Luis Enrique: Datang dan pergi tak berarti

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Luis Enrique: Datang dan pergi tak berarti

AFP

Memutuskan pergi dari Barcelona di akhir musim ini.

JAKARTA, Indonesia — Sejak Josep “Pep” Guardiola mulai resah dengan posisinya di Barcelona, sejatinya publik Catalonia sudah tahu bahwa estafet kepelatihan akan dilanjutkan kepada Francesc “Tito” Vilanova. Lelaki yang selama 4 tahun menjadi tangan kanan Pep. 

Kepantasan Vilanova menjabat posisi sebagai entrenador hampir seperti lelaki yang kini bersama Manchester City tersebut. Vilanova asli Catalonia (tepatnya dari Bellcaire d’Emporda, sebuah kawasan di Baix Emporda), juga produk akademi Barca meski gagal menembus skuat utama. 

Dan sejak meniti karir dalam dunia manajerial sepak bola, Vilanova juga menghabiskan hampir sebagian besar karirnya di klub berjuluk Blaugrana itu. Vilanova menjadi asisten Barcelona B pada 2007-2008 kemudian naik kelas di musim berikutnya untuk mendampingi Pep. 

Keagungan dan kemegahan prestasi Barcelona yang dibawa Pep bakal berlanjut pada Vilanova. Paling tidak itulah keyakinan para cules. Apalagi, Vilanova mewakili sikap-sikap sosok Catalan sejati. Seorang Catalan adalah orang yang rendah hati tapi bisa sangat emosional setiap kali harga diri bangsa dan klubnya dilanggar.

Reaksi Vilanova saat menampar Jose Mourinho (setelah pelatih asal Portugal itu lebih dulu mencolek dia) pada el clasico edisi 2011 menjadi rekaman yang akan selalu diputar para cules. Sebagai bukti bahwa dia benar-benar bagian dari “kami”. 

Ya, seorang Catalan sejati memang tunduk pada prinsip-prinsip rendah hati, tata krama, dan pelajaran kebijaksanaan setempat. Tapi mereka bisa begitu emosional pada orang-orang Castilla, bagian sentral dari budaya Spanyol yang berpusat di Madrid. 

“Negara kami sudah lebih dulu berdiri 800 tahun lalu,” kata Guardiola dalam sebuah wawancara televisi saat ditanya mengapa dia tidak berbicara dalam bahasa Spanyol. 

Patriotisme Guardiola itu mengalir dalam darah Vilanova. Dan publik Catalonia sekaligus para cules akan meneriakkan namanya dengan air mata setiap kali nyanyian-nyanyian kemenangan didengungkan di Camp Nou. 

“Vilanova adalah sosok yang sempurna,” kata Carlos Puyol, seorang Catalan berambut keriting yang kerap menyelinap di antara para bek lawan untuk tiba-tiba terbang dan mencetak gol kemenangan 

Meski menjadi salah satu dari lima klub terbesar di dunia, Barcelona memang tak bisa begitu saja menjadi sangat “modern” dan terbuka. Mereka tetap sebuah institusi yang mewakili satu bangsa tertentu. Satu kelompok “separatis” di dalam tubuh besar negara Spanyol. 

Identitas Catalonia—meski semua teriakan kemerdekaan hingga kini belum menghasilkan apa-apa—terus dirawat oleh Azulgrana. Barca adalah representasi romantisme perlawanan atas Castilla. Karena itu, sejak Frank Rijkaard hengkang dari kursi kepelatihan 2008 silam, manajemen memutuskan untuk menunjuk sosok pelatih dari “kalangan sendiri”. 

Kalangan sendiri ini tak hanya harus alumni Barcelona. Tapi juga orang Catalonia asli. Wajar jika nama Jose Mourinho dengan mudah ditampik meski lelaki asal Setubal itu membawa segepok program untuk mengembalikan lagi kejayaan mereka. 

Imajinasi Barca atas “kalangan sendiri” itu bakal berlanjut hingga ke periode Vilanova jika saja kanker tidak membuyarkan rencana itu. Tak ada kandidat lain yang benar-benar bisa memenuhi standar tinggi seperti Guardiola: bertemunya “genetika” Catalonia dan Barca sebagai identitas diri. 

Dia bukan bagian dari kami

Kompromi pun dilakukan. Luis Enrique yang sudah berpengalaman di AS Roma dan Celta Vigo dipanggil. Enrique tidak memiliki darah Catalonia. Dia asal Gijon. Tapi lelaki flamboyan itu pernah memperkuat Barca pada 1990-an. Juga mempersembahkan hampir selusin piala untuk Barcelona. 

Namun, kehadiran Enrique di Camp Nou pada 2014 itu tidak membawa nuansa emosional apapun. Kemunculannya hanya sebagai seorang pelatih yang sekadar “bekerja” memenuhi panggilan profesinya. Dia tidak bisa menjadi sosok yang kepadanya orang-orang Catalan akan melihat dirinya sendiri dalam karakter sang pelatih. 

