5 film produksi Studio Ghibli yang wajib kalian tonton

Adrianus Saerong

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 film produksi Studio Ghibli yang wajib kalian tonton
Cinema XXI telah menyiapkan 45 layar di 17 kota besar Indonesia untuk memutar film-film produksi Ghibli

 

JAKARTA, Indonesia — Minimnya serial animasi Jepang yang ditayangkan televisi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir membuat mereka yang tumbuh bersama kartun Negeri Matahari Terbit mengalihkan perhatian ke film layar lebar. 

Kimi no Nawa contohnya, dua bulan lebih merajai box office Jepang. Animasi arahan Makoto Shinkai ini kemudian ditayangkan oleh tiga perusahaan layar lebar di Indonesia: CVG Blitz, Cinemaxx Theater, dan Platinum Cineplex. 

Fenomena ini cukup langka. Sebab film animasi Jepang biasanya hanya diputar oleh salah satu dari tiga perusahaan layar lebar tersebut.

Gairah pecinta film animasi Jepang di Indonesia sebenarnya sudah tercium sejak pertengahan 2016. Saat itu raksasa animasi Jepang, Studio Ghibli, menggelar acara menonton bersama. Acara tersebut sukses. Beberapa bulan kemudian Ghibli mengumumkan akan kembali ke Indonesia Agustus – September 2017.

Ingin memanjakan para penggemar mereka di Tanah Air, Ghibli awalnya berencana untuk memutar kembali karya-karya mereka di layar Indonesia sejak Februari, setiap bulan satu film, hingga hari acara utama tiba. 

Namun, rencana itu diundur hingga April. Cinema XXI telah menyiapkan 45 layar yang tersebar di 17 kota besar Indonesia untuk film-film produksi Ghibli. Mulai dari Spirited Away, My Neighbor Totoro, Ponyo, Princess Mononoke, dan ditutup dengan Howl’s Moving Castle pada Agustus mendatang.

Jarak antara Spirited Away dengan film-film lainnya adalah satu bulan, dan akan tayang di tanggal yang sama yaitu, 1-7. Kelimanya adalah karya dari Miyazaki Hayao, salah satu pendiri Studio Ghibli yang dalam beberapa tahun terakhir dirumorkan akan pensiun. 

Namun Ghibli bukanlah Miyazaki Hayao seorang, Suzuki Toshio, Takahata Isao, Tokuma Yasuyoshi, jugalah pendiri studio ini yang aktif membuat karya layar lebar. Bahkan kini anak dari Miyazaki Hayao, Goro, juga sudah turun tangan.

Memproduksi 20 film animasi layar lebar sejauh ini, tiga di antaranya ada di lima karya tersukses diapit oleh Kimi no Na Wa, dan Stand By Me Doraemon. Lima film yang akan ditayangkan di Indonesia merupakan karya tersukses Studio Ghibli dalam raihan box office dunia. 

Selain itu, beberapa film lainnya juga layak kalian simak, setidaknya ada lima karya Studio Ghibli yang wajib kalian saksikan, di samping kumpulan judul di atas:

From Up On Poppy Hill (Kokuriko-zaka Kara, 2011)

 

Setelah percobaan pertamanya, Tales From Earthsea gagal mendapat respon positif dari kritikus karena dianggap kurang imajinatif dan gagal merepresentasikan sumber aslinya, yakni buku fantasi karya penulis Amerika Serikat, Ursula K. Le Guin, Miyazaki Goro, memilih sesuatu yang lebih dekat dengan Jepang untuk diadaptasi, komik Kokuriko-zaka Kara.

Dibantu oleh Sang Ayah, Goro menceritakan tentang kondisi Jepang pasca perang dunia kedua, dan tanpa perlu menyebutkan visual yang indah, karena itu bukanlah kelebihan Studio Ghibli, melainkan keahlian, film ini berhasil memenangkan tiga penghargaan dari 13 nominasi yang mereka terima di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat.

Joe Williams dari St.Louis Post Dispatch bahkan menyebut film ini layak diadaptasi ke dunia nyata.

