Penjelasan ilmiah di balik kecanduan media sosial

Bayu D. Wicaksono

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Penjelasan ilmiah di balik kecanduan media sosial
Penelitian menunjukkan alasan-alasan mengapa seseorang sulit berhenti memakai media sosial

JAKARTA, Indonesia – Media sosial seolah telah menjadi kebutuhan utama kebanyakan masyarakat di era digital. Facebook baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka memiliki pengguna bulanan lebih dari 2 miliar, yang artinya populasi masyarakat mereka melebihi jumlah populasi di Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang.

Meski pada awalnya media sosial bertujuan untuk membangun komunitas digital, mendekatkan yang jauh, serta membagikan konten bermakna, kenyataannya kini berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh dosen senior dalam Applied Linguistics dari The Open University, Philip Seargenat dan Caroline Tagg, menunjukkan alasan-alasan mengapa seseorang sulit berhenti memakai media sosial.

Kebanyakan menjadi silent watchers

Penelitian yang melakukan survei terhadap 100 pengguna Facebook menemukan bahwa para pengguna tersebut tetap terhubung dengan orang-orang yang telah menyakiti atau bahkan mereka anggap menyebalkan. Hal-hal menyebalkan yang mereka post antara lain pandangan politik/agama yang ekstrim, rasisme, phobia, bahkan sesederhana menyombongkan kegiatan sehari-hari.

Bukannya mengkonfrontasi, para pengguna ini justru menggunakan media sosial sebagai sarana untuk mengamati orang-orang tersebut secara diam-diam.

Temuan ini menggambarkan dinamika hubungan antar manusia pada kehidupan nyata. Saat berusaha untuk bergaul dan membuka diri, pasti akan ada konflik akibat perbedaan pandangan ataupun perasaan.

Tidak unfriend mereka yang kurang menyenangkan

Salah satu responden dalam penelitian ini mengatakan bahwa ia terus terdorong untuk menyingkirkan beberapa orang dari daftar temannya di Facebook, tetapi hal ini tidak pernah ia lakukan. Ia mengaku harus bersabar ketika melihat temannya posting hal-hal yang berlawan dengan keyakinan dan kepercayaannya.

Siklus repetitif

Siklus di atas telah menjadi repetitif dan dialami sebagian besar responden, tak hanya mengganggu, siklus ini juga mereka nikmati. Pasalnya, sekumpulan reaksi akibat faktor ini telah difasilitasi dengan baik lewat teknologi komunikasi media sosial yang mereka gunakan.

Secara sederhana, jika menyatakan sesuatu di media sosial, pengguna tidak dapat memilih siapa yang akan membacanya dan respon kejutan serta ketidakpastian itulah yang dicari oleh banyak orang. Pengguna media sosial akan mencari sebanyak mungkin opini berbeda mengenai topik yang sedang ia bicarakan.

(BACA JUGA: SAKSIKAN: Trik aman bermain media sosial)

Tidak mau menimbulkan konflik tambahan

Pengguna Facebook lebih tertarik pada percakapan personal dalam lingkup publik luas, namun hal ini dapat menimbulkan perbedaan pendapat yang dapat berujung pada konflik mendadak. Uniknya, survei terhadap pengguna Facebook ini menunjukkan bahwa para pengguna tidak mudah memutuskan hubungan di dunia maya.

Misal jika ada rekan kerja yang menyakiti mereka di media sosial, dengan alasan ingin menjaga hubungan profesional di pekerjaan, mereka enggan untuk unfriend rekan kerja tersebut. Yang mereka lakukan hanyalah membatasi aktivitasnya dengan cara mengatur setting seperti menyembunyikan mereka dari feed mereka atau meng-hide mereka dari home. Terlihat bahwa para pengguna media sosial tidak ingin menimbulkan konflik tambahan di dunia maya.

Fenomena hate-watching

Hate-watching atau melihat sesuatu yang menyebalkan ternyata menjadi alasan terkuat bagi kecanduan terhadap media sosial.

Para responden penelitian ini mengungkapkan jika teman-teman mereka mem-posting hal-hal menyebalkan seperti pandangan politik yang teralu ekstrim dan diskriminatif, mereka tidak semerta-merta mengomentari hal itu di forum publik. Justru mereka diam saja, secara tidak sadar mereka menikmati sisi diri yang dapat menghakimi orang lain secara diam-diam. Istilahnya, mereka menjadikan hate-watching itu sebagai hiburan. —Rappler.com

Artikel ini sebelumnya pernah diterbitkan di IDNTimes.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!