto oleh Karina Maharani/Rappler

Meskipun cukup terpencil dan jauh dari atraksi-atraksi turis lainnya, The Cloisters layak mendapat pertimbangan sebagai salah museum yang kamu kunjungi kalau sedang ke New York. Dengan Lokasinya yang indah dan koleksinya yang terkurasi, kamu tidak akan menyesal mengambil detour ke sini. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!