The Tale of Princess Kaguya (Kaguya-hime no Monogatari, 2013)

 

Satu dari dua film Studio Ghibli yang mendapat skor sempurna di Rotten Tomatoes ini merupakan adaptasi sebuah cerita rakyat tentang seorang petani rebung yang diberikan kejutan tak terduga dari dewa. Animasi cerita rakyat merupakan sesuatu yang dekat dengan bangsa Indonesia, meski kini salah satu produsen susu anak sudah tidak melampirkan VCD di kotak mereka. 

Kisah Putri Kaguya garapan Takahata Isao ini memberi keindahan visual yang berbeda dengan film-film produksi Ghibli lainnya. Cerita yang intens, dewasa, penuh nilai moral, dan humor, membuat Kaguya-hime no Monogatari menjadi film animasi yang lengkap layaknya Zootopia ataupun Toy’s Story.

Rilis pada 2013, film ini tak henti-hentinya mendapat pengakuan dunia. Hingga 2016, mereka masuk 27 nominasi di berbagai ajang, dan memenangkan tujuh di antaranya.

Kiki’s Delivery Service (Majo no Takkyubin, 1989)

Sukses dengan karya yang bertema lebih gelap dengan My Neighbor Totoro (1988), Miyazaki Hayao, kembali ke akarnya melalui Kiki’s Delivery Service. Memiliki aura yang ceria dengan warna-warna terang, dan humor ringan layaknya film layar lebar pertama Miyazaki dan Ghibli, Castle in The Sky, Majo no Takkyubin bercerita tentang seorang penyihir muda bernama Kiki yang meninggalkan rumahnya untuk pertama kali di usia 13 tahun.

Di sini kisah tentang pencarian jati diri disajikan secara berbeda oleh Miyazaki. Menceritakan sesuatu yang sederhana secara memikat bukanlah hal mudah, tapi Ia berhasil melakukannya lewat Kiki’s Delivery Service.

Masuk dalam 15 nominasi di beragam acara penghargaan film, Kiki’s Delivery Service memenangkan semua penghargaan yang bisa mereka raih pada 1990.

Only Yesterday (Omoide Poro Poro, 1991)

Film kedua Takahata Isao dalam daftar ini kembali mendapatkan penilaian sempurna dari para kritikus film di Rotten Tomatoes. Sama seperti Kiki’s Delivery Service, Only Yesterday fokus kepada pembentukan karakter seorang perempuan bernama Taeko.

Meski dikategorikan sebagai animasi “shoujo” atau untuk perempuan, nyatanya film ini tetap relevan bagi kaum Adam. Cerita kompleks terkait tentang impian, sulitnya melepas dari masa lalu, dan sedikit aksi bullying, atau perundungan yang terkadang tak kita sadari hadir sejak kanak-kanak terpapar di sini. 

Melalui film ini, Takahata Isao berhasil membawa dua sudut pandang dalam satu layar secara seimbang. Meski secara visual Only Yesterday tidak sememikat Kaguya-hime no Monogatari atau Grave of Fireflies, keindahan itu bisa ditemukan dalam aspek lain film ini.

Grave of Fireflies (Hotaru no Haka, 1988)

Sama seperti From Up on Poppy Hill, Grave of Fireflies bercerita tentang kondisi Jepang selepas Perang Dunia kedua. Kisah tentang kakak-beradik, Seita dan Setsuko ini akan menyisakan kepedihan tersendiri bagi mereka yang telah menyaksikannya.

Kisah ini diadaptasi juga terinspirasi oleh kisah nyata Nosaka Akiyuki yang menuangkan kisahnya ke novel semi-autobiografi 21 tahun sebelum Studio Ghibli menerbitkan versi animasinya. Dengan tema dan eksekusi yang begitu serius, mengeksploitasi perasaan penontonnya, Grave of Fireflies sering kali disebut sebagai film yang mengubah pandangan khalayak akan animasi.

Film ini dirilis bersamaan dengan My Neighbor Totoro yang karakternya menjadi logo dan ikon Ghibli. Jika kita mengingat hal itu dan melihat dampak yang telah diberikan Grave of Fireflies, rasanya pantas bila karya Takahata Isao ini menjadi film Studio Ghibli paling wajib untuk disaksikan!

—Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!