Filosofi maling teriak maling Sang Pencuri Agung

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Filosofi maling teriak maling Sang Pencuri Agung
Pentas Indonesia Kita menyentil fenomena menghormati pencuri

JAKARTA, Indonesia –  Kegeraman publik terhadap kerakusan para koruptor, digambarkan secara jenaka oleh Agus Noor dan tim kreatif pentas Indonesia Kita. Ruangan Graha Bhakti Budaya dipenuhi penonton yang tak putus tertawa saat menikmati sahut-menyahut para pemain di pentas berjudul Pesta Para Pencuri, yang digelar selama tiga kali, pada tanggal 21-22 Juli 2017 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Ini produksi ke-24 Indonesia Kita.

Sebenarnya, kita tidak hanya geram terhadap koruptor. Mestinya kita juga geram melihat sebagian kalangan yang menganggap koruptor adalah pahlawan. Tersenyum saat menggunakan rompi oranye. Sebuah ironi, yang digambarkan oleh William Shakespeare, sebagaimana dikutip Agus Noor, “The robber that smiles, steals something from the thief.“ Para pencuri tak lagi bekerja dalam keheningan, tapi sudah terang-terangan, seperti rampok yang bekerja di siang hari.

Karena itu, pencuri perlu selendang sakti Wewe Gombel yang berfungsi seperti Invisible Cloak-nya Harry Potter. “Soalnya kalau mencuri dan ketemu pemilik rumah, aku kan sungkan. Ndak enak,” kata Cak Lontong.  

Di panggung, penonton melihat gambaran situasi yang tengah kita alami, lewat sahut menyahut cerdas komedian Cak Lontong dan Akbar, Guyonan Ala Mataraman oleh trio Gareng Rakasiwi, Wisben Antoro dan Joned, aksi panggung Inayah Wahid, Happy Salma dan Alexandra Gottardo, dan duet maut yang bikin terpingkal-pingkal Marwoto dan Susilo Nugroho.

Membahas filosofi Maling teriak maling. Ini pesan utama dari pertunjukan berdurasi 2,5 jam itu. Maka lagu, Romo Ono Maling yang dilantunkan pesinden kondang Silir Pujiwati pun menjadi pembuka acara. Obrolan dua maling, Cak Lontong (Lies Hartono) dan Insan Nur Akbar selama setengah jam, misalnya, membahas dos and don’ts maling. “Kalau ada yang teriak maling…maling, jangan langsung lari. Jalan biasa saja. Belum tentu mereka meneriaki kita. Jangan lupa senyum,” pesan Cak Lontong.   

Koruptor adalah strata tertinggi dalam dunia permalingan. Ada kode etik maling, di antaranya, kata Cak Lontong, jangan mencuri di rumah koruptor. “Karena hartanya haram, jadi kita kena haramnya dua kali,” ujar dia. Penonton gerrrr…tertawa. Termasuk Menteri Agama Lukman Saifuddin yang menonton pertunjukan Sabtu malam, 22 Juli 2017.

Cak Lontong dan Akbar berencana “naik kelas” dengan mencuri selendang sakti Wewe Gombel yang dikuasai sosok bernama Sang Pencuri Agung.  

Cerita kemudian pindah ke suasana di rumah mewah Nyai Salma yang diperankan aktris Happy Salma. Dia mengaku kehilangan harta berharga yang disimpan di sebuah kotak  (yang ternyata selembar selendang).  

Nyai Salma  yang gonta-ganti suami ini membicarakan hal ini dengan putrinya Noni, diperankan oleh aktris Alexandra Gottardo dan Si Mbok, pembantu rumah tangga yang diperankan Inayah Wahid.

Saat Nyai Salma kesal karena kehilangan selendang, muncul dua “penjaga” yang diperankan Susilo dan Marwoto. Keduanya mengenakan kostum seragam lengkap dengan lencana-lencana.  

