‘War for The Planet of The Apes’: Memikat sekaligus mengusik nurani

Muhammad Harvan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘War for The Planet of The Apes’: Memikat sekaligus mengusik nurani
Para pembuat film ini berhasil menghidupkan setiap bagian cerita dan karakter dengan sinematografi dan dialog yang apik

JAKARTA, Indonesia — Setelah sukses dengan dua film terdahulu, franchise blockbuster Planet of The Apes kembali merilis film ketiganya: War for The Planet of The Apes.

Film ini merupakan kelanjutan dari dua film sebelumnya yang berhasil menembus box office versi Hollywood, Rise of The Planet of The Apes (2011) dan Dawn of The Planet of The Apes (2014).

Kembali disutradarai oleh Matt Reeves, setelah keberhasilannya menghidupkan alur cerita beserta karakter-karakter manusia dan non-manusia pada film kedua dari trilogi ini, War for The Planet of The Apes masih menyuguhkan penonton dengan alur dan latar belakang cerita yang mengusik pola pikir dan cara pandang.

Ditampilkan dengan sinematografi berkelas ala Hollywood, ditambah sentuhan CGI (Computer Generated Image) yang memukau, Matt Reeves dan kawan-kawan seakan menyihir penonton untuk ikut merasa dan terlibat dalam cerita, berada dalam peradaban di mana spesies kera lebih superior dibanding manusia.

Film ini melibatkan banyak pembuat film dan aktor-aktris terbaik Hollywood. Sebut saja Michael Giachino, komposer pemenang Academy Awards yang juga berkiprah di film animasi Up, serta Weta Digital yang kembali bertanggung jawab dalam hal mengolah visual effect pada film ini.

Dari segi pemeran, film ini kembali menampilkan Andy Serkis sebagai pemeran Caesar, si pemimpin para kera, dan juga aktor kawakan yang 2 kali di nominasikan pada Academy Award, Woody Harrelson, selaku kolonel pasukan manusia yang menjadi antagonis utama pada film ini.   

ANTAGONIS. Woody Harrelson, selaku kolonel pasukan manusia menjadi karakter antagonis utama pada film ini. Foto dari 20th Century Fox Indonesia

Film ini juga diisi oleh pemeran pendukung yang tidak kalah berkualitas lainnya seperti Karin Konoval yang memerankan Maurice, orang utan penasehat Caesar; Terry Notary yang kembali memerankan Rocket, simpanse kaki tangan Caesar; dan Tebby Kebbel yang memerankan Koba.

Film ketiga ini juga memperkenalkan beberapa karakter baru seperti Amiah Miller yang memerankan Nova, anak gadis manusia yang ditemukan dan dirawat oleh Maurice, dan “Bad Ape”, karakter comic relief yang diperankan oleh Steve Zahn. Keberadaan dua pemeran baru tersebut semakin menambah perbendaharaan karakter pada trilogi ini.

Dalam sebuah sesi interview, sang sutradara, Matt Reeves, mengungkapkan bahwa film ketiga dari trilogi ini akan membuat para penonton terkejut dan melebihi ekspektasi mereka, bahkan bagi para penggemar dua film sebelumnya. 

“Saya sangat tertarik melihat reaksi para penonton. Film ini masih seputar Caesar, yang di film pertama ditampilkan sebagai karakter sederhana yang berubah jadi revolusioner, dan di film kedua berkembang menjadi seorang pemimpin yang memimpin kelompoknya melalui waktu yang sulit. Namun di film ini, kami menempatkan Caesar pada sisi gelapnya,” ujar Matt saat proses wawancara.

“Yang akan penonton saksikan adalah perjalanan Caesar di dunia yang keras, hal-hal yang dirinya temukan akan diluar ekspektasi anda. Pada akhirnya penonton akan menemukan bahwa ceritanya tidak hanya menarik, tapi juga emosional dan secara mengejutkan juga lucu,” tambahnya.

Andy Serkis selaku pemeran utama juga tidak ketinggalan menceritakan pengalamannya selama proses pembuatan film. Sekedar informasi, film ini dibuat dengan memanfaatkan teknologi performance capture yang memungkinkan untuk merekam sekecil apapun gerakan dan emosi dari para pemeran karakter non-manusia yang kemudian diubah menjadi animasi yang dapat ditampilkan serealistik mungkin. 

“Para aktor mulai mengerti kalau performance capture tidak ada bedanya dengan akting dengan kostum dan make up. Anda bukan mewakili karakter yang Anda perankan, namun Anda menjadi karakter tesebut,” ujar Andy.

Jika diamati secara objektif, film ini terlihat menampilkan teknologi CGI kelas satu, yang mampu menampilkan karakter animasi non-manusia sebagai suatu hal yang realistik. Film ini mungkin bisa jadi jawaban atas kritik dan keraguan para pengamat film yang menilai teknologi CGI mengurangi nilai seni pada film.

Babak baru peradaban kera

Semua berawal dari eksperimen ilmiah yang secara tidak sengaja menciptakan individu kera jenius yang diberi nama Caesar. Akan tetapi, lahirnya Caesar diikuti dengan terciptanya virus yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai obat, namun malah berubah menjadi racun mematikan bagi peradaban manusia. Menyebarnya virus ini secara tidak sengaja di bumi membuat spesies manusia menjadi lemah, dan spesies kera menjadi cerdas.

Masalah dimulai ketika populasi kera yang semakin cerdas menyadari posisi mereka dalam komunitas makhluk hidup, juga sadar akan arogansi spesies manusia yang tidak lagi ada di posisi superior dibanding spesies mereka. Konflik pun tidak terhindarkan antara spesies kera yang menginginkan revolusi dan spesies manusia yang ingin bertahan hidup. Namun Caesar muncul sebagai pemimpin para kera, memimpin mereka dan bernegosiasi untuk menghentikan konflik dengan manusia serta berusaha mewujudkan mimpinya dimana spesies kera dan manusia dapat hidup bersama dengan damai.