Bahkan meski mempersembahkan treble winner di tahun pertamanya pun, nama Enrique masih tak bisa disandingkan dengan Guardiola. Dia bukan bagian dari kami. 

Situasi ini mengingatkan saat kedatangan Enrique di Camp Nou 20 tahun lalu sebagai pemain. Lelaki yang akrab dipanggil Luchos itu datang dengan menyandang status sebagai super star. Tak tanggung-tanggung, super star dari klub yang selalu mereka cemooh: Real Madrid. 

Enrique tak mungkin mendadak pindah ke musuh bebuyutan Los Blancos itu dengan alasan patriotisme Catalonia. Apalagi karena Barcelona. Sebagai sosok yang tak punya beban emosional di antara dua rivalitas sengit itu, Luchos semata pindah karena alasan-alasan praktis. Sejalan dengan agenda Barca yang sedang membangun pasukan untuk membendung kegilaan Galacticos Real. 

Xavi Hernandez, gelandang Barca yang juga lahir dari tanah dan air Catalonia, memahami situasi tersebut. Bagi dia, Enrique tidak bisa mengemban beban-beban nilai-nilai Catalonia. Orang tak bisa melihat dia sebagai pemain Barca tulen. Dia cuma pemain yang bekerja profesional untuk klub ini. 

“Dia dari Gijon. Tak mungkin dia memahami seny,” kata Xavi dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Majalah FourFourTwo. 

Antara seny dan rauxa 

Seny memang selalu menjadi nilai-nilai adiluhung yang dipegang teguh orang-orang Catalan. Kurang lebih, ia bermakna tata nilai yang mengajarkan loyalitas, kebijaksanaan, welas asih, moral, norma, dan nilai-nilai etika. Sistem nilai seny ditularkan melalui orang tua kepada anaknya melalui dongeng-dongeng sebelum tidur tentang hewan-hewan dan alam. 

Seny akan selalu dipegang teguh orang-orang Catalonia. Ia tak cuma berisi sopan santun. Tapi juga pandangan hidup. Seny mengajarkan mereka untuk selalu berpikir mendalam dalam berbagai situasi, kesadaran penuh, integritas, pemikiran mendalam, mindfulness, dan keputusan yang tepat. 

Lawan dari seny adalah rauxa. Jika seny adalah kebijaksanaan, maka rauxa adalah ketergesaan, gerakan cepat, atau seperti aksi serbuan.

Nilai filosofi Catalonia tersebut diwujudkan Barca dalam tindakan para pemainnya di lapangan. Permainan tim harus menghidupkan jiwa seny itu. Bermain tenang, memikirkan laga dengan mendalam, dan mengambil keputusan umpan-umpan terobosan di waktu yang tepat. 

Barcelona adalah tim yang mementingkan cara. Bukan sekadar hasil. Karena bagi mereka, proses tak mungkin mengkhianati hasil. “Ini bukan sekadar soal menang. Tapi bagaimana caramu menang. Ini nilai budaya kami. Yang berusaha kami tunjukkan di lapangan,” kata Sandro Rosell kepada Business Insider saat masih menjabat presiden klub pada 2011 silam. 

Karena itu, terkadang Camp Nou justru bising teriakan sindiran dan hinaan jika klub menang tapi dengan cara-cara yang buruk. Terutama jika mereka tidak bermain dengan indah. Dengan cara-cara khas Barca. 

Masalahnya, seny sepak bola yang dibangun Guardiola, kemudian dilanjutkan Tito Vilanova, justru menemui ganjalan di era Enrique. Dia mengubah gaya permainan Barca menjadi lebih direct. Membuat variasi-variasi umpan crossing. Barca yang bermain dengan mengendalikan penuh permainan berganti menjadi tim serangan balik. 

Perubahan itu tak hanya menjadi buah bibir para suporter. Tapi juga sudah memanas di ruang ganti. Di awal-awal menangani Barca, Enrique bahkan sudah membuat persoalan dengan Lionel Messi. Beberapa kali dia dicadangkan. Posisinya juga diutak-atik. 

Tim yang sarat dengan tradisi nilai menjadi sekadar tim penyembah kemenangan. Tak bermakna apa-apa bagi warga Catalonia. Bagi para cules. Seny yang dipegang teguh berubah menjadi rauxa. Tim yang dulu bermain elegan dengan umpan-umpan pendek kini cuma tergopoh-gopoh mengejar gol. 

Situasi itu semakin sulit dengan hasil-hasil buruk. Mereka kalah 0-4 dari tim “gurem” Liga Champions, Paris Saint-Germain, pada babak 16 besar Liga Champions. 

Belum lagi soal peluang mereka di Primera Division yang belum meyakinkan bisa benar-benar menyalip Real Madrid.

Sayonara Luis Enrique pun tak lagi berarti. Begitu juga piala-pialanya. Waktu akan dengan mudah menghapusnya dari ingatan para cules.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!