Mari menikmati cokelat, makanan dan minuman para dewa

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mari menikmati cokelat, makanan dan minuman para dewa

AFP

Di Hari Cokelat Sedunia ini kita mengingat bahwa konsumsi cokelat masyarakat Indonesia masih rendah. Padahal khasiatnya banyak!

JAKARTA, Indonesia — Jeda kopi atau coffee break, sudah lazim kita kenal dan kita jalani, terutama saat mengikuti sebuah kegiatan. Mengapa tidak mencoba melakukan choco break, alias jeda cokelat? Bukankah minuman cokelat hangat dan memberi efek segar untuk memulai bahkan melanjutkan aktivitas harian? 

Mari kita memikirkan hal ini saat memperingati Hari Cokelat Sedunia yang jatuh setiap tanggal 7 Juli. Tahun ini juga menandai 467 tahun cokelat, yang bahan dasarnya adalah buah kakao, masuk ke benua Eropa.

Dari berbagai referensi cokelat mengandung polyphenol yang berkhasiat mencegah risiko penyakit jantung koroner dan kanker, serta menurunkan tekanan darah.  Kandungan phenyletylamine dalam cokelat memberikan rasa tenang dan membuat nyaman. Seringkali kita disarankan minum segelas cokelat hangat sebelum tidur, agar pikiran tenang dan tidur lebih nyenyak.

Cokelat atau kakao bisa dibilang sebagai cemilan paling lezat di muka bumi. Tekstur padat, yang lumer di lidah saat dikonsumsi, menghadirkan sensasi manis pahit, dan aroma yang khas, sulit ditandingi. 

Nama ilmiah cokelat atau kakao adalah “theobroma”, yang berarti “makanan para dewa. Suku Aztec menyebutnya “xoocoati” yang artinya minuman pahit.

Menurut catatan sejarah yang dipublikasikan di berbagai sumber, sejak tahun 1.000 Sebelum Masehi, suku-suku bangsa yang mendiami Meso-Amerika-Amerika Tengah sampai bagian utara benua itu sudah mengonsumsi cokelat. Mereka mengolah buah kakao menjadi bubuk, dan menyeduhnya menjadi minuman seperti yang kita lakukan masa kini. Bedanya, saat itu mereka menambahkan rempah-rempah seperti kayu manis, vanilla, bubuk cabai dan lainnya.

Tahun 1400-an, ketika suku Aztec mengambil alih sebagian besar Meso-Amerika, mereka memasukkan cokelat dalam budaya suku. Cokelat dipersembahkan sebagai makanan dan minuman yang dipersembahkan bagi para dewa. Cokelat juga dianggap memiliki kaitan erat dengan Xochiquetzal, Dewi Kehamilan, yang dianggap sebagai tempat memohon kesuburan.

Hernanco Cortez membawa biji cokelat ke Spanyol antara tahun 1502-1528. Orang Spanyol mencampur cokelat dengan pemanis, sehingga rasanya makin lezat. Coenraad van Houten menemukan cara memisahkan bubuk dan minyak kakao dari adonan biji kakao giling. Ini awal penemuan berikutnya yang memungkinkan cokelat dicampur dengan minyak dan gula.

Permintaan cokelat yang bercita rasa tinggi meningkat seiring dengan ditemukannya mesin pengolah cokelat di masa revolusi industri. Pada abad ke-19 cokelat yang rasanya lembut di lidah mulai diproduksi di Swis. Proses “grinding and pressing”, adalah bagian penting, ketika biji kakao digiling menjadi serbuk cokelat.

Masuknya cokelat ke Indonesia

Cokelat yang diperkenalkan pada tahun 1560 di Sulawesi Utara berasal dari Filipina. Jenis yang pertama kali di tanam adalah criollo, yang oleh bangsa Spanyol diperoleh dari Venezuela. Produksi cokelat ini relatif rendah dan peka terhadap serangan hama dan penyakit, tetapi rasanya enak.

Pada tahun 1806, usaha perluasan cokelat dimulai lagi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penanaman dilaksanakan di sela-sela areal pertanaman kopi. Pada tahun-tahun selanjutnya didatangkan lagi jenis cokelat yang lain, mengingat kelemahan jenis cokelat Criollo.