Nyai Salma kesal karena merasa sudah membantu banyak untuk “penjaga”, kok rumahnya masih kemalingan. Susilo dan Marwoto diperintah mencari sang maling.  

Trio GAM muncul, ketiganya maling juga. Mereka mengingatkan ada lima sila dalam mencuri. Diantaranya, kalau mencuri jangan berlebihan. “Kalau ada dua sepeda, jangan dicuri semua, nanti untuk mencuri berikutnya, to be continued,” kata Gareng. Maling berkelanjutan. Dia juga mengingatkan kedua rekannya agar menghormati senior dan menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat dalam pencurian. Jleb.

Dua penjaga Marwoto dan Susilo mencari kambing hitam dalam memujudkan perintah Nyai Salma menemukan harta berharga selendang sakti. Keduanya melihat sosok Gareng paling pas, untuk jadi korban, dipaksa mengaku sebagai pencuri harta Nyai Salma.  Gareng digebuki, babak belur.

Cak Lontong dan Akbar menggunakan taktik mendekati Noni untuk mencuri selendang berwarna “pink tua alias merah”. Si Mbok sejak awal curiga. Tapi Noni yang dapat peran gadis yang lugu, dan menurut Cak Lontong, “agak bodo”, terpikat kepada Cak Lontong yang mengaku sebagai Pangeran Polim dari Kerajaan Antasari. Noni mengambil selendang di kamar ibunya. 

Adegan beralih ke semacam tempat mistis yang dipercaya sebagai lokasi Sang Pencuri Agung. Inayah si Mbok yang ditutupi semacam kotak kain, mengaku sebagai sang pencuri agung. Dia meledek Cak Lontong dan Akbar yang mendapatkan selendang palsu, KW lima.  

“Selendang Wewe Gombel yang asli sudah aku simpan,” kata Si Mbok. Inayah main bagus dan banyak melontarkan sentilan tajam termasuk ke Nusron Wahid yang menonton pertunjukan ini.

Salah satu dialog menggelitik di sini, adalah memiliki selendang sakti membuat pencuri menjadi sosok yang “untouchable”.  

Rekayasa plot

Twist di ujung lakon adalah, Sang Pencuri Agung sebenarnya adalah Nyai Salma. Muncul dengan kostum sporty dan sexy, Nyai Salma yang sebelumnya mengenakan kebaya Kartini, melontarkan kekecewaannya kepada semua pihak, termasuk Si Mbok yang ternyata mengkhianatinya, mencuri selendang yang ternyata KW.  

Nyai Salma mengaku merekayasa plot bahwa dirinya kehilangan selendang sakti yang ternyata masih dia kuasai. Membuat situasi gonjang-ganjing, sehingga semua saling tuding. Maling, teriak maling. “Aku akan selalu menjadi Pencuri Agung”, yang paling tinggi diantara semua pencuri. Kita akan mencuri seluruh alam semesta. Dan mencuri nurani,” kata Nyai Salma.  

Dalam catatan pengantar pentas, Agus Noor mengatakan bahwa saat menyusun program Indonesia Kita setahun lalu, tak pernah membayangkan bahwa lakon Pesta Para Pencuri menjadi pas dan sangat kontekstual dengan situasi saat ini. 

“Tentu saja kita sudah lama mengendus perilaku koruptif yang dengan halus memanfaatkan uang negara untuk kepentingan pribadi,” tulis Agus, penulis cerpen yang hampir selalu masuk dalam cerpen pilihan Kompas.

Agus mengutip novelis Megan Whalen Turner dalam novelnya yang berjudul, The Thief, “para pencuri bisa nyaris tak membuat kegaduhan.”  Menurutnya, kini bagi-bagi anggaran dan proyek tak hanya berlangsung dengan lembut, tapi nyaris tak tahu malu.  

“Para pencuri uang negara itu, bahkan seperti bersatu padu melakukan perlawanan ketika merasa habitatnya terganggu,” ujar Agus. Karena pencuri bersatu, tak bisa dikalahkan. Sampai di sini paham, kan? – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!