Foto dari 20th Century Fox Indonesia

Namun perdamaian tidak bertahan lama. Salah satu kera bernama Koba memiliki keinginan balas dendam karena alasan pribadi dengan para manusia. Dendam Koba kembali memicu konflik yang semakin parah antara kera dan manusia, hingga memaksa Caesar untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan militer manusia. Hal tersebut ia lakukan demi melindungi kelompoknya dari serangan manusia yang berniat memusnahkan seluruh populasi kera di bumi untuk selamanya.

Film War for The Planet of The Apes mengambil setting 5 tahun setelah perang besar antara kera dan manusia terjadi. Para kera pimpinan Caesar yang berperang hanya untuk melindungi diri dan bertahan hidup, hidup secara bersembunyi jauh di dalam hutan, tujuannya agar terhindar dari konflik dengan manusia yang masih berniat untuk memusnahkan populasi kera untuk selamanya.

Caesar pun masih memimpikan agar spesies mereka dapat hidup damai dengan manusia, dan manusia dapat memahami bahwa kera adalah spesies yang beradab dan bermoral.

Namun semua berubah ketika tempat persembunyian mereka diserang oleh pasukan manusia yang telah mencari Caesar selama 2 tahun. Serangan ini berujung pada terbunuhnya istri dan anak Caesar. Terbutakan oleh dendam, Caesar melupakan mimpinya selama ini dan berniat untuk membunuh manusia yang telah merenggut nyawa istri dan anaknya.

Foto dari 20th Century Fox Indonesia

Plot dari War for The Planet of The Apes dibangun di sekitar perjalanan Caesar dan koleganya. Perjalanannya untuk membalas dendam membuat Caesar menemukan bahwa dunia adalah tempat yang dingin dan kejam, dan mimpinya hanyalah sebuah utopia. Namun pertemuan dengan anak gadis manusia bernama Nova, tetap membuat Caesar merasakan sisi “humanis”-nya.

Terombang-ambing di antara dilema emosi humanis dan keinginannya untuk balas dendam, membuat bagaimana Caesar dan akhir konflik ini begitu menarik  untuk diketahui.

Memikat, di sisi lain mengusik nurani

Banyak orang setuju bahwa karya seni yang bagus adalah karya seni yang mengganggu pikiran, mengusik nurani. dan memaksa kita memikirkan kembali nilai-nilai intelegensia dan moral yang selama ini kita yakini. Film War for The Planet Apes melakukan ketiganya secara bersamaan.

Dibangun disekitar filosofi humanis dan pemikiran “Apa yang akan terjadi jika manusia, dengan segala arogansinya, tidak lagi lebih superior dibanding spesies lainnya?”, film ini menghadirkan latar belakang cerita dan konflik yang berkelas.

Konflik yang tidak sekadar “hitam dan putih” melainkan abu-abu, antara Caesar, si pemimpin bijak para kera yang terjebak dalam dilema emosional dan keinginan balas dendam, dan Kolonel  kejam dengan pemikiran gila yang hanya ingin melindungi spesies manusia dari kepunahan.

Para pembuat film ini berhasil menghidupkan setiap bagian cerita dan karakter dengan sinematografi dan dialog yang apik. Didukung oleh penerapan teknologi CGI yang berhasil membuat para karakter non-manusia terlihat sangat realistik. Penonton tidak akan kehilangan setiap momen emosional pada film ini, karena setiap CGI berhasil merekam dan menampilkan emosi karakter non-manusia secara utuh. 

Matt Reeves tahu betul, kunci dari kesuksesan sebuah film tidak hanya soal aksi dan peran, tapi juga emosi yang akan dicerna oleh para penonton. Lewat plot dan script, film ini menempatkan karakter utama dalam dilema, terombang-ambing dalam emosi. Dan lewat sinematogafi dan CGI besutan Matt dan kawan-kawan, penonton bisa ikut serta merasakan gejolak emosi dan konflik batin tersebut. 

Foto dari 20th Century Fox Indonesia

Mungkin satu hal yang perlu dijadikan catatan adalah kecepatan plot. Plot pada cerita terkesan lambat, yang akan jadi pengalaman yang kurang menyenangkan bagi penonton yang mudah bosan dan tidak begitu menikmati drama. Selain itu film ini tidak banyak menyajikan adegan aksi, sehingga yang berkekpsektasi bahwa ini akan jadi film drama-action yang memukau seperti Logan tentu akan sedikit kecewa.

Namun, bagi penonton yang mencari film filosofis yang menyuguhkan adegan yang mengusik cara pandang dan sisi humanis, film ini adalah pilihan yang sangat tepat.

Film ini bisa jadi sangat berat dan sulit untuk dicerna oleh anak-anak, sehingga batas umur “13 tahun ke atas” dirasa kurang tepat. Namun secara umum, film ini akan menghadirkan pengalaman menonton yang tidak hanya menyenangkan, tapi juga menyihir penonton untuk terpaku di kursinya dan menonton film ini hingga usai.

Film War forThe Planet of The Apes, secara subjektif, adalah satu dari sedikit film yang berhasil menampilkan karakter non-manusia secara mengagumkan, selain film besutan Disney dan Pixar.

Jadi, jangan lewatkan kesempatan ini. Ajak keluarga dan teman-teman Anda untuk menyaksikan film yang sangat menarik ini, rilis pada 26 Juli mendatang di bioskop-bioskop Indonesia. —Rapppler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!