Dr. C.J.J. Van Hall, MacGillvray, Van Der Knaap adalah peneliti-peneliti yang giat melakukan seleksi guna mendapatkan bahan tanam unggul maupun klon induk pada awal pertanaman cokelat di Indonesia.

Industri kakao di Indonesia

Lebih dari 90% perkebunan kakao di Indonesia dimiliki petani perorangan dan sisanya dikelola oleh BUMN PTPN dan perkebunan swasta. Tak kurang dari 1,5 juta petani menggantungkan hidupnya dari perkebunan kakao. 

Media Engineering, yang diterbitkan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) menuliskan bahwa Indonesia adalah produsen biji kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Luas total perkebunan kakao mencapai 1,6 juta hektar tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Menurut Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu Krisnamurthi, dari sisi produksi biji kakao Indonesia hadapi masalah produktivitas di tingkat on farm yang rendah, sekitar 1.000 kilogram per hektare. 

Bandingkan dengan produktivitas kakao yang dihasilkan  Pantai Gading dan Ghana, sekitar 1.500-2.000 kilogram per hektare. “Penyebabnya adalah bibit kurang bermutu, tantangan peremajaan pohon kakao yang menua, serangan hama serangga pengerek, serta isu fermentasi dan non fermentasi,” ujar Bayu.

Begitupun, pelaku usaha semakin menyadari bahwa kakao Indonesia memiliki kekhasan. “Produk akhir kakao, baik minuman cokelat atau produk makanan, hampir selalu merupakan ramuan komposisi tertentu dari beberapa jenis biji kakao dari daerah di Indonesia dan negara lain,” kata Bayu, yang juga mantan wakil menteri pertanian, kepada Rappler, Kamis, 6 Juli 2017.

Menurut Bayu, agribisnis kakao kini berkembang ke dua arah. Pertama, Industri besar mengarah menjadi produsen produk antara (intermediate), berupa mentega cokelat, bubuk cokelat dan pasta cokelat yang berorientasi ke ekspor dan dalam negeri. Kedua, tumbuhnya industri lokal dan artisan yang menampilkan fitur cokelat yang khas seperti Pipiltin Cocoa, Cokodot, Monggo, Inyong dan berbagai merek lokal lainnya.

(BACA JUGA: Menikmati cokelat asli Indonesia di Pipiltin Cocoa)

Menurut Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan, Arlinda, permintaan akan kakao Indonesia terus meningkat. Terutama dalam bentuk mentega cokelat dan biji kakao mentah. “Dari tahun 2012 sampai 2016, tren ekspor kakao meningkat rata-rata 5,8%. Nilainya mencapai lebih dari USD 311 juta dolar pada 2016,” ujar Arlinda, dalam keterangan tertulis kepada Rappler, 6 Juli 2017. 

Periode Januari ke April 2017, tercatat ekspor kakao senilai sekitar  USD 326 juta dolar. Pada periode 2102-2016, Malaysia, kemudian AS menjadi negara tujuan ekspor kakao Indonesia dalam jumlah terbesar. Tahun ini, Perancis menyodok ke atas sebagai tujuan ekspor kakao Indonesia.

Laman Kemenperin.go.id memuat bahwa pertumbuhan permintaan kakao dunia sekitar 4 juta ton per tahun. Data International Cocoa Organization (ICCO) menyatakan bahwa dalam lima tahun terakhir, permintaan tumbuh rata-rata 5 persen per tahun.

Komoditi kakao ini masih sangat potensial untuk dikembangkan di mana tingkat konsumsi kakao di tiga negara yaitu Indonesia, India dan Tiongkok yang jumlah penduduknya mencapai 2,7 miliar jiwa, masih sangat rendah yakni hanya sekitar 0,25 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan tingkat konsumsi di Eropa sudah mencapai 10 kg per kapita per tahun.

Jadi, melihat manfaatnya yang besar untuk kesehatan, mengapa kita tidak mulai menjadikan jeda minum cokelat alias choco break sebagai kebiasaan sehari-hari?